> >

Ada Cerita Lain dari Perpecahan Etnis Serbia Albania di Kosovo

Kompas dunia | 3 Desember 2020, 04:12 WIB
Fadil Rama (54), seorang muslim Albania tengah memberi secangkir air minum pada Blagica Dicic (92), seorang perempuan tua etnis Serbia Kosovo di rumahnya di desa Vaganesh, Kosovo. Foto diambil pada 19 November 2020. (Sumber: AP Photo / Visar Kryeziu)

VAGANESH, KOMPAS.TV – Blagica Dicic (92) kini jadi satu-satunya penduduk yang tersisa di desa etnis minoritas Serbia yang terpencil di Vaganesh, di pegunungan di timur Kosovo yang telah ditinggalkan oleh para penghuninya. Anak-anak Dicic juga telah pergi meninggalkan desa yang terletak sekitar 45 kilometer di sebelah timur dari ibukota Kosovo, Pristina.

Djordje, putra sulungnya, sudah pindah ke ibukota Serbia di Beograd, dan tidak punya kamar lebih untuk sang ibu. Dicic juga tak bisa mengingat, kapan ia kali terakhir berjumpa putra sulungnya.

Putra bungsunya, Slobodan, tinggal di perumahan yang disediakan dewan kota di dekat Kamenica dengan istrinya yang lumpuh. Ia juga jarang mengunjungi Dicic.

Baca Juga: Hadapi Dakwaan Sebagai Penjahat Perang, Presiden Kosovo Mengundurkan Diri

Tapi kini, Dicic merasa punya putra baru yang peduli terhadapnya, Fadil Rama (54). Ceritanya jadi lebih luar biasa karena Fadil Rama berasal dari etnis lain yang berseberangan dalam perpecahan etnis di Kosovo. Ia merupakan etnis mayoritas Albania di Kosovo dan seorang muslim.  

“Saya punya tiga putra, bukan dua,” kata Dicic sambil berbaring dengan dua lapis selimut membungkus tubuh rentanya di dipan tempat tidurnya. “Fadil adalah putra saya yang lain, yang sering membawakan saya makanan dan merawat saya.”

Fadil tinggal di desa Strezovce yang dihuni etnis mayoritas Albania, sekitar 2 kilometer dari desa tempat tinggal Dicic.

Sejak awal November lalu, kesehatan Dicic kian menurun, tubuhnya melemah dan ia sulit berdiri. Namun, perempuan tua itu menolak untuk pindah dari rumah tingkatnya yang bobrok, salah satu dari sekitar 50 rumah batu dan kayu di desa Vaganesh yang berangsur rusak dan runtuh karena ditinggalkan para penghuninya. Untuk bertahan hidup, Dicic bergantung pada dana pensiun sebesar 60 Euro yang diperolehnya setiap bulan.

Baca Juga: Akibat Perseteruan Bersejarah, Serbia dan Montenegro Saling Usir Duta Besar

Sebelum perang tahun 1998 – 1999 berkecamuk, desa Vaganesh dihuni oleh sekitar 200 penduduk. Kini seluruh penduduk desa telah pindah. Slobodan putra bungsu Dicic jadi penduduk desa terakhir yang pindah keluar Vaganesh saat istrinya jatuh sakit tiga tahun lalu.

Perang yang berlangsung di bekas provinsi Serbia telah menewaskan lebih dari 10.000 jiwa – sebagian besar etnis Albania – dan berakhir setelah pemboman Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memaksa Serbia menarik mundur tentaranya yang memerangi pemberontakan etnis Albania.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menguasai wilayah tersebut selama 9 tahun sebelum Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya di tahun 2008, yang tidak diakui Serbia. Hubungan antara Beograd dan Pristina masih tetap tegang hingga kini.

Baca Juga: Kosovo Terapkan Karantina Wilayah Pasca Peningkatan Kasus Positif Corona

Rama, yang memiliki toko kelontong kecil, sudah mengenal Dicic sejak ia masih kanak-kanak. Dicic selalu memberi anak-anak desa Strezovce, termasuk Rama, hadiah permen dan gula-gula, juga saat perang sekalipun.  

“Ia perempuan yang baik sebelum, selama dan sesudah perang. Ia memperlakukan kami seperti anak-anaknya sendiri,” ujar Rama melukiskan Dicic. “Saat tahu bahwa ia tinggal sendirian di sini, saya merasa kasihan, jadi saya ingin balas budi.”

“Politik Beograd atau Pristina bukan urusan kami. Di sini, kami saling membantu satu sama lain,” ujar Rama.

Membawa bahan makanan dari toko kelontongnya, Fadil Rama berjalan menuju desa Vaganesh untuk mengunjungi Dicic. Foto diambil pada 19 November 2020. (Sumber: AP Photo / Visar Kryeziu)

Sejak pandemi Covid-19 pada Maret lalu, Rama mengunjungi Dicic dua kali dalam seminggu untuk membawakan makanan. Rama juga membersihkan kamar dan memasak untuk Dicic.

Menurut Rama, tak ada yang aneh dengan apa yang dilakukannya terhadap seorang perempuan tua Kristen Ortodoks Serbia. Para tetangganya pun mengiyakan.

“Apa ada masalah dengan membantu seorang perempuan tua Serbia? Memangnya kenapa?” ujar dua pria di desa Strezovce balik bertanya. "Itu perbuatan terpuji .”

Sejak perang berkecamuk, desa Vaganesh tidak memiliki akses air minum. Biasanya, Dicic berjalan kaki ke desa Strezovce untuk membeli air dan kebutuhan pokok lainnya. Namun, kini tubuhnya terlalu lemah dan renta.

Menurut Rama, kini para penggembala sekitar yang mendengar aksinya membantu Dicic, mengikuti teladannya. Mereka juga mengunjungi Dicic secara teratur untuk mengecek kondisi kesehatannya, membawakan air atau makanan.

Rama juga mengabari putra Dicic, Slobodan dan berjanji bahwa ia akan mengurus Dicic hingga akhir hayatnya dengan seluruh kemampuannya. “Saya tidak akan meninggalkannya sendiri,” pungkas Rama.

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU