7 November, Mengenang WS Rendra, Penyair yang Dijuluki "Si Burung Merak" Pendiri Bengkel Teater
Seni budaya | 7 November 2022, 07:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Willibrodus Surendra Broto atau yang lebih dikenal dengan WS Rendra merupakan penyair dan dramawan yang memiliki pengaruh besar dalam sastra Indonesia.
Di dunia pendidikan terutama sastra Indonesia, karya-karya WS Rendra masih dipakai dan diapresiasi hingga saat ini.
Di luar itu, puisi-puisi Rendra juga masih hidup di antara sastrawan-sastrawan muda.
Karya-karyanya tak terkekang, Rendra seakan memperlihatkan kepribadian dan kebebasan sendiri.
Sastrawan terkemuka sejak tahun 1950-an bahkan dijuluki "Si Burung Merak" karena penampilannya yang selalupenuh pesona.
Untuk memperingati hari kelahiran WS Rendra pada 7 November, berikut rangkumam perjalanan hidup W.S Rendra.
Profil WS Rendra
Melansir laman Kemndikbud.go.id, Rendra lahir 7 November 1935 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Darah seninya turun dari orang tuanya
Sang ayah, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo merupakan guru bahasa terutama Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa SMA Katolik di Solo.
Di sela-sela mengajar, Pak Broto juga kerap bermain drama tradisional.
Sementara itu, ibunda Rendra, Raden Ayu Catharina Ismadillah adalah penari serimpi di Keraton Surakarta.
Pendidikan
Ia menempuh pendidikan dari SD, SMP hingga SMA di sekolah Katolik, Solo, Jawa Tengah.
Sejak duduk di bangku SMP, Rendra remaja sudah mulai minat menulis puisi, drama hingga cerita pendek.
Di SMA, kemampuannya dalam menulis semakin terasah hingga karya-karyanya mulai diterbitkan dan ditampilkan.
Sajaknya diterbitkan pertama kali tahun 1952 pada majalah Siasat. Sejak saat itu, sepanjang tahun 1950-an puisi-puisi Rendra terus dimuat dalam Siasat, Kisah, Seni, Basis, dan Konfrontasi.
Naskah drama pertama yang ditulisnya berjudul "Kaki Palsu" berhasil dimainkan di sekolahnya.
Bahkan naskah drama "Orang-Orang di Tikungan Jalan" memenangi hadiah pertama lomba penulisan lakon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta tahun 1954.
Setelah itu, kegiatannya dalam menulis naskah drama dan bermain drama terus berkembang.
Sastrawan Bakdi Sumanto mengatakan bahwa sejak tahun 1950-an Rendra sudah dikenal oleh masyarakat seniman di Surakarta.
Pada tahun 1960-an hingga 1970-an, sajak-sajak Rendra telah terbit dalam berbagai majalah populer tanah air seperti Budaya, Selecta, Horison hingga pelopor.
Setamat SMA, Rendra meninggalkan kota kelahirannya dan pergi ke Jakarta berniat untuk belajar di Akademi Luar Negeri di Jakarta.
Akan tetapi, sekolah itu ternyata telah ditutup sebelum Rendra tiba di Jakarta.
Rendra kemudian pergi ke Yogyakarta dan melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Namun, ia tidak menyelesaikannya. Rendra lantas terbang ke Amerika setelah mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA) lada 1964.
Ia bahkan diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk menghadiri seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard.
Menamatkan pendidikannya pada 1967, Rendra kembali ke Indonesia dan mendirikan Bengkel Teater.
Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain.
Dramanya yang berjudul "Bip-Bop" dipentaskan pertama kali tahun 1968.
Selain itu, dramanya berjudul "Teater Mini Kata" begitu unik karena mempergunakan kata yang sangat sedikit, hanya ditampilkan dalam gerak dan lagu.
Tahun 1988 drama itu dipentaskan pula di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pada perkembangannya, Bengkel Teater dipindahkan Rendra ke Depok.
Kehidupan Asmara
Pasangan-pasangan Rendra tak jauh dari lingkungan teater. Rendra menikah pertama kali di usia 24 tahun dengan Sunarti Suwandi, salah pemain drama di Bengkel Teater, yang banyak memberikan inspirasi kepada Rendra dalam berkarya.
Dengan Sunarti, ia memiliki 5 anak.
Tahun 1970, ia menikah lagi dengan Sitoresmi Prabuningrat putri darah biru Keraton Yogyakarta yang sebelumnya meminta menjadi murid Bengkel Teater. Dengan Sitoresmi, ia dikaruniai 4 anak.
Rendra mempersunting istri untuk yang ketiga kalinya dan menikah dengan Ken Zuraida yang juga pemain drama. Keduanya dikaruniai 2 anak.
Namun, tak lama kemudian Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Karya dan Pernghargaan
Ratusan karya Rendra tidak hanya populer di Indonesia namun juga di berbagai negara sehingga diterjemahkan di ke banyak bahasa.
Beberapa penghargaan yang ia peroleh antara lain
- Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
- Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
- Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
- Hadiah Akademi Jakarta (1975)
- Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
- Penghargaan Adam Malik (1989)
- The S.E.A. Write Award (1996)
- Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya:
- The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979)
- The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985)
- Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985)
- The First New York Festival Of the Arts (1988)
- Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989)
- World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992)
- Tokyo Festival (1995).
Akhir Hayat
Setelah sempat sakit-sakitan, W.S Rendra meninggal di usia 75 tahun pada Kamis (6/8/2009) pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga Depok.
Sebelumnya, Rendra dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung koroner.
Ia dimakamkan di Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok, Jawa Barat.
Penulis : Dian Nita Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kemdikbud.go.id