Malapetaka di Ethiopia: Cerita Seorang Penyintas Krisis di Ethiopia
Kompas dunia | 22 November 2020, 00:22 WIBNAIROBI, KOMPAS.TV – Terguncang oleh baku tembak di sekitar tempat tinggalnya di kota Tigray di utara Ethiopia, perempuan ini, kita sebut saja Kara, memutuskan untuk keluar dari Tigray. Kara bergabung dengan barisan panjang para warga yang tengah mengantri dokumen-dokumen yang diperlukan dalam perjalanan. Namun saat tiba gilirannya, sang petugas setempat mengatakan bahwa Kara cuma membuang-buang waktu.
“(Dokumen perjalanan) ini cuma diperuntukkan bagi para relawan yang ingin bergabung untuk berperang,” begitu kata sang petugas setempat.
Pertempuran antara pemerintah Ethiopia dan kaum oposisi bersenjata di kawasan Tigray ini dimulai pada 4 November, menyusul terjadinya perselisihan kekuasaan antara kedua belah pihak. Kaum oposisi menganggap pemerintahan Ethiopia tidak sah. Pertempuran yang dapat mengguncang kawasan Tanduk Afrika ini, terbilang tersembunyi dari dunia luar. Sebabnya? Komunikasi terputus, jalan diblokir dan bandara ditutup.
Menjadi salah satu dari sekian ratus orang yang berhasil dievakuasi keluar dari Tigray pekan ini, Kara, dalam wawancaranya dengan Associated Press, mengungkapkan kemarahan, keputusasaan dan kelaparan yang kian parah yang juga diderita jutaan warga Ethiopia, seiring penolakan kedua belah pihak yang berselisih atas seruan dunia internasional untuk berdialog dan menerima bantuan, di minggu ketiga pertempuan mematikan mereka. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, bantuan makanan dan kebutuhan pokok lainnya akan segera habis, dan ini akan menyebabkan jutaan rakyat Ethiopia terancam kelaparan.
Baca Juga: Dampak Ethiopian Airlines Jatuh, Boeing 737 Max 8 Dilarang Terbang
Di tengah situasi suplai kebutuhan pokok yang diblokir di perbatasan-perbatasan Tigray dan kepanikan para pekerja kemanusiaan menggunakan telepon satelit yang jumlahnya terbatas untuk menghubungi dunia luar, sangat sulit untuk mendengar laporan dari mereka yang menderita. Setidaknya, beberapa ratus orang tewas terbunuh, dan PBB telah mengutuk ‘serangan yang ditujukan bagi warga sipil berdasarkan etnis atau agama mereka’ itu.
Kara, seorang ahli bantuan Ethiopia yang menolak mengungkap identitas aslinya demi keselamatan diri dan keluarganya, mengungkap kesaksiannya secara rinci tentang populasi berjumlah 6 juta jiwa yang tengah kekurangan makanan, bahan bakar, uang dan bahkan air. Mereka juga harus hidup tanpa listrik saat tentara Ethiopia merangsek mendekati ibukota Tigray setiap hari.
“Orang-orang ini akan mati perlahan-lahan,” ujar Kara.
Tak semua cerita Kara bisa diverifikasi. Namun, deskripsi perjalanannya melintasi Mekele, ibukota Tigray, menuju ibukota Ethiopia, Addis Ababa, sesuai dengan penggambaran orang-orang lain yang berhasil keluar dari zona perang mematikan itu: mulai dari pekerja kemanusiaan, para diplomat, pejabat senior universitas dan beberapa orang lain dari 30.000 pengungsi lain yang berhasil melarikan diri ke Sudan. Lewat seorang pengungsi asing, Kara bersedia berbagi kisahnya.
Saat perbatasan, jalan dan bandara ditutup menyusul pengumuman dari perdana menteri Ethiopia bahwa pasukan Tigray telah menyerang sebuah pangkalan militer, Kara merasa tercabik-cabik. Ia punya keluarga di Addis Ababa dan ingin bergabung bersama mereka.
Bank-bank juga tutup. Untungnya, orang-orang terdekatnya memberinya sejumlah uang untuk perjalanan Kara ke Mekele. Kerap, saat mengemudikan mobilnya, Kara harus berjibaku menghindari penghalang jalan berupa tumpukan batu yang disusun para pemuda setempat. Dia bilang, dia tidak melihat perkelahian atau pertempuran.
Baca Juga: Presiden Trump Umumkan Sudan Akan Akui Israel, Palestina Anggap Itu Pengkhianatan
Di Mekele, Kara bertemu dengan sejumlah teman di area sekitar universitas. Pemandangan yang dilihatnya di sana membuatnya terhenyak. “Mereka panik. Para mahasiswa tidur di luar kampus karena mereka datang dari mana-mana.” Hanya sedikit yang bisa ia berikan untuk memberi makan mereka. Stok bahan makanan di pasar-pasar pun menipis.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV