Presiden Republik Afrika Tengah, Faustin Touadera, Terpilih Kembali Untuk Masa Jabatan Kedua
Kompas dunia | 5 Januari 2021, 12:42 WIBBaca Juga: Rusia Kirim 300 Instruktur Militer ke Republik Afrika Tengah
Sabone mengatakan bila Touadera “berkeras memilik jalan pedang, kami akan menempatkan diri kami di seluruh front dan memusatkan kekuatan kami atas Bangui untuk menjungkalkan dia dari kekuasaan, lalu menyusun rejim transisi yang akan dipimpin oleh seorang yang netral sehingga sebuah majelis nasional yang berdaulat bisa didirikan,”
Menyusul pengumuman itu Sabone mengatakan,”Tidak ada bedanya menggantungkan diri pada kekuasaan seperti yang dilakukan Touadera dan mengambil kekuasaan dengan senjata,”
Koalisi pemberontak telah mengambil alih front di Bangassou, sekitar 750 kilometer dari Bangui, yang membuat warga sipil mengungsi ke Kongo.
“Warga sipil menghindari kekerasan dan dalam proses itu banyak yang tenggelam di sungai,” tutur Pierrette Benguere, semacam kepala prefektur di Mbomou.
Baca Juga: Lebih dari 1000 Migran Asal Afrika Diselamatkan Saat Menyeberangi Laut Mediterania
Misi PBB di Republik Afrika Tengah, MINUSCA, mengecam berbagai serangan tersebut.
Kepala misi PBB MINUSCA Mankeur Ndiaye mengatakan, “tidak ada keraguan serangan-serangan itu terjadi dalam konteks mengganggu pemilu – sebelum, selama dan setelah pemungutan suara,”
Hari Senin (04/01/2021), Jaksa Agung Pengadilan Banding Bangui mengatakan telah membuka penyelidikan yudisial atas Bozize yang sudah menyatakan dirinya bekerja dengan koalisi pemberontak.
Republik Afrika Tengah adalah negara yang sangat kaya mineral dan sejak 2013 selalu mengalami konflik antar agama dan antar kelompok, terutama setelah kubu pemberontak Seleka yang sebagian besar Muslim mengambil alih kekuasaan dari Bozize karena terlalu lama dipinggirkan.
Baca Juga: Batik Hingga Sate Ayam Dijual di Pasar Indonesia Afrika Selatan
Perlawanan atas kelompok Seleka akhirnya membuat warga Muslim menjadi sasaran diseluruh negeri, diantaranya dengan dipukuli sampai mati, masjid dihancurkan, dan puluhan ribu terusir dari ibukota tahun 2014.
Terlepas dari kesepakatan damai tahun 2019 antara pemerintah dengan 14 kelompok pemberontak, kekerasan dan pelanggaran HAM tetap terjadi.
Kekerasan terbaru terjadi setelah Mahkamah Konstitusi menolak pencalonan Bozize atas dasar mantan presiden itu tidak memenuhi persyaratan, yaitu memiliki moralitas yang baik.
Bozize yang meraih tampuk kekuasaan melalui kudeta tahun 2003 dan berhasil memerintah hingga tahun 2013, menjadi buronan internasional atas tuduhan “kejahatan kemanusiaan dan penghasutan untuk melakukan genosida”.
Bozize juga mendapat sanksi PBB atas dugaan dukungan dia kepada kelompok anti-Balaka yang melawan kelompok Seleka tahun 2013.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV