> >

Bagai Kisah Daud dan Goliath: Pekerja Migran Indonesia Melawan Pengusaha Kaya Singapura

Kompas dunia | 25 September 2020, 09:41 WIB
Parti Liyani dan pengacaranya yang berkerja secara pro bono, Anil Balchandani. Mereka berakhir sebagai pemenang setelah perjuangan tanpa lelah melawan pengusaha kaya Singapura selama empat tahun. (Sumber: HOME/Grace Baey)

SINGAPURA, KOMPAS.TV – Sebuah kasus hukum tak seimbang bagaikan kisah Daud dan Goliath terjadi di Singapura. Kasus ini melibatkan seorang pekerja migran Indonesia, dengan pendidikan hanya lulusan SD. Dia melawan majikannya yang merupakan pengusaha kaya raya dan pemimpin beberapa perusahaan besar di Singapura.

Kasus ini menarik perhatian dan simpati publik Singapura, tentang bagaimana perjuangan orang kecil yang mencari keadilan.

Tersebutlah seorang pembantu rumah tangga bernama Parti Liyani, ia telah bekerja pada majikannya bernama Liew Mun Leong sejak 2007. Liew Mun Leong bukanlah orang biasa, dia merupakan pendiri beberapa perusahaan raksasa di Singapura.

Drama bagai kisah sinetron ini terjadi pada Maret 2016, saat keluarga Liew memutuskan untuk pindah rumah. Dalam dokumen pengadilan disebutkan, sesaat setelah pindah rumah, Parti diminta majikannya untuk membersihkan rumah dan kantor baru majikannya dalam beberapa kesempatan. Tindakan ini sesungguhnya melanggar aturan ketenagakerjaan setempat, yang sebelumnya pernah dikeluhkan Parti.

Beberapa bulan kemudian, keluarga Liew memecat Parti dengan tuduhan pencurian.

Ketika dipecat, Parti sempat berkata kepada majikannya, “Saya tahu (mengapa saya dipecat). Anda marah karena saya menolak membersihkan toilet Anda.”

Parti hanya diberi waktu dua jam untuk mengemasi barang-barangnya yang dimasukkan dalam beberapa kotak, untuk dikirim ke Indonesia. Dia kemudian dipulangkan ke Indonesia pada hari yang sama.

Ketika sedang berkemas, Parti sempat berkata dia akan mengadukan perlakuan ini pada otoritas Singapura. Bahwa dia diperintahkan untuk membersihkan rumah dan kantor keluarga Liew, dan bagaimana perlakuan ini bertentangan dengan aturan ketenagakerjaan di Singapura.

Sebelum pulang ke Indonesia, keluarga Liew memeriksa kotak-kotak yang berisi barang Parti. Mereka mengklaim telah menemukan barang-barang keluarga kaya ini di dalam kotak yang dikemas Parti. Keluarga Liew pun melaporkan peristiwa ini pada kepolisian pada 30 Oktober 2016.

Parti mengaku tidak mengetahui tentang kejadian dan pelaporan ini, hingga lima minggu kemudian. Lima minggu kemudian dia kembali ke Singapura untuk mencari pekerjaan baru, namun langsung ditahan setibanya di Singapura.

Parti tidak bisa bekerja di Singapura karena masih dalam proses pidana. Dia tinggal di tempat penampungan pekerja migran dan menggantungkan hidup pada bantuan keuangan, saat kasus ini masih bergulir.

Parti dituduh mencuri berbagai barang keluarga Liew, termasuk 115 helai pakaian, tas mewah, satu buah DVD player dan sebuah jam tangan bermerk Gerald Genta.

Keseluruhan nilai barang tersebut mencapai S$34.000 (sekitar Rp 370.000.000).

Namun Parti mengaku barang-barang itu adalah miliknya, sedangkan sebagian lagi adalah barang yang ditemukannya. Ada juga barang yang menurutnya tidak dimasukkannya ke dalam kotak ketika berkemas.

Pada tahun 2019, hakim distrik menyatakan dia bersalah dan dihukum dua tahun dan dua bulan penjara. Parti memutuskan untuk banding atas keputusan ini. Kasus ini pun terus berlanjut, hingga akhirnya di awal September 2020, Pengadilan Tinggi Singapura membebaskannya.

Hakim Chan Seng Onn di Pengadilan Tinggi menyimpulkan, keluarga Liew memiliki motif yang tidak tepat ketika menuntut Parti. Selain itu, hakim juga menyorot tentang bagaimana polisi, jaksa dan bahkan hakim distrik menangani kasus ini.

Seperti dilansir dari BBC, hakim mengatakan, ada alasan yang mendasari mengapa keluarga Liew melaporkan Parti ke polisi. Alasan itu adalah untuk mencegah Parti melaporkan keluarga ini karena memerintahkannya untuk membersihkan rumah keluarga Liew secara illegal.

Hakim juga menyebut bahwa barang yang dituduh dicuri oleh Parti, ternyata telah rusak. Misalkan jam tangan yang tombolnya telah hilang dan dua iPhone yang sudah tidak berfungsi. Hakim mengatakan, adalah tindakan yang tidak biasa untuk mencuri barang-barang yang sudah rusak.

Contoh yang lain adalah, Parti dituduh mencuri DVD Player. Padahal faktanya, DVD player itu telah dibuang oleh keluarga Liew karena sudah rusak.

Jaksa di tingkat distrik kemudian mengakui, ia mengetahui bahwa DVD player itu sebenarnya tidak berfungsi. Namun fakta ini tidak pernah ditunjukkan dalam persidangan di tingkat distrik. Malahan ketika DVD player ini dihadirkan sebagai barang bukti, tiba-tiba DVD player ini bisa berfungsi. Hakim Chan berpendapat, pengadilan tingkat distrik telah menggunakan “teknik sulap” yang sangat merugikan terdakwa.

Ada juga sebuah pisau berwarna merah muda yang dihadirkan sebagai barang bukti. Anak dari Liew Mun Leong yang bernama Karl Liew, mengaku membeli pisau itu di Inggris dan membawanya ke Singapura pada tahun 2002. Parti dituduh telah mencuri pisau ini. Namun kemudian Karl Liew mengakui, bahwa pisau itu memiliki desain yang terlalu modern untuk disebut sebagai barang yang diproduksi sebelum tahun 2002.

Satu contoh kejanggalan lagi, Parti dituduh telah mencuri beberapa helai pakaian wanita. Namun ketika ditanya lebih lenjut, Karl Liew tidak ingat, apakah pakaian itu memang miliknya atau bukan. Hakim kembali mempertanyakan, bagaimana mungkin Karl Liew yang seorang lelaki bisa memiliki pakaian wanita? Karl Liew menjawab, bahwa dia memang senang melakukan crossed-dress (sebuah perlilaku yang senang memakai pakaian yang tidak sesuai dengan gendernya).

Menurut Hakim Chan, keterangan dari Karl Liew ini sangat tidak bisa dipercaya.

Kemudian Hakim Chan juga mempertanyakan pihak pengadilan distrik yang tidak menyediakan penerjemah bahasa Indonesia kepada Parti. Mereka hanya menyediakan penerjemah bahasa Melayu, bahasa yang bukan digunakan dalam keseharian Parti.

Kasus ini sangat menyentuh masyarakat Singapura. Dimana sebagian besar dari mereka merasa marah pada keluarga Liew.

Banyak yang percaya, kasus ini adalah gambaran bagaimana pihak yang kuat menindas yang lemah. Kasus ini adalah gambaran bagaimana si kaya bisa mengatur hukum, demi kepentingannya sendiri.

Meskipun pada akhirnya Parti memenangkan kasus ini, namun warga Singapura mempertanyakan keadilan yang tidak berimbang di negara singa ini. Mereka mempertanyakan, bagaimana jika mereka yang berada di posisi Parti? Apakah hukum akan berpihak pada mereka?

Menyusul kuatnya protes dari publik Singapura, Liew Mun Leong mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pucuk pimpinan di beberapa perusahaan bergengsi.

Kasus ini juga membuka mata publik Singapura tentang akses hukum bagi pekerja migran. Parti bisa memperjuangkan kasusnya karena mendapat dukungan dari organisasi non pemerintah bernama Home dan pengacara Anil Balchandani yang membelanya secara pro bono.

Singapura memang menyediakan sumber daya hukum bagi pekerja migran. Namun masalahnya, biasanya pekerja migran adalah pencari nafkah tunggal bagi keluarga mereka. Banyak dari mereka yang mengalami permasalahan hukum, namun memutuskan untuk tidak meneruskannya. Karena mereka tidak memiliki kemewahan untuk bisa mengurus kasus mereka selama berbulan-bulan tanpa bekerja dan tak mendapat penghasilan.

Parti beruntung karena memiliki pengacara yang berjuang bersamanya dengan gigih untuk melawan kekuatan negara. Dan mereka berakhir sebagai pemenang.

Saat ini, Parti mengatakan akan kembali ke Indonesia.

“Saya memaafkan majikan saja. Saya hanya ingin memberi tahu mereka untuk tidak melakukan hal yang sama kepada pekerja lain,” katanya seperti dilansir dari BBC.

Penulis : Tussie-Ayu

Sumber : Kompas TV


TERBARU