Rupiah Tembus Rp16.200/Dollar AS, Ekonom Ingatkan Stabilitas Politik dalam Negeri Dijaga
Ekonomi dan bisnis | 17 April 2024, 11:08 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS kembali melemah pada Rabu (17/4/2024) pagi. Rupiah turun 76 poin atau 0,47 persen menjadi Rp16.252 per dolar AS, dari sebelumnya sebesar Rp16.176 per dolar AS.
Analis Finex Brahmantya Himawan mengatakan, pelemahan rupiah saat ini lebih disebabkan karena faktor eksternal. Perputaran uang ratusan triliun di dalam negeri selama periode libur Lebaran, belum mampu mengangkat rupiah.
Ia menyebut, pelemahan rupiah saat ini dipengaruhi data inflasi Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) Amerika Serikat (AS) Maret 2024 yang naik.
"Hal tersebut terjadi karena pada beberapa rilisan angka fundamental penting Amerika yang mendukung kekokohan dolar AS, angka Inflasi Consumer Price Index periode bulanan naik menjadi 0,4 persen dari perkiraan 0,3 persen," kata Brahmantya seperti dikutip dari Antara, Rabu (17/4/2024).
Ia menjelaskan, angka CPI AS periode tahunan pada Maret 2024 juga naik menjadi 3,5 persen dari periode sebelumnya yang hanya 3,2 persen.
Baca Juga: Pembatasan Jenis dan Jumlah Barang Kiriman PMI Dicabut, Begini Ketentuan Terbarunya
Angka tersebut mengindikasikan bahwa target inflasi bank sentral AS atau The Fed masih jauh, sehingga pemangkasan suku bunga kebijakan AS berpotensi tidak terjadi dalam waktu dekat.
"Sebagaimana yang dikatakan Ketua The Fed Jerome Powel bahwa masih menanti isyarat dan angka inflasi mengarah ke 2 persen," ujarnya.
Pengutan dollar AS terhadap rupiah juga disebabkab data penjualan ritel Amerika yang meningkat menjadi 0,7 persen, jauh di atas perkiraan yang hanya 0,4 persen.
Sementara dari sisi geopolitik, Iran yang menyerang Israel membuat investor mengalihkan aset mereka ke dolar AS sebaga safe haven.
"Saat ini tren penguatan dolar AS masih terlihat jelas sehingga rupiah berpotensi akan terdepresiasi lebih lanjut," ucapnya.
Baca Juga: Bukan Lagi Kemendag, Aturan Barang Bawaan dari Luar Negeri Kini jadi Ranah Kemenkeu
Ia memprediksi, rupiah akan bergerak pada kisaran Rp15.850 per dollar AS sampai dengan Rp16.250 per dollar AS pada perdagangan Rabu (17/4).
Bank Indonesia telah melakukan sejumlah langkah penting untuk menjaga kestabilan rupiah di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan dinamika perkembangan perekonomian AS.
Salah satu langkah yang dilakukan yaitu menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing (valas) di pasar (market) melalui triple intervention, khususnya di spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
BI juga meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal masuk asing (capital inflow).
Seperti melalui daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost. Selain itu, BI akan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait, seperti pemerintah, Pertamina, dan lainnya.
Baca Juga: Nilai Barang Kiriman PMI dari Luar Negeri Bebas Pajak & Bea Masuk Maksimal 1.500 Dollar AS per Tahun
Namun, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai, intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah harus diimbangi dengan kondisi politik yang stabil di dalam negeri.
"Kita memahami bahwa BI itu tidak punya cadangan yang besar untuk intervensi, sehingga yang perlu diperhatikan tentu kita harus melihat bagaimana nanti intervensi BI yang dilakukan itu harus diikuti dengan gejolak politik yang baik di dalam negeri," tutur Abdul seperti dikutip dari Antara, Selasa (16/4/2024).
Ia mengingatkan jangan sampai tren pelemahan nilai tukar rupiah saat ini diperparah dengan gejolak politik yang merugikan, sehingga dapat menyebabkan rupiah berpotensi merosot ke level yang lebih rendah.
Abdul mengungkap bahwa rupiah pada saat ini semakin menjauhi asumsi APBN. Dalam asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024, pemerintah mematok nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS.
Kondisi tersebut akan merugikan bisnis mengingat para pelaku ekonomi menjadikan asumsi APBN sebagai rujukan untuk merencanakan bisnisnya.
"Kalau itu semakin melemah, maka akan merugikan bisnis, khususnya bisnis yang terkait dengan lalu lintas negara, terutama impor bahan baku atau bahan modal yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat lewat peningkatan harga dalam negeri," ujarnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Antara