Rakyat Republik Afrika Tengah Lakukan Pemungutan Suara
Kompas dunia | 27 Desember 2020, 10:41 WIBBANGUI, KOMPAS TV - Para pemilih di Republik Afrika Tengah pergi ke tempat pemungutan suara pada hari Minggu (27/12/2020) untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif. Reuters melaporkan, pemilu ini dilaksanakan di bawah bayang-bayang kekerasan saat pemerintah berusaha untuk menahan gerak laju pemberontak yang ingin menggagalkan pemilu.
Milisi yang bermusuhan dengan Presiden Faustin-Archange Touadera, yang sedang mengupayakan masa jabatan kedua, telah meningkatkan serangan sejak Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Tengah menolak beberapa pencalonan awal bulan ini, termasuk dari mantan Presiden Francois Bozize.
Krisis telah membuat banyak orang di negara kaya berlian dan emas berpenduduk 4,7 juta orang itu itu kelelahan, sementara menimbulkan kekuatiran akan kembali ke kekerasan terburuk di masa lalu, yang diwarnai lima kudeta dan banyak pemberontakan sejak kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1960.
Baca Juga: Republik Afrika Tengah Kian Membara, Tiga Tentara Perdamaian PBB Terbunuh
"Selama tiga hari terakhir, saya menjaga anak-anak saya dekat dengan saya," kata Israel Malongou, seorang pengusaha di ibu kota Bangui. "Saya ingin pemilu berakhir, siapa pun yang menang, sehingga kita bisa kembali ke kehidupan kita."
Touadera pertama kali terpilih pada tahun 2016 setelah pemberontakan tiga tahun sebelumnya yang menggulingkan Bozize. Dia telah berjuang untuk merebut kendali sebagian besar negara itu dari milisi bersenjata.
Gelombang kekerasan berturut-turut sejak 2013 telah menewaskan ribuan orang dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi.
Touadera dianggap favorit dibandingkan 17 kandidat lainnya.
Penantang utamanya adalah Anicet Georges Dologuele, mantan perdana menteri yang menjadi runner-up pada 2016 dan didukung oleh Bozize.
Baca Juga: Rusia Kirim 300 Instruktur Militer ke Republik Afrika Tengah
Pemilu akan dilanjutkan ke putaran kedua jika tidak ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50% suara.
Dalam perjalanan kampanye, Touadera telah menggembar-gemborkan kemajuan dalam membangun kembali institusi negara dan menolak seruan oposisi untuk menunda pemilihan.
“Tidak ada krisis kelembagaan. Kita harus melanjutkan pemilihan, ”katanya pekan lalu.
Touadera dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memiliki lebih dari 12.800 penjaga perdamaian berseragam di Republik Afrika Tengah, menuduh Bozize berada di balik serangan pemberontak, yang sempat merebut kota terbesar keempat di negara itu pekan lalu dan menyebabkan gelombang desersi dari tentara.
Pencalonan Bozize ditolak karena dia menghadapi surat perintah penangkapan dan sanksi PBB, karena diduga memerintahkan pembunuhan dan penyiksaan saat menjadi presiden.
Bozize membantah tuduhan itu dan partainya mengatakan dia tidak ada hubungannya dengan serangan pemberontak terbaru.
Mitra keamanan internasional Touadera telah menanggapi kekerasan terbaru dengan mengirimkan pasukan dan peralatan tambahan, termasuk 300 instruktur militer Rusia dan 300 penjaga perdamaian Rwanda.
Sementara, kepala misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Afrika Tengah (MINUSCA) mengatakan Sabtu bahwa misi tersebut '' bertekad '' untuk membantu orang menggunakan hak mereka untuk memilih dalam pemilihan presiden dan legislatif negara itu, seperti dilansir Associated Press.
Denise Brown, Wakil Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB di CAR dan Koordinator Kemanusiaan, MINUSCA mengatakan,"Dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa, kami telah menerima 300 pasukan penjaga perdamaian tambahan dari misi kami di Sudan Selatan, untuk memperkuat langkah-langkah keamanan (di Republik Afrika Tengah). Kami bertekad, bertekad, bahwa penduduk Afrika Tengah memiliki hak untuk memilih besok. "
Denise Brown juga mengatakan 300 penjaga perdamaian PBB dari Rwanda dikerahkan ke negara itu untuk memperkuat keamanan selama pemilihan hari Minggu (27/12/2020).
Brown berbicara satu hari setelah tiga penjaga perdamaian dari Burundi tewas dan dua lainnya terluka dalam serangan oleh kelompok bersenjata.
Pemerintah menyalahkan kerusuhan itu pada mantan Presiden Francois Bozize, yang kembali dari pengasingan setahun lalu dan telah diblokir untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.
Dia dituduh bergabung dengan kelompok bersenjata dalam upaya untuk melancarkan serangan dan kudeta. Bozize membantah tudingan tersebut.
Rwanda, yang memiliki penjaga perdamaian di negara itu, beserta Rusia telah mengirimkan ratusan tentara dibawah PBB untuk mendukung pemerintah saat pemberontak bergerak maju di Bangui.
Pemerintah dan badan-badan internasional menyerukan perdamaian setelah kesepakatan Februari 2019 antara pemerintah dan 14 kelompok pemberontak.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV