Kementerian ESDM Soroti Kenaikan Pajak BBM di DKI, Sebut Kurang Sosialisasi hingga Singgung Pemilu
Energi | 31 Januari 2024, 08:03 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut kenaikan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) atau Pajak BBM di DKI Jakarta kurang sosialisasi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kenaikan tarif Pajak BBM oleh Pemda DKI juga tanpa berkonsultasi dengan Kementerian ESDM lebih dulu.
"Jadi, kami mengimbau itu betul-betul diperhatikan oleh pemda setempat karena ini kita tahu semua ini masa pemilu sebentar lagi. Jadi hal-hal seperti itu tidak menambah kondisi yang kurang kondusif," kata Tutuka di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa (30/1/2024).
Sebelumnya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Perda tersebut yang menjadi payung hukum kenaikan Pajak BBM di Jakarta.
Baca Juga: Banyak Karyawan Mengeluh Potongan Pajak Jadi Lebih Besar, Begini Klarifikasi Ditjen Pajak
Menurut Tutuka, ada masalah lain juga yaitu permasalahan teknis dalam pemungutan Pajak BBM. Pasalnya, ada perbedaan tarif PBBKB antara kendaraan pribadi dan kendaraan umum.
"Saya tegaskan lagi bahwa ada permasalahan teknis juga dalam pelaksanaan karena berbeda antara pribadi dan kepentingan umum. Kalau beda begitu berarti dibedakan di SPBU-nya, di- dispensernya. Padahal BU (badan usaha) niaga Pertamina dan yang lain belum menyiapkan itu, samakan saja tepatnya kan. Tangki di bawah juga demikian. Permasalahan teknis itu jadi masalah operasional," tuturnya.
Pada Pasal 24 Perda DKI Nomor 1 Tahun 2024, dinyatakan bahwa tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10 persen. Khusus untuk Tarif PBBKB bagi kendaraan umum ditetapkan 50 persen dari tarif PBBKB kendaraan pribadi.
Tutuka menilai, harusnya Pemprov DKI merinci kriteria kendaraan yang seperti apa yang Pajak BBM-nya kena 10 persen.
Baca Juga: Hotman Paris Duga Ada Pejabat yang Tak Lapor Jokowi soal Besaran Pajak Hiburan
"Itu kan maksimal 10 persen PBBKB-nya. Kriteria menjadi 10 persen itu tidak ada. Jadi, semua perda atau pemda menyusunnya jadi 10 persen saja, maksimalkan saja," ujarnya.
"Kalau menurut saya harus ada kriterianya, yang 10 persen itu apa, ini tidak ada. Jadi, petunjuk teknis dari UU atau aturan turunan itu yang menurut saya diperlukan sebetulnya," ujarnya.
Lantaran Pemda DKI belum mengkonsultasikan kenaikan pajak itu ke Kementerian ESDM, Tutuka mengungkap pihaknya mengambil sikap untuk berkomunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Secara resmi kami tidak pernah berdiskusi, berkomunikasi tentang hal tersebut. Akhirnya, kami mengambil sikap ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan tentang kendala-kendala itu karena itu berhubungan dengan sektor kami, sektor migas dalam mendistribusikan BBM," ucapnya.
Namun, ia menekankan bahwa bukan wewenang Kementerian ESDM agar implementasi tarif PBBKB tersebut ditunda. Kementerian ESDM hanya menghimpun permasalahan-permasalahan yang ada soal implementasi tersebut.
Baca Juga: Toyota Setop Pengiriman 10 Model Mobil karena Skandal Mesin Diesel, Bagaimana di Indonesia?
"Kami tidak sampai ditunda karena itu bukan wewenang kami tetapi kami menghimpun permasalahan yang ada banyak. Pelaksanaannya harus diperhatikan betul karena akan menimbulkan dampak di masyarakat yang kami sudah lihat," tuturnya.
Senada, pengamat migas yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai kenaikan tarif Pajak BBM di wilayah DKI Jakarta akan sangat berpengaruh terhadap harga jual bahan bakar minyak jenis Pertalite.
Padahal Pertalite adalah BBM penugasan yang harganya berlaku secara pasti dan ditetapkan oleh pemerintah.
Ia berujar, saat tarif PBBKB buat kendaraan pribadi dinaikkan maka otomatis beban kenaikan tarif PBBKB harus masuk ke dalam harga jual Pertalite pula.
"Artinya ketika tarif PBBKB dinaikkan buat kendaraan pribadi maka harga jual Pertalite juga harus dikoreksi naik, padahal Pertalite adalah BBM penugasan yang harganya ditetapkan oleh pemerintah," katanya.
Baca Juga: KAI Larang Warga Gelar Hajatan di Dekat Rel Kereta, Bisa Kena Denda Rp15 Juta sampai Penjara
Perbedaan tarif PBBKB buat kendaraan pribadi dan angkutan umum akan menyulitkan pelaksanaan pungutan PBBKB di SPBU.
Misalnya ketika ada kendaraan umum membeli BBM nonpenugasan atau BBM nonsubsidi.
"Pada kenyataannya, pengisian BBM di SPBU juga tidak ada perbedaan dispenser (mesin pompa BBM) antara dispenser jenis BBM buat kendaraan umum dengan dispenser kendaraan pribadi. Hal ini harusnya jadi pertimbangan pihak Pemda DKI," ucapnya.
Ia mengingatkan, aturan baru ini juga akan menimbulkan kesulitan bagi pihak Badan Usaha Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Sebab, selama ini mereka lah yang ditunjuk Pemda sebagai pihak yang berhak melakukan pungutan PBBKB dari konsumen pengguna BBKB (Bahan Bakar Kendaraan Bermotor).
Baca Juga: Link PDF PP No 5 tentang Kenaikan Gaji PNS 2024, Ini Rincian untuk Semua Golongan
Selama ini Penyedia BBKB seperti Pertamina Patra Niaga, memungut langsung PBBKB dari pengusaha SPBU yang ada lewat penebusan BBM oleh pengusaha SPBU. Bukannya memungut langsung dari pembelian BBM yang dilakukan oleh tiap konsumen.
Pemungutan ini dilakukan bersamaan ketika pengusaha SPBU melakukan pembayaran pemesanan pembelian BBM kepada pihak Pertamina.
"Karenanya ketika terdapat adanya perbedaan tarif PBBKB dan perbedaan pengenaan terhadap konsumennya, ini pasti sangat membuat ruwet pemungutan PBBKB tersebut," ujarnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Antara