> >

Jika BI Rate Naik dalam Waktu Dekat, Bos BCA Tak Mau Buru-Buru Naikkan Bunga Simpanan dan Kredit

Perbankan | 23 April 2024, 14:22 WIB
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan, pihaknya tidak langsung serta-merta manikkan bunga simpanan dan pinjaman, jika Bank Indonesia menaikkan bunga acuan dalam waktu dekat. (Sumber: Antara)

JAKARTA, KOMPAS. TV- Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan, pihaknya tidak akan serta-merta manikkan bunga simpanan dan pinjaman, jika Bank Indonesia menaikkan bunga acuan dalam waktu dekat. 

Jahja mengatakan, BCA akan meninjau kondisi dan kebutuhan internal bank terlebih dulu. Perbankan, kata dia, akan mencermati kondisi internal terlebih dahulu selama beberapa waktu bahkan beberapa bulan setelah penetapan suku bunga acuan BI yang baru.

"Kalau memang kita butuhkan, kita akan ikut naikkan (suku bunga), misalnya apakah bunga deposito dinaikkan. Kalau kita rasakan masih cukup, hal ini kita tidak lakukan adjustment. Jadi saya pikir fleksibilitas itu tergantung situasi dan kondisi dari setiap bank," kata Jahja dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Senin (22/4/2024). 

"Kalau BI-rate naik, lalu serta-merta bunga pinjaman dinaikkan juga mungkin tidak tepat. Kita harus lihat apakah memang ada kebutuhan untuk itu," tambahnya. 

Ia mengungkap kinerja bank dengan kode emiten BBCA itu cukup baik. Baik dari sisi kenaikan laba bersih dan pertumbuhan kredit yang sebesar 17,1 persen yoy di kuartal I 2024. Padahal secara historis, kinerja kredit biasanya tumbuh negatif di kuartal I.

Baca Juga: Erick Thohir Bantah Instruksikan BUMN Borong Dolar AS di Tengah Pelemahan Rupiah

Lalu rasio pinjaman terhadap simpanan (loan-deposit ratio/LDR) BCA juga saat ini berada di kisaran 70-71 persen yang artinya masih dalam kategori yang sehat.

"Tetapi kembali, kita lihat kebutuhan kita. Kalau likuiditas kita masih baik, saya pikir tidak perlu serta-merta kita naikkan (suku bunga di BCA). Suku bunga BI ini kan hanya suatu benchmark atau acuan," tuturnya seperti dikutip dari Antara. 

Potensi kenaikan BI rate ini tak lepas dari kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Jahja memperkirakan bahwa kemungkinan The Fed tidak akan menurunkan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) dalam waktu dekat.

Menurutnya, skenario suku bunga tinggi dalam jangka waktu panjang atau higher for longer lebih memungkinkan terjadi. 

Hal itu mengingat ekonomi AS saat ini cukup baik dengan tingkat pengangguran (unemployment) yang terkendali meskipun inflasi masih belum mencapai target 2 persen.

Baca Juga: Rupiah Lemah Karena Dollar Menguat, Apa Saja Opsi Kebijakan Moneter yang Dimiliki Bank Indonesia?

"Jadi mereka (AS) mungkin tahun ini pun akan menunggu, apakah Desember atau bahkan bisa lebih ekstrem tahun depan baru mulai menurunkan suku bunga," ujarnya. 

Jahja juga mengingatkan bahwa AS akan menghadapi dilema mengingat Treasury Amerika Serikat (AS) senilai sekitar 7 triliun dolar AS jatuh tempo pada tahun ini. Hal itu dinilai menambah tekanan pada suku bunga. 

"Kalau bunga atau kupon yang ditawarkan tidak terlalu menarik, ini bisa jadi pertanyaan juga nanti siapa yang akan membeli treasury bills itu. Ini juga salah satu dilema yang akan dihadapi oleh Amerika," ucapnya. 

Ia menyebut auku bunga The Fed yang dipertahankan di level tinggi tidak hanya dapat berdampak bagi Indonesia melainkan juga dunia.

Baca Juga: Airlangga soal Eskalasi Konflik Iran-Israel: Geopolitik Belum Ada Apa-Apa, Kita Tenang Saja

Negara-negara lain juga akan berat untuk menurunkan suku bunga apabila The Fed masih tetap mempertahankan di level 5,25-5,50 persen.

"Akan berisiko kalau suku bunga AS tetap tidak turun, negara lain yang turunkan bunga akan memperlemah currency-nya. Kecuali mereka memiliki strategi dagang dengan ekspor yang lebih besar," tandasnya. 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Antara


TERBARU