> >

Tragedi dan Komedi Orang Miskin dalam Panggung "Repertoar Sabun Colek"

Komedi | 24 November 2023, 05:00 WIB
Salah satu adegan Repertoar Sabun Colek Sanggar Komunitas Tujuh (Sumber:komunitas tujuh -)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mengangkat potret kemiskinan kota ke dalam panggung teater sudah sering dilakukan para sutradara dan penulis naskah di Tanah Air. Ini menunjukkan realitas yang dihadapi memang belum banyak berubah, meski zaman dan presiden sudah berganti. Kemiskinan seperti bayangan yang terus menghampiri setiap individu. Bahkan, bagi sebagian orang seperti 'takdir' yang sulit dipisahkan dari kehidupan. 

Itulah yang coba dihadirkan oleh kelompok teater Sanggar Komunitas Tujuh lewat lakon Repertoar Sabun Colek yang disutradarai Kukuh Santosa di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (21/11/2023). Menampilkan sekelompok orang yang hadir dalam sebuah kampung dan terjebak dalam situasi tanpa pilihan. Bagi sebagian orang mungkin sebuah tragedi, tapi bagi sebagian lain, bisa saja jadi komedi. 

Setiap adegan ditampilkan saling mengisi menggambarkan kehidupan pahit namun kadang komedi. Adegan Repertoar Sabun Colek dari Sanggar Komunitas tujuh (Sumber: sanggar komunitas tujuh-)

Dibuka oleh penampilan warga kampung yang berjoget bernyanyi sambil nyawer dengan latar rumah-rumah yang terbuat dari seng dan kayu yang mudah terbakar. Hingga datang seorang pimpinan kampung mengabarkan kepada tetua di sana bahwa kampung mereka sudah tidak layak ditinggali: kumuh dan sumber penyakit. Pilihan yang sangat sulit bagi kaum miskin di tengah kota yang terjepit. Paling-paling digusur.

Baca Juga: Teater GLAdiactor Tampilkan Post Gen Z di Festival Teater Anak 2023, Catat Tanggalnya

Namun, di tengah impitan kemiskinan itu, tampak berbagai fragmen yang menggambarkan interaksi para penduduk di sana. Tentang seorang perempuan yang punya suami pengangguran hingga sering merecoki orang tuanya. Sementara itu, ada janda yang heboh karena suka menggoda anak muda di sana, meski suka mabuk. Ada pula anak dan ayah yang sama-sama jadi tukang ojek namun ribut melulu.

Setiap adegan ditampilkan saling mengisi, menggambarkan kehidupan pahit namun kadang komedi. Salah satunya ditampilkan oleh adegan ibu dan anak yang buka warung, namun suami tak pernah membantu, bahkan kerjanya hanya tidur saja.

Si ibu (dimainkan Evi Agustin) mengeluh karena merasa ditipu sejak mereka menikah. "Ngakunya anak orang kaya. Ngakunya punya kontrakan 27 pintu, tahunya kandang ayam, itu pun 7 pintu bukan 27," umpatnya. Namun si ibu tetap memuja suami yang disebutnya ganteng dan jadi rebutan para perempuan hingga jago merayu.

Sementara si anak yang jaga warung sontak marah-marah setelah tahu diputuskan oleh pacarnya. Sambil marah-marah di telepon, dia memaki pacarnya. "Sok kegantengan lu, gantengan pantat monyet. Cowok kayak lu bisa gua kiloin," katanya. 

Baca Juga: Arcana Foundation Pentaskan Teater Monolog Drupadi, Gugatan Wanita terhadap Kekuasaan Pria

Meski tidak membentuk satu cerita utuh dari awal sampai akhir, hanya adegan demi adegan, penonton tampaknya cukup terhibur. Beberapa kali terdengar gelak tawa dari bangku penonton.

Tampaknya memang benar bila disebut bahwa kemiskinan itu kadang tragedi, namun kadang jadi komedi bagi yang lain. Ada orang yang memandang kemisknan sebagai sumber penyakit karena itu harus diberantas dengan cara digusur. Namun di sisi lain, kemiskinan menyimpan sisi kodrat manusia, interaksi di antara mereka, dengan humor dan sama-sama tertawa di tengah derita.             

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU