> >

Usaha Karaoke hingga Spa Dapat Insentif, 10 Persen PPh-nya Ditanggung Pemerintah

Ekonomi dan bisnis | 21 Januari 2024, 17:55 WIB
Ilustrasi. Pemerintah akhirnya memberikan insentif fiskal kepada jenis usaha hiburan yang sebelumnya dikenakan pajak 40-75 persen. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan insentif fiskal yang diberikan berupa pengurangan pajak penghasilan dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP). (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pemerintah akhirnya memberikan insentif fiskal pada jenis usaha hiburan yang sebelumnya dikenakan pajak sebesar 40-75 persen yaitu usaha karaoke, diskotek atau klub malam, dan spa/mandi uap. 

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan insentif fiskal yang diberikan berupa pengurangan pajak penghasilan dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP).

Pemerintah menanggung Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan jasa hiburan sebesar 10 persen. Sehingga besaran PPh Badan yang besarnya 22 persen akan menjadi 12 persen.

Airlangga menyebut insentif fiskal itu diputuskan dalam Rapat Internal yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Januari 2024. 

"Salah satu keputusannya terkait Insentif Fiskal adalah bahwa Pemerintah akan memberikan Insentif Fiskal terhadap PPh Badan atas Penyelenggara Jasa Hiburan, di mana untuk Sektor Pariwisata akan diberikan berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10% dari PPh Badan, sehingga besaran PPh Badan yang besarnya 22% akan menjadi 12%," kata Airlangga dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/1/2024). 

Baca Juga: Pajak Hiburan Ditunda, Pengusaha Bali Tetap Minta Spa Dikeluarkan dari Jenis Usaha Hiburan

Undang-Undang (UU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) mengatur Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atau pajak hiburan untuk jenis usaha diskotek, klub malam, karaoke, spa/mandi uap sebesar 40-75 persen.

UU itu diundangkan pada Januari 2022 dan berlaku paling lambat dua tahun setelahnya.

Sehingga sejumlah daerah mulai memberlakukan pajak hiburan pada awal tahun ini. Namun, hal itu menuai penolakan dari pengusaha. 

Airlangga menyampaikan, untuk memperkuat kebijakan dan memberikan penjelasan kepada para pelaku usaha dan masyarakat di daerah, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan akan membuat Surat Edaran kepada seluruh Bupati/Wali Kota terkait dengan petunjuk pelaksanaan atas PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sesuai dengan ketentuan UU HKPD.

Sebagai informasi, UU HKPD telah menetapkan pengaturan atas PBJT yang dipungut oleh Kabupaten/ Kota, khusus DKI Jakarta dipungut oleh Provinsi.

PBJT ini meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, jasa kesenian dan hiburan, dengan tarif paling tinggi 10 persen.

Baca Juga: Heru Budi Siap Bahas Lagi Pajak Hiburan di Jakarta dengan DPRD DKI

Di mana sebelumnya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan tarif paling tinggi 35 persen. Sedangkan Khusus PBJT atas Jasa Hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen (sebelumnya dengan UU 28/ 2009 paling tinggi hanya 75 persen, tanpa pembatasan minimum, sehingga bisa di bawah 40 persen). 

Pajak Hiburan yang minimum 40 persen tersebut dibebankan kepada konsumen, sedangkan terhadap pihak Penyelenggara Jasa Hiburan juga dikenakan PPh Badan sebesar 22 persen.

Kemenko Perekonomian mencatat, sebelum berlakunya UU HKPD, berdasarkan UU 28/2009 sudah ada beberapa daerah yang menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 75 persen. 

Yaitu Aceh Besar, Banda Aceh, Binjai, Padang, Kota Bogor, dan Depok. Lalu sebesar 50 persen di Sawahlunto, Kab Bandung, Kab Bogor, Sukabumi, dan Surabaya. 

Baca Juga: Pajak Hiburan Karaoke hingga Spa 40%-75%, Kemenkeu: Konsumennya Masyarakat Tertentu

Kemudian sebesar 40 persen di Surakarta, Yogyakarta, Klungkung, dan Mataram. 

Menurut Airlangga, sektor pariwisata sudah mulai tumbuh sejak dihajar pandemi Covid. Hal itu terlihat dari Pajak Daerah terkait Pariwisata.

Sampai November 2023, Pajak Hotel tumbuh 46,6 persen (Rp8,51 T), Pajak Restoran tumbuh 20 persen (Rp13,6 T), Pajak Hiburan tumbuh 41,5 persen (Rp2,01 T). 

Bali dan DKI Jakarta menjadi daerah dengan pertumbuhan pajak tersebut paling tinggi yakni 56 persen dan 9 persen.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV


TERBARU