TikTok Shop Dilarang, Andre Rosiade Minta Pemerintah Adil pada Pedagang Online dan Offline
Ekonomi dan bisnis | 27 September 2023, 15:50 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade meminta pemerintah menciptakan regulasi yang adil bagi pelaku usaha konvensional atau offline dan digital atau online.
Hal itu terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).
Dalam aturan baru nanti, platform media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan Twitter akan dilarang berjualan langsung.
Revisi Permendag itu dikeluarkan menyusul adanya keluhan dari para pedagang konvensional yang merasa dirugikan dengan kehadiran social commerce seperti TikTok Shop.
Oleh karenanya, pemerintah akan mengatur social commerce hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa.
Baca Juga: Kata Pedagang Pasar Tanah Abang Soal TikTok Shop Dilarang Beroperasi: Kurang Efektif
Menurut Andre, ada 6 sampai 7 juta pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memanfaatkan social commerce sebagai platform penjualan.
"Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan larangan bertransaksi di media sosial adalah perlunya keadilan antara pemilik usaha konvensional dan pemilik usaha di ranah digital," kata Andre dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/9/2023).
Legislator dari Dapil Sumatera Barat I ini mengingatkan, di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, media sosial bukan hanya menjadi platform bagi masyarakat untuk berinteraksi.
Andre menyoroti bagaimana media sosial juga dapat menjadi sarana atau platform bisnis yang vital.
“Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online," ujar Andre.
Baca Juga: Zulhas Beber Tujuan Larang TikTok Shop Cs, Jaga Perdagangan Tetap Fair
"Ini juga harus dipikirkan seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara pembeli dan penjual jika hanya promosi saja yang diperbolehkan,” tambahnya.
Sebagai informasi, Revisi Permendag No. 50 Tahun 2020 akan merujuk pada izin social commerce yang bukan platform transaksi jual beli sehingga akan menciptakan sejumlah aturan turunan.
Aturan pertama social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Kedua, social commerce harus memiliki izin sebagai e-commerce.
Kemudian aturan ketiga membatasi produk impor dengan memisahkan negatif dan positif list. Lalu yang keempat, perilaku barang impor dan dalam negeri harus sama.
Artinya, jika produk makanan harus ada sertifikat halal, begitu juga dengan skin-care yang memerlukan jaminan atau seizin BPOM, dan produk elektronik harus memiliki standar.
Baca Juga: Tanggapan TikTok usai Dilarang Berjualan: Penjual Lokal Meminta Kejelasan
Serta aturan kelima ialah social commerce tidak boleh bertindak sebagai produsen. Lalu aturan terakhir adalah transaksi impor hanya boleh satu kali dengan minimal USD100 atau setara Rp1,5 juta.
Aturan yang disusun tersebut penting, mengingat dalam aktivitas perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop, barang impor bisa langsung dibeli oleh konsumen Indonesia alias crossborder.
Pelaku usaha digital juga diprotes karena menawarkan harga yang sangat murah di social commerce. Persaingan inilah yang dikhawatirkan mematikan UMKM dalam negeri.
Untuk itu, Andre pun berharap aturan turunan dari revisi Permendag No.50 Tahun 2020 nantinya dapat membatasi aktivitas penjualan di social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.
“Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial,” terang Andre.
Baca Juga: TikTok Shop Dilarang, INDEF: Regulasi Tak Bertaji, Social Commerce Sudah Ada Sejak Era Kaskus
Tapi, ia melihat masih ada beberapa aturan yang berpotensi tidak efektif karena melawan arus perkembangan teknologi.
Andre menilai, social commerce memberikan pengalaman berbelanja tersendiri bagi konsumen, dan bahkan memunculkan fenomena impulsive buying yang dapat menguntungkan pelaku usaha.
“Kelebihan dan kekurangan dari larangan berjualan dan bertransaksi di media sosial sangat bergantung pada jenis bisnis, pasar target, dan strategi pemasaran yang diterapkan oleh pengusaha. Maka aturan-aturan yang jelas harus segera dibuat,” tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Ekonomi Digital dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai, regulasi yang memisahkan media sosial dengan e-commerce seperti TikTok Shop adalah regulasi yang tidak bertaji.
Menurut Nailul, algoritma di TikTok Shop tetap bisa bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial.
Baca Juga: Tarif Baru TransJakarta Sesuai KTP: Agar Subsidi APBD DKI Tepat Sasaran, Kartu Hilang Saldo Aman
"Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan apps utamanya. Yang ada ya hanya memberikan ruang yang lain saja antara TikTok Shop dengan TikTok Medsos," kata Nailul saat dihubungi Kompas.tv, Selasa (26/9/2023).
"Yang harus dikejar adalah ya TikTok harus ada izinnya as social commerce. Praktik social commerce pun sudah jamak dilakukan dan sudah ada sejak zaman Kaskus dan sebagainya. Jadi saya pribadi melihat hal tersebut bukan solusi yang efektif," tambahnya.
Ia menerangkan, mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ada empat platform yang sering digunakan oleh UMKM untuk berjualan secara online. Urutan paling banyak digunakan adalah instant messenger, media sosial, e-commerce/marketplace, dan website.
Artinya, media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM dengan urutan nomor dua terbanyak.
Baca Juga: Minta LRT Diteruskan ke Bogor, Jokowi: Sekarang Penuh Terus
"Saya bisa artikan pula, urutan tersebut adalah step by step UMKM bisa go digital," ujar Nailul.
Dimulai dengan penggunaan instant messenger seperti WA dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial seperti IG, FB, TikTok, dsb.
Jika sudah lebih pengalaman, mulai masuk ke marketplace atau ecommerce. Pada akhirnya, bisa punya website pribadi.
Menurutnya, jika media sosial dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah.
Yang harusnya dilakukan, lanjutnya, adalah mengatur social commerce agar bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline.
Baca Juga: KA Cepat Jakarta-Bandung Pakai Teknologi Huawei, dari Sistem Komunikasi sampai Penjualan Tiket
"Sehingga pada akhirnya tercipta level playing field yang setara di antara pelaku penjualan ini," ucapnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu memproteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
"Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya, karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," tuturnya.
Nailul menambahkan, seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya sama-sama jualan menggunakan internet.
Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.
Baca Juga: Cek Aturan Baru MenPANRB, PNS Bisa Dimutasi atau Rotasi Meski Belum 2 Tahun Menduduki Jabatan
"Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," tambahnya.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk memasukkan detail pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce. Mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan.
"E-commerce juga harus melakukan tagging barang impor. Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan. Memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform. Di sisi lain, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal," terangnya.
Kemudian, pemerintah juga bisa mewajibkan e-commerce untuk menyediakan minimal 30% etalase platform untuk produk lokal.
Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari
Sumber :