> >

Aturan Baru Sri Mulyani, E-Commerce Impor 1.000 Barang atau Lebih Wajib Lapor Data ke Bea Cukai

Ekonomi dan bisnis | 6 Oktober 2023, 14:03 WIB
Ilustrasi impor. Menteri Keuangan Sri Mulyani mewajibkan ritel online dan marketplace untuk bermitra dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) saat akan mengimpor barang yang jumlahnya 1.000 unit atau lebih. (Sumber: Kompas.tv/Ant )

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Sri Mulyani mewajibkan ritel online dan marketplace untuk melaporkan data ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai), saat akan mengimpor barang yang jumlahnya 1.000 unit atau lebih.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 96 tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.

“PPMSE wajib melakukan kemitraan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,” demikian tertulis dalam aturan yang mulai berlaku 17 November 2023 itu.

Mengutip dari Salinan PMK di laman resmi Kemenkeu, PPMSE adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. PPMSE yang diwajibkan untuk bermitra dengan Ditjen Bea Cukai adalah:

a. retail online, yakni pedagang (merchant) yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik dengan sarana berupa situs web atau aplikasi secara komersial yang dibuat, dikelola, dan atau dimiliki sendiri;

b. lokapasar (marketplace), yakni penyedia sarana yang sebagian atau keseluruhan proses transaksi berada, di dalam sistem elektronik berupa situs web atau aplikasi secara komersial sebagai wadah bagi pedagang untuk dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa

Baca Juga: Kemenkop UKM Sayangkan TikTok Kurang Sosialisasi Penutupan TikTok Shop, Pengguna Kebingungan

Selanjutnya dalam Pasal 14 Ayat 1 PMK disebutkan, kemitraan ritel online dan loka pasar ini bentuknya berupa pelaporan data katalog invoice elektronik (e-invoice) atas Barang Kiriman yang transaksinya melalui PPMSE. 

Katalog elektronik (e-catalog) dari PPMSE yang wajib diinfokan ke Bea Cukai harus memuat data terkait:

a. nama PPMSE;

b. identitas penjual;

c. uraian barang;

d. kode barang;

e. kategori barang;

f. spesifikasi barang;

g. negara asal;

h. satuan barang;

i. harga barang dalam cara penyerahan ( incoterm) Delivery Duty Paid (DDP);

 j. tanggal pemberlakuan harga;

k. jenis mata uang;

l. tautan Uniform Resource Locators (URL) barang.

Sedangkan Invoice elektronik (e-invoice) yang dilaporkan ke Bea Cukai harus memuat elemen data sebagai berikut:

a. nama PPMSE;

b. nama Penerima Barang;

c. nomor e-mvozce;

d. tanggal e-invoice;

e. uraian barang;

f. kode barang;

g. jumlah barang;

h. satuan barang;

i. harga barang dalam cara penyerahan (incoterm) Delivery Duty Paid (DDP);

j. jenis mata uang;

k. nilai tukar;

l. nilai, jenis, dan pihak yang memberikan promosi, dalam hal terdapat promosi;

m. tautan Uniform Resource Locators (URL) barang;

n. nomor telepon Penerima Barang.

Baca Juga: Shopee Resmi Hentikan Penjualan Produk yang Dijual Langsung dari Luar Negeri

Jika ritel online dan e-commerce tidak mematuhi ketentuan kemitraan dengan Bea Cukai tersebut, maka Bea Cukai tidak akan memproses impor barang untuk masuk ke Indonesia.

Aturan ini dikecualikan untuk transaksi impor barang yang jumlahnya kurang dari 1.000 unit.

Beleid terbaru ini adalah sebagai upaya untuk memantau barang impor yang masuk ke Indonesia. Seperti diberitakan Kompas.tv sebelumnya, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada jajarannya untuk membendung barang impor murah dari China.

Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan, pihaknya bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Polri, dan Menko Perekonomian akan merumuskan tindakan yang diambil.

Tindakan tersebut bisa berupa revisi kebijakan importasi, maupun penindakan oleh aparat penegak hukum di lapangan.

Baca Juga: Heru Budi Bakal Copot Pejabat yang Merekomendasikan ASN DKI Berkinerja Buruk

"Kami disuruh Pak Presiden untuk segera merumuskan tindakan, jadi hampir sama reportnya, Pak Mendag, Menkeu, Kapolri, juga dari kami, dari Pak Menko (Perekonomian) mengindikasi memang banyak barang masuk ke Indonesia tapi tidak dilaporkan," kata Teten di Jakarta pada Selasa (3/10/2023).

Teten menyampaikan, barang murah asal China itu dijual di bawah harga pokok penjualan (HPP) di e-commerce. Kemungkinan, barang itu berasal dari barang impor ilegal dan hasil dumping yang diimpor dari China. Serbuan produk murah dari China itu yang membuat produksi UMKM dalam negeri kalah saing.

"Kami sudah bahas kenapa di 'platform online' itu banyak sekali barang murah yang dijual di bawah HPP, kemungkinan dua hal. Satu, barang tersebut dari negaranya sudah didumping," ujarnya.

Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri.

Praktik dumping dianggap sebagai hambatan karena merupakan praktik perdagangan yang tidak jujur dan tidak adil. Selain itu, praktik dumping juga dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.

Teten menerangkan, ekonomi China saat ini sedang lesu. Sehingga pasar dalam negerinya kurang menjanjikan dan mereka memaksimalkan ekspor. Agar barangnya cepat laku, China menyasar Indonesia yang punya potensi pasar sangat besar dan menjual produknya lebih murah dari harga pasaran di China.

Baca Juga: Polisi Ungkap Zul Zivilia Masih Terima Uang dari Fredy Pratama saat di Lapas

Selain itu, Teten juga mengindikasi bahwa banyak produk dari China masuk secara ilegal ke Indonesia. Hal itu terlihat dari data jumlah ekspor barang-barang China ke Indonesia yang lebih besar dari catatan impor barang China yang masuk ke Indonesia.

"Artinya ada yang tidak tercatat di data impor kita. Di data ekspor Chinanya ada, lebih besar, di kita dicatatnya lebih kecil, berarti kan ada yang ilegal," ucapnya.

Asosiasi Pengusaha Logistic E-Commerce (APLE) juga sudah melaporkan maraknya produk impor yang diduga ilegal masuk ke e-commerce atau lokapasar, kepada Kemenkop UKM.

“Saat ini marak ditemukan banyak barang-barang impor yang diperjualbelikan dengan sangat murah di platform marketplace lokal maupun di socio-commerce yang dapat dipastikan barang tersebut bukanlah barang crossborder,” kata Ketua Asosiasi APLE Sonny Harsono dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/9).

Sonny menyampaikan, barang-barang impor yang dijual sangat murah bisa dipastikan diimpor dengan cara yang tidak benar. Indikatornya sederhana, kata dia. Yakni dari ongkos logistik.

Baca Juga: Banyak Tamu yang Batalkan Pesanan Kamar di Hotel Sultan, Nasib Karyawan Masih Dibicarakan

“Banyak barang masuk secara ilegal dari jalur laut dengan ongkos kirim cukup murah berkisar 500 dolar AS per 1 kontainer atau setara dengan 0,001 dolar AS per barang. Padahal jika menggunakan jalur resmi dikenakan ongkos kirim mencapai 6-8 dolar AS per kilogram,” ujarnya.

Impor yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu sangat mungkin terjadi, lantaran wilayah Indonesia yang sangat luas menyulitkan pengawasan barang impor.

Sonny pun mengusulkan adanya logistik hub yang berada di sisi barat, yakni di Pulau Batam dan sisi timur di Sorong Papua agar lebih mudah dalam pengawasan.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU