> >

Pemerintah Jamin Kereta Cepat, Rachmat Gobel: APBN Jadi Tak Adil, Harusnya untuk Kemaslahatan Umum

Ekonomi dan bisnis | 23 September 2023, 15:25 WIB
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel menegaskan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sudah selesai. Sehingga, seharusnya menjadi tanggung jawab badan usaha, bukan beban APBN. (Sumber: Dpr.go.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel menegaskan, proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sudah selesai. Sehingga, seharusnya menjadi tanggung jawab badan usaha, bukan beban APBN.

Ia menilai Peraturan Menteri Keuangan No.89/2023 yang mengatur tentang penjaminan kereta cepat, membuat APBN menjadi tak adil bagi pemajuan kesejahteraan umum, apalagi ada unsur investasi asing.

“APBN menjadi terikat secara permanen dan selamanya terhadap sebuah kegiatan badan usaha. Tentu APBN menjadi tak adil. APBN itu untuk kemaslahatan umum," kata Gobel seperti dikutip dari laman resmi DPR, dpr.go.id, Jumat (22/9/2203)

"Ini bisa membuat Presiden Jokowi yang sudah memiliki banyak legacy luar biasa dalam memimpin Indonesia, tercederai dan menimbulkan persepsi negatif,” tambahnya. 

Baca Juga: Nama Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Whoosh, Dianggap Lebih Baik Ketimbang Shinkansen dan TGV

Politisi Fraksi Partai NasDem tersebut mengatakan, ketika Pemerintah melahirkan Peraturan Presiden (Perpres) No.93/2021, masih bisa dimengerti karena untuk mewujudkan dan menyelesaikan proyek kereta cepat yang sedang dalam tahap pembangunan.

Perpres itu tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

"Walaupun itu menunjukkan ada sesuatu yang tak beres dalam perencanaan. Akibatnya, Pemerintah melakukan penyertaan modal negara (PMN) untuk KAI sebesar Rp7,5 triliun, yaitu 2021 Rp4,3 triliun dan 2022 Rp3,2 triliun. Dana PMN ke KAI itu sepenuhnya untuk kereta cepat,” tutur Gobel.

Tapi kini, pembangunan proyek kereta cepat sudah selesai sehingga segala biaya mestinya sepenuhnya berada dalam tanggung jawab badan usaha. 

“Jangan bawa-bawa APBN lagi, apalagi secara permanen,” ujarnya. 

“Bukan tidak setuju terhadap kereta cepat. Dari awal saya sangat mendukung kereta cepat, tapi dukungannya dalam batas kewajaran dan kepatutan dalam konteks kemaslahatan publik yang luas. Jadi tak perlu berlebihan. Mestinya biarkan itu bersifat B to B saja,” tegasnya. 

Baca Juga: Aturan Lengkap APBN Jadi Jaminan Kereta Cepat, Uang Negara Dipakai Kalau KAI Gagal Bayar

Sebagai informasi, pada 1 Oktober 2015, Pemerintah mengumumkan bahwa China memenangi proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. China menang terhadap Jepang karena empat hal. 

Pertama, tidak menggunakan dana APBN. Kedua, skema kerja sama business to business. Ketiga, tidak meminta penjaminan dari pemerintah. Keempat, biaya lebih murah, yaitu USD5,595 miliar dibandingkan usulan Jepang USD6,223 miliar.

Selanjutnya 16 Oktober 2015 dibentuk perusahaan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Perusahaan itu merupakan konsorsium BUMN Indonesia-China. Pada 6 Oktober 2015, pemerintah juga sudan menerbitkan Perpres No.107/2015 sebagai landasan hukum proyek kereta cepat itu. Konsorsium Indonesia dipimpin Wijaya Karya.

Pada 21 Januari 2016, Presiden melakukan groundbreaking di Walini. Namun, acara itu tak dihadiri Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan. 

Pada 2018, biaya membengkak menjadi US$6,071 miliar. Target 2018 selesai pun tak tercapai. Pada 6 Oktober 2021 terbit Perpres No 93 Tahun 2021 yang mengamendemen Perpres No 107 Tahun 2015.

Baca Juga: APBN Jadi Jaminan Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Peneliti Indef: Sangat Berisiko

Pimpinan konsorsium BUMN Indonesia beralih dari Wijaya Karya ke PT KAI. Rute pun beralih menjadi ke Padalarang. Aturan itu juga menyatakan bisa menggunakan dana APBN dan ada penjaminan dari pemerintah.

"Empat faktor yang memenangkan China membangun kereta cepat sudah dilanggar semua. Biaya pun membengkak lagi menjadi USD7,97 miliar," tandas Gobel. 

Senada, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati meminta pemerintah meninjau ulang merespon Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. 

Dalam Pasal 2 beleid itu, disebutkan bahwa penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung disediakan dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite.

“Tentang hal ini harus dilakukan secermat mungkin bahkan bila perlu ditinjau ulang, jangan sampai merugikan keuangan negara di kemudian hari, apalagi tahun 2015 lalu Pemerintah pernah menolak proposal KCJB dari Jepang karena adanya syarat jaminan dari Pemerintah" kata Anis dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/9). 

Baca Juga: 10 Investor Kakap Tanam Duit Rp20 T di IKN, Alfamart, Agung Sedayu hingga Sinarmas

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini berargumen, pemerintah tidak konsisten dan terbuka terkait proses Pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa proyek kereta cepat seperti tidak memiliki perencanaan yang matang dan berujung membebani APBN.

“Sedikit kita flash back, awalnya Pemerintah berkomitmen pembiayaan KCJB sifatnya business to business (b to b). Kemudian Pemerintah mengajukan PMN untuk KAI. Selanjutnya meminta diberikannya subsidi tiket. Saat ini kita dikagetkan, dengan pengajuan skema penjaminan terhadap APBN bila terjadi perubahan biaya (cost overrun)," terang Anis. 

"Hal ini menunjukkan Proyek ini dari awal tidak punya perencanaan yang matang dan akhirnya membebani APBN," sambungnya. 

Legislator Dapil DKI Jakarta I ini mengingatkan, bahwa sejatinya APBN adalah amanah konstitusi yang harus dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga: Garuda Indonesia Online Travel Fair Datang Lagi, Ada Diskon Tiket Pesawat sampai 80 Persen!

Ia pun menegaskan bahwa proyek KCJB tidak punya tingkat signifikansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat yang harus didanai oleh APBN. 

"Masih banyak persoalan bangsa yang patut dan layak dibiayai oleh APBN untuk membantu kehidupan Masyarakat, diantaranya: kemiskinan ekstrem, stunting, fasilitas puskesmas, tenaga honorer, membantu petani, nelayan dan lainnya," ucap Anis. 

Penulis : Dina Karina Editor : Gading-Persada

Sumber : dpr.go.id


TERBARU