TikTok Shop Dilarang, INDEF: Regulasi Tak Bertaji, Social Commerce Sudah Ada Sejak Era Kaskus
Ekonomi dan bisnis | 26 September 2023, 10:43 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah selesai dan akan segera berlaku.
Dampaknya, perusahaan media sosial seperti TikTok tidak boleh menjalankan usaha e-commerce lewat TikTok Shop.
Menanggapi hal itu, Peneliti Ekonomi Digital dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai, regulasi yang memisahkan media sosial dengan e-commerce seperti TikTok Shop adalah regulasi yang tidak bertaji.
Menurut Nailul, algoritma di TikTok Shop tetap bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial.
Baca Juga: Tanggapan TikTok usai Dilarang Berjualan: Penjual Lokal Meminta Kejelasan
"Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan apps utamanya. Yang ada ya hanya memberikan ruang yang lain saja antara TikTok Shop dengan TikTok Medsos," kata Nailul saat dihubungi Kompas.TV, Selasa (26/9/2023).
"Yang harus dikejar adalah ya TikTok harus ada izinnya as social commerce. Praktik social commerce pun sudah jamak dilakukan dan sudah ada sejak zaman Kaskus dan sebagainya. Jadi saya pribadi melihat hal tersebut bukan solusi yang efektif," tambahnya.
Ia menerangkan, mengutip data dari BPS ada empat platform yang sering digunakan oleh UMKM untuk berjualan secara online. Urutan paling banyak digunakan adalah instan messenger, media sosial, e-commerce/marketplace, dan website.
Artinya, media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM dengan urutan nomor dua terbanyak.
"Saya bisa artikan pula, urutan tersebut adalah step by step UMKM bisa go digital," ujar Nailul.
Baca Juga: Jokowi soal Revisi Permendag yang Atur TikTok Shop dkk: Besok Mungkin Keluar
Dimulai dengan penggunaan instan messenger seperti WA dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial seperti IG, FB, TikTok, dsb.
Jika sudah lebih pengalaman, mulai masuk ke marketplace atau ecommerce. Pada akhirnya bisa punya website pribadi.
Menurutnya, jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah.
Yang harusnya dilakukan, lanjutnya, adalah mengatur social commerce agar bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline.
"Sehingga pada akhirnya tercipta level playing field yang setara diantara pelaku penjualan ini," ucapnya.
Baca Juga: Menkominfo Sebut TikTok Bantah Lakukan Predatory Pricing, Harga Murah karena Garage Sale
Selain itu, pemerintah juga perlu memproteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
"Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," tuturnya.
Nailul menambahkan, seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya sama-sama jualan menggunakan internet.
Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.
"Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," tambahnya.
Baca Juga: Menkominfo: TikTok Shop Sudah Kantongi Izin Usaha Sebagai E-Commerce dari Kemendag
Ia pun menyarankan pemerintah untuk memasukkan detil pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce. Mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan.
"E-commerce juga harus melakukan tagging barang impor. Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan. Memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform. Di sisi lain, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal," terangnya.
Kemudian, pemerintah juga bisa mewajibkan e-commerce untuk menyediakan minimal 30 persen etalase platform untuk produk lokal.
"Produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dsb," tandasnya.
Sebelumnya Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan dirinya akan segera menandatangani revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020.
Baca Juga: Teten Masduki soal TikTok Shop: Mana Bisa Menteri Koperasi Tutup TikTok?
“Barusan rapat ini mengenai pengaturan perdagangan elektronik, khususnya tadi kita bahas mengenai social commerce. Sudah disepakati besok, pulang ini revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 akan kita tanda tangani,” ujar pria yang akrab disapa Zulhas itu usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Jokowi di Istana, Jakarta, Senin (25/9).
Zulhas menerangkan, dalam Permendag baru tersebut akan diatur sejumlah ketentuan terkait perniagaan elektronik. Salah satunya, pemerintah hanya memperbolehkan media sosial digunakan untuk memfasilitasi promosi bukan untuk transaksi.
“Social commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa, tidak boleh transaksi langsung, bayar langsung, tidak boleh lagi. Dia hanya boleh untuk promosi seperti TV. Di TV kan iklan boleh, tapi TV kan tidak bisa terima uang kan. Jadi dia semacam platform digital, jadi tugasnya mempromosikan,” jelas Ketua Umum PAN itu.
Selain itu, pemerintah juga akan melarang medsos merangkap sebagai e-commerce. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan data pribadi masyarakat.
“Social media dan ini (social commerce) tidak ada kaitannya. Jadi dia harus dipisah, sehingga algoritmanya tidak semua dikuasai, dan ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis,” sambungnya.
Baca Juga: Besok, Arsjad Rasjid Efektif Jabat Ketua TPN Ganjar Pranowo, Cuti dari Dirut PT Indika Energy
Terkait penjualan barang dari luar negeri, revisi Permendag ini juga akan mengatur daftar barang yang mendapatkan izin untuk diperjualbelikan atau positive list.
Perdagangan produk impor tersebut juga akan mengikuti aturan yang sama dengan perdagangan luring dalam negeri.
“Barang dari luar itu harus sama perlakuannya dengan yang dalam negeri. Kalau makanan harus ada sertifikat halal, kalau beauty harus ada BPOM-nya kalau enggak nanti yang menjamin siapa. Kemudian kalau elektronik harus ada standarnya bahwa ini betul barangnya. Jadi perlakuannya sama dengan yang ada di dalam negeri atau offline,” paparnya.
Selanjutnya, pemerintah juga akan membatasi transaksi barang impor yang dijual di platform digital harus bernilai di atas 100 Dolar AS.
“Kalau ada yang melanggar seminggu itu ada surat saya yang ke Kominfo untuk memperingatkan. Setelah memperingatkan, tutup,” pungkasnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :