Indonesia Ingin Gabung BRICS, Pengamat Sebut Bisa Tingkatkan Daya Tawar RI di Dunia Internasional
Ekonomi dan bisnis | 26 Oktober 2024, 15:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai rencana Indonesia bergabung dengan BRICS adalah langkah yang tegas dan berani.
Hal itu dinilai bisa mendongkrak profil internasional Indonesia, serta meningkatkan posisi tawar RI di hadapan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) maupun BRICS.
Ia menjelaskan, sebenarnya isu apakah Indonesia akan bergabung dengan OECD atau BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sudah beredar cukup lama, sehingga perlu segera diputuskan.
"Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih dan memilah akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia, yaitu bukan angota keduanya. Kalaupun bergabung nantinya akan sangat terlambat dan tidak ikut terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan keduanya," kata Wijayanto dalam keterangannya kepada Kompas.tv, Sabtu (26/10/2024).
Ia menerangkan, menjadi anggota BRICS tidak harus diartikan menjaga jarak dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Menlu Sugiono Langsung ke Retret Kabinet di Akmil Magelang usai Hadiri KTT BRICS
India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi misalnya, merupakan anggota BRICS yang juga teman dekat AS.
Sebaliknya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama China dan Rusia.
OECD dan BRICS, lanjut Wijayanto, bukanlah blok yang kaku. Masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerja sama.
Dalam konteks ini, dia menilai pertimbangan Indonesia mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih.
Menurut Wijayanto, OECD jelas ingin mempertahankan status quo di mana beberapa negara Barat mendominasi ekonomi dunia. Termasuk terkait sistem perdagangan dunia dan sistem moneter, di mana dolar AS menjadi reserve currency dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menjadi wadah.
"Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti dolar AS, seperti dipelopori oleh Rusia dan China," ujarnya.
Baca Juga: Putin Usulkan Pembentukan Platform Ekonomi BRICS yang Bebas dari Dominasi Negara Lain
Ia menambahkan, Rusia semakin semangat mewujudkannya setelah negara-negara Barat membekukan aset-asetnya di luar negeri pascakonflik Ukraina.
"Banyak negara pun bertanya-tanya, jika ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka. Hingga agenda yang lebih moderat, seperti kerja sama dagang dan pembentukan sistem pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, ide ini dimotori salah satunya oleh India," tuturnya.
Wijayanto bilang, kalaupun akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS, idealnya Indonesia menjadi bagian yang moderat, mendorong kerja sama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada dolar AS.
Pasalnya, kata dia, sistem moneter saat ini, di mana dolar AS mewakili lebih dari 90 persen cadangan dan mata uang perdagangan dunia, cenderung tidak sehat.
Baca Juga: Indonesia Terima Peta Jalan Aksesi Keanggotaan OECD, Ini Manfaatnya Buat RI
"Apalagi Amerika Serikat cenderung menyalahgunakan posisi tersebut dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh banknote yang mereka terbitkan."
"Idealnya dolar AS akan tetap menjadi mata uang penting. Tetapi dunia perlu alternatif, agar otoritas moneter dan pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya," terangnya.
Lantas bagaimana dengan OECD? Wijayanto menyebutnya tetap sebagai pilihan yang bagus, tetapi unsur status quo-nya masih sangat kental.
Misalnya untuk menjadi anggota, calon anggota harus memenuhi kriteria yang disusun dengan value dan parameter yang sangat Barat-minded.
"Ada kesan ada pihak yang superior dan inferior. Dalam era dunia yang makin multipolar, hal seperti ini harus perlahan dihilangkan," ucap Wijayanto.
Untuk menjadi anggota, Indonesia pun harus berjuang keras untuk dapat memenuhi kriteria tersebut, yang tidak seluruhnya relevan bagi Indonesia.
Baca Juga: Kemenperin Sebut iPhone 16 Belum Boleh Diperjualbelikan di Indonesia, Ini Sebabnya
Hal lain, berdasarkan pengalaman RI, untuk mewujudkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Barat juga sangat rumit.
Lalu, sebaiknya Indonesia pilih bergabung dengan OECD atau BRICS?
Menurut Wijayanto, skenario terbaik adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki (Turki adalah anggota OECD tetapi mendaftar menjadi anggota BRICS), karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi.
Kemudian skenario terbaik kedua adalah memilih salah satu, jika memang harus memilih.
"Kita prioritaskan kelompok yang lebih menghargai posisi Indonesia, indikatornya sederhana yaitu yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat. Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan," kata Wijayanto.
Baca Juga: Program 100 Hari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Ingin Sederhanakan Perizinan Sektor Energi
"Skenario terburuk adalah Indonesia dalam posisi digantung; tidak menjadi bagian dari keduanya adalah, akibat ragu menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama dalam posisi ini dan harus segera diakhiri," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Sugiono secara resmi menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS sebagai pengejawantahan politik luar negeri nasional yang berdasar nilai bebas aktif.
Hal tersebut disampaikan Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10).
“(Bergabungnya RI ke BRICS) bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono, seperti dikutip dari Antara.
Ia mengatakan keinginan tersebut menunjukkan Indonesia memandang BRICS sebagai wahana yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama negara-negara Selatan Global (Global South).
Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : KOMPAS TV, Antara