> >

HIPMI Bali Nilai Penaikan Pajak Hiburan Bukan Langkah Tepat, Bandingkan dengan Thailand

Ekonomi dan bisnis | 15 Januari 2024, 12:55 WIB
Ilustrasi. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali menilai industri pariwisata di Pulau Dewata masih membutuhkan keringanan pajak karena belum sepenuhnya pulih setelah terdampak pandemi Covid-19. (Sumber: Cattamaran Beach Club )

DENPASAR, KOMPAS.TV - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali menilai industri pariwisata di Pulau Dewata masih membutuhkan keringanan pajak karena belum sepenuhnya pulih setelah terdampak pandemi Covid-19.

Bendahara Umum Hipmi Bali Agung Bagus Pratiksa Linggih menilai peningkatan tarif pajak jasa hiburan menjadi 40 persen, bukanlah langkah yang tepat.

Sektor pariwisata Bali, kata dia, justru membutuhkan pelonggaran pajak.

"Kebijakan itu bukanlah alternatif yang tepat. Harusnya ada keringanan pajak dan peningkatan belanja pemerintah," katanya di Denpasar, Minggu (14/1/2024). 

Ia menilai pelonggaran pajak juga diperlukan karena pariwisata Bali juga bersaing dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Salah satunya Thailand yang juga berupaya merebut hati wisatawan setelah sektor pariwisatanya mulai membaik. Thailand saat ini menurunkan pajak pariwisata hingga lima persen.

Baca Juga: Fakta-fakta Pajak Hiburan Naik 40-75 Persen, Inul dan Hotman Paris Protes hingga Jawaban Sandiaga

Sedangkan di Bali, Pajak Barang dan Jasa Tertentu khususnya jasa hiburan, mengalami kenaikan yang dinilai memberatkan.

Apalagi wisatawan mancanegara juga harus menyiapkan dana tambahan terkait rencana pungutan Rp150 ribu per orang atau setara 10 dolar AS mulai 14 Februari 2024.

Pengusaha yang mengelola lini bisnis minuman anggur, kuliner dan periklanan itu menyebut, pajak yang tinggi akan membuat wisatawan terpusat di kawasan Bali Selatan saja. 

"Satu hal yang harus digarisbawahi, Bali ini bukan kelebihan pariwisata karena hotel-hotel di Bali Utara misalnya, hanya terisi sekitar 50 persen, pemerataan ekonomi jadi terhambat," ujarnya, dikutip dari Antara.

Kenaikan tarif pajak jasa hiburan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Baca Juga: Apindo Sebut Pajak Hiburan untuk Karaoke hingga Spa Idealnya 10 Persen, Sama Seperti Hotel-Restoran

Pada pasal 58 ayat 2 dalam UU itu disebutkan, tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa, ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

UU itu menjadi acuan kabupaten dan kota di tanah air, termasuk Kabupaten Badung, Bali, dalam membuat peraturan daerah yang menaikkan tarif pajak hiburan menjadi sebesar 40 persen dari sebelumnya 15 persen.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pajak hiburan merupakan kewenangan pemerintah daerah bukan pemerintah pusat.

“Pajak hiburan itu adalah wewenang pemerintah daerah,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kemenkeu Dwi Astuti dalam media briefing di Jakarta, Senin, 8 Januari 2024. 

Baca Juga: Diprotes Inul dan Pengusaha Lainnya soal Pajak Hiburan Naik, Ini Jawaban Sandiaga Uno

Pernyataan tersebut merespons cuitan pengacara kondang Hotman Paris yang menyoroti besaran pajak hiburan yang berada dalam rentang 40 persen hingga 75 persen.

Menurut dia, besaran tersebut berpotensi mengancam kelangsungan industri pariwisata di Indonesia.

Dwi mengatakan pajak hiburan telah diatur dalam UU HKPD. Pajak hiburan merupakan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota, yang dibayarkan oleh konsumen sehingga pelaku usaha hanya memungut pajak yang telah ditetapkan.

“Jadi, itu sudah mutlak, kalau sesuai dengan UU HKPD, tidak diatur oleh pemerintah pusat. Itu adalah memang sepenuhnya kewenangan pemda,” ujarnya.

Diketahui, pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah.

Baca Juga: Cerita Inul Usaha Karaoke Keluarga sejak Era Sutiyoso, Minta Izin Dibedakan dengan Klub Malam

Dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat, 15 Desember 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh terutama didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.

Adapun penerimaan pajak daerah hingga November 2023 tercatat sebesar Rp212,26 triliun atau tumbuh 3,8 persen secara tahunan dari sebelumnya Rp204,51 triliun.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Antara


TERBARU