Janji Prabowo-Gibran Ciptakan 19 Juta Lapangan Kerja di Tengah Badai PHK dan Ancaman AI
Ekonomi dan bisnis | 2 Oktober 2024, 18:00 WIBTapi masalahnya, seiring badai PHK banyak perusahaan manufaktur yang mengurangi kapasitas produksi mereka bahkan hingga gulung tikar. Indikasi pelemahan sektor manufaktur juga terlihat dari data Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis lembaga S&P Global.
Indeks PMI adalah indikator kondisi bisnis berbasis survei, yang mencakup ukuran individual dari output bisnis, pesanan baru, lapangan kerja, biaya, harga jual, ekspor, aktivitas pembelian, kinerja pemasok, tumpukan pesanan, dan inventaris input dan barang jadi.
Sejak awal tahun 2024, PMI Manufaktur Indonesia berada dalam tren pelemahan. Bahkan dalam dua bulan terakhir, PMI manufaktur berada di bawah level aman 50. Yaitu 49,3 pada Juli dan 48,9 pada Agustus.
Baca Juga: Tarif Listrik Oktober-Desember Tetap, Kementerian ESDM: Seharusnya Tarif Naik, Tetapi...
Tantangan lainnya juga datang dari masifnya penggunaan mesin dan artificial intelligent (AI) di dunia usaha. Presiden Joko Widodo bahkan menyebut, 85 juta pekerjaan akan hilang di 2025 karena hal tersebut.
"Dan kalau kita baca, 2025 pekerjaan yang akan hilang itu ada 85 juta, pekerjaan akan hilang 85 juta, sebuah jumlah yang tidak kecil. Kita dituntut untuk membuka lapangan kerja, justru di 2025, 85 juta pekerjaan akan hilang, karena tadi, adanya peningkatan otomasi di berbagai sektor," ungkap Jokowi saat membuka Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII di Solo pada 19 September 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, sebelum pandemi target menciptakan 19 juta lapangan kerja bukanlah sesuatu yang "wah". Lantaran Jokowi juga berhasil menciptakan 10 juta lapangan kerja di era sebelum pandemi.
Namun, mayoritas dari lapangan kerja itu ada di sektor informal. Setelah pandemi, masyarakat Indonesia makin banyak yang bekerja di sektor informal. Sedangkan pekerja di sektor formal jumlahnya menurun.
Faisal menerangkan, orang-orang yang bekerja di sektor informal adalah mereka yang tidak tertampung di sektor formal.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tanggapi Rencana Pertemuan Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri
"Jadi daripada mereka enggak dapat duit, mereka masuk sektor informal. Mereka tidak perlu melamar kerja ke kantor-kantor atau ke toko," kata Faisal saat dihubungi Kompas.tv, Rabu (2/10).
Ia menekankan, bukan hanya jumlah lapangan kerja baru yang dikejar tapi juga kualitas pekerjaannya harus dilihat oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Termasuk kualitas upah dan perlindungan kerja.
"Bentuk-bentuk good jobs ini yang harus kita dorong. Karena nantinya juga diharapkan bisa mendorong tingkat upah, tingkat kesejahteraan, hingga mendorong peningkatan jumlah kelas menengah yang sempat turun setelah pandemi," ujarnya.
Mengutip data BPS, jumlah kelas menengah memang terus menurun dari 57,33 juta orang (21,45% dari populasi) pada 2019, lalu turun jadi 53,83 juta jiwa pada 2021 saat pandemi (19,82% dari populasi), turun lagi menjadi 47,85 juta jiwa (17,13% dari populasi) hingga pertangahan 2024.
Faisal menjelaskan, upaya yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi lonjakan PHK. Melibatkan bauran kebijakan dan lintas kementerian lembaga (KL).
Baca Juga: Apa Saja Terobosan Baru yang Akan Dibuat oleh DPR RI Periode 2024-2029 untuk Rakyat?
"Diperlukan upaya ekstra, terobosan untuk mengatasi lonjakan PHK apalagi sampai menargetkan angka 19 juta lapangan kerja baru," ucapnya.
Pasalnya, PHK juga tidak disebabkan oleh 1-2 kebijakan atau KL. Misalnya industri padat karya yang pasarnya di dalam negeri tergerogoti produk impor akibat kebijakan Kementerian Perdagangan.
Lalu ada sektor padat modal dan padat teknologi seperti startup yang marak PHK tapi dengan sebab yang berbeda.
Faisal menegaskan, Prabowo-Gibran harus mengevaluasi sektor perdagangan, investasi dan industri untuk menekan potensi PHK di 2025 dan tahun-tahun berikutnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV, Harian Kompas