Utusan Khusus AS: Kelompok Taliban dan Pemerintah Afghanistan Siap Tentukan Agenda Perundingan Damai
Kompas dunia | 3 Desember 2020, 06:12 WIBISLAMABAD, KOMPAS TV – Utusan AS perantara pembicaraan damai yang sedang berlangsung antara pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban mengatakan pada Rabu (02/12/2020) bahwa kedua belah pihak telah mengatasi kebuntuan yang telah berlangsung selama tiga bulan dan menyetujui aturan serta prosedur perundingan damai.
Perkembangan ini penting karena kedua pihak makin dekat ke meja perundingan untuk menentukan masa depan Afghanistan setelah perang. Namun, kedua pihak harus memutuskan poin-poin agenda perundingan.
Dalam rentetan tweetnya seperti dilaporkan Associated Press, utusan khusus AS Zalmay Khalilzad mengungkap terdapat dokumen yang sudah ditandatangani dan mendesak kedua pihak, baik Taliban maupun pemerintah Afghanistan untuk segera menentukan “peta jalan politik dan gencatan senjata”
Dokumen tiga halaman itu memaparkan aturan dan prosedur perundingan, yang akan dilaksanakan di Doha, Qatar tempat Taliban selama ini memiliki kantor urusan politik.
Baca Juga: Taliban Dikabarkan Dukung Trump Kembali Jadi Presiden AS, Mujahid Merasa Pernyataannya Dipelintir
Rakyat Afghan “sekarang dapat mengharapkan kemajuan yang segera pada peta jalan politik dan gencatan senjata. Kami memahami keinginan mereka, dan kami mendukung mereka,” tutur Khalilzad dalam tweetnya.
Associated Press melaporkan, gencatan senjata, hak perempuan dan kaum minoritas, serta perubahan konstitusi akan menjadi agenda utama.
Namun daftarnya akan panjang dan akan diperdebatkan, dengan isu seperti jaminan keselamatan bagi ribuan pejuang Taliban yang akan meletakkan senjata, sejalan dengan pembubaran milisi bersenjata berat yang loyal kepada panglima-panglima perang di Kabul, dimana banyak dari kelompok tersebut bersekutu baik dengan pemerintah maupun dengan oposisi.
Menteri luar negeri AS Mike Pompeo menyambut baik kesepakatan. Pompeo pada 29 Februari lalu menandatangani kesepakatan AS dan Kelompok Taliban, yang memberi dasar bagi penarikan pasukan AS dari Afghanistan. “Seiring jalannya perundingan tentang peta jalan politik dan gencatan senjata permanen, kami juga akan bekerja keras dengan seluruh pihak untuk secara serius menekan tingkat kekerasan,” tutur Pompeo.
Baca Juga: Sekjen PBB: Afghanistan Harus Segera Lakukan Gencatan Senjata
Pengumuman Khalilzad tidak mengejutkan – bulan lalu, Kelompok Taliban menyatakan aturan dan prosedur perundingan telah tercapai dan AS minggu lalu menyatakan, kesepakatan telah tercapai.
Namun kemudian pemerintah Afghanistan memiliki beberapa kekuatiran dengan beberapa kata dalam pembukaan kesepakatan, yang memicu tudingan bahwa presiden Afghanistan Ashraf Ghani menggantung kesepakatan. Juru bicara presiden Afghanistan telah membantah tudingan tersebut
Tidak ada informasi rinci tentang isi dokumen, namun juru bicara kelompok Taliban Muhammad Naeem mengatakan, kedua pihak telah mengangkat sebuah komite untuk menghasilkan agenda pertemuan.
Sejak Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban memulai pembicaraan September lalu, kekerasan justru meningkat tajam. Taliban melancarkan serangan mematikan terhadap pasukan pemerintah namun memenuhi janji untuk tidak menyerang pasukan AS dan NATO.
Serangan-serangan itu dibalas serangan besar dari Angkatan Udara Afghanistan yang dibantu pesawat tempur AS. Berbagai kelompok HAM internasional memperingatkan kedua pihak untuk menghindari jatuhnya korban warga sipil.
Baca Juga: Di Akhir Masa Jabatan, Trump Akan Kurangi Pasukan di Afghanistan dan Irak
Di Washington DC, Jenderal Mark Milley, Kepala Staf Gabungan Tentara AS mengatakan, rencana militer untuk mengurangi jumlah tentara AS ke tingkat 2,500 prajurit pada pertengahan Januari 2021 telah disetujui pejabat sementara menteri pertahanan AS Christopher Miller.
Jenderal Milley menolak untuk membahas rencana selanjutnya setelah Januari 2021 dan hanya mengatakan pasukan kecil AS akan beroperasi di dua pangkalan militer besar dan beberapa pangkalan yang lebih kecil untuk meneruskan pertempuran membasmi kelompok ekstrim seperti al-Qaida, serta untuk melatih pasukan pertahanan Afghanistan.
Milley menegaskan bahwa AS telah mencapai "sedikit keberhasilan" di Afghanistan setelah lebih dari 19 tahun menjalani peperangan, mempertimbangkan belum ada lagi serangan teroris ala 11 September 2001 di AS.
Memperhatikan bahwa Presiden Donald Trump membuat keputusan untuk mengurangi pasukan AS menjadi 2.500, Milley berkata, “Apa yang terjadi setelah itu, itu tergantung pada pemerintahan baru; kita akan mengetahuinya pada tanggal 20 Januari dan seterusnya. "
Baca Juga: NATO Kewalahan Jika AS Tarik Sebagian Pasukan Dari Afghanistan
Dari markas NATO di Brussels, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menyambut baik terobosan dari perundingan antara kelompok Taliban dan pemerintah Afghanistan, terlepas dari ketidakpastian masa depan aliansi NATO di Afghanistan, seraya mendorong agar terjadi kemajuan dalam gencatan senjata dan pembuatan peta jalan politik.
“Anda bisa berdiskusi apakah ini adalah langkah kecil atau besar, namun yang penting adalah, ini langkah pertama,” tutur Stoltenberg setelah memimpin konferensi video jarak jauh dengan jajaran menteri luar negeri negara-negara NATO. “Ini adalah pertama kalinya sebenarnya, kelompok Taliban dan pemerintah Afghanistan mampu menandatangani dokumen yang berisi kesepakatan kerangka kerja dan modalitas untuk merundingkan solusi damai jangka panjang,” tambahnya.
NATO saat ini memiliki 11.000 tentara di Afghanistan, namun berdasarkan kesepakatn AS-Taliban, seluruh tentara asing akan meninggalkan Afghanistan pada 1 Mei tahun depan bila kondisinya memungkinkan. Stoltenberg mengatakan, NATO saat ini menghadapi ‘dilema yang sulit’ tentang apa yang harus dilakukan.
Keputusan tentang masa depan NATO di Afghanistan tampaknya akan diambil pada bulan Februari tahun depan setelah Joe Biden resmi menjabat sebagai presiden AS. Sejak 2003, NATO terlibat dalam upaya internasional yang dipimpin AS untuk menghancurkan kelompok ekstrimis.
Kelompok Taliban saat ini mengendalikan setengah Afghanistan dan berada pada posisi terkuat sejak dihancurkan pasukan koalisi dibawah pimpinan AS, menjungkalkan pemerintahan Taliban yang saat itu melindungi pemimpin al-Qaida, Osama bin Laden.
Banyak rakyat Afghan, khususnya di perkotaan, mengalami ketakutan akan kembalinya rejim pemerintahan represif yang menghukum secara keras mereka yang menolak penerapan aturan syariah menurut tafsir kelompok Taliban. Tidak seperti saat dulu berkuasa, kini kelompok Taliban menyatakan akan mengijinkan anak perempuan untuk bersekolah dan perempuan dewasa untuk bekerja dan menjadi pejabat public, walau Taliban tidak setuju perempuan menjadi presiden atau ketua mahkamah agung.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV