> >

Ini Daftar Pekerjaan yang Bertambah dan yang Hilang Akibat Penggunaan Artificial Intelligence

Ekonomi dan bisnis | 26 Juli 2023, 10:18 WIB
Ilustrasi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan. World Economic Forum menyebut AI akan menciptakan 69 juta jenis pekerjaan baru namun menghilangkan lebih banyak pekerjaan. Yakni sekitar 83 juta jenis pekerjaan. (Sumber: SHUTTERSTOCK)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pada pertengahan tahun 2023 ini, World Economic Forum (WEF) atau Forum Ekonomi Dunia merilis data terkait jenis pekerjaan yang akan hilang dan yang bertahan, akibat perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI).

WEF menyatakan, perkembangan teknologi akan menciptakan 69 juta jenis pekerjaan baru namun menghilangkan lebih banyak pekerjaan. Yakni sekitar 83 juta jenis pekerjaan.

Kemudian, pekerja juga akan diminta menambah keahlian mereka untuk melakukan tugas-tugas lainnya, tapi tanpa tambahan upah yang signifikan. Lantaran perusahaan menghadapi perubahan pasar yang semakin dinamis. Total ada 14 juta pekerjaan yang akan mengalami perubahan (shifting) tersebut.  

Mengutip laporan Kompas.id pada Selasa (25/7/2023), pekerjaan yang akan terus bertambah jumlahnya secara global adalah operator alat pertanian, sopir truk dan bus, pengajar pendidikan vokasi, dan pekerjaan di bidang perbaikan mesin atau perbengkelan.

Sedangkan pekerjaan yang akan terus berkurang secara global adalah pekerjaan data entri, administrasi atau sekretaris, petugas keamanan, kasir, dan pekerja di ”garis depan” layanan lainnya.

Baca Juga: Bagaimana Menentukan Persoalan Hak Cipta pada Foto Olahan Artificial Intelligence?

WEF juga memberi gambaran jenis pekerjaan yang paling diminati oleh perusahaan secara global dalam lima tahun mendatang. Yaitu spesialis AI dan machine learning, spesialis keberlanjutan (konsultan perusahaan), analis bisnis intelijen, analis keamanan informasi, dan fintech engineer. Kelima pekerjaan ini memang sudah menempati papan atas pekerjaan yang diminati sejak riset WEF 2016, 2018, dan 2020.

Namun, proyeksi dari WEF itu berlaku secara general. Sedangkan Indonesia mempunyai kondisi industri dan ketenagakerjaan yang sedikit berbeda. WEF sendiri menulis jika prediksi mereka dapat jauh berbeda jika dipadankan dengan situasi riil di sejumlah negara. Terutama di negara berkembang dengan tingkat penghasilan yang masih rendah.

Pada Februari 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan tentang Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia. Data BPS menyebutkan, dari kategori status pekerjaan utama, persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan tercatat sebanyak 36,34 persen dari total seluruh penduduk yang memiliki sumber penghasilan.

Jika per Februari 2023 BPS mencatat sebanyak 138,63 juta orang telah memiliki sumber penghasilan atau bekerja, maka diperkirakan penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan mencapai 50,38 juta orang.

Baca Juga: Bangun Smelter Terbesar Dunia di Gresik, Freeport Sudah Investasi Rp33 T, Serap 15.000 Tenaga Kerja

Perlu dicatat, angka tersebut belum termasuk jumlah penduduk angkatan kerja yang berstatus pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Untuk saat ini, tingkat pengangguran berada di angka 5,45 persen dan setengah pengangguran di angka 9,59 persen, sehingga jumlah keduanya mencapai 15,04 persen.

Bisa dibilang, dari 100 penduduk terdapat 15 orang di antaranya yang berstatus pengganguran dan setengah menganggur.

Kemudian, dari 17 lapangan pekerjaan utama yang diisi oleh penduduk yang bekerja, ada sejumlah sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak. Yakni sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat menyerap tenaga kerja sebesar 29,36 persen.

Yang kedua adalah sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, serta penyediaan akomodasi makanan dan minuman.

Lalu jika dilihat dari jenis pekerjannya, posisi pertama adalah tenaga produksi atau operator alat, serta pekerja kasar industri. Ada 30,31 persen pekerja Indonesia yang mengisi posisi tersebut.

Baca Juga: Luhut Pakai Tenaga Kerja Asing untuk Awasi Pembangunan IKN, Ini Alasannya

Posisi kedua ditempati tenaga usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,71 persen) dan disusul oleh tenaga usaha penjualan (19,65 persen). Selanjutnya, untuk tenaga tata usaha dan sejenisnya hanya 5,11 persen.

Kesimpulannya, pertama perkembangan teknologi dan situasi global berpotensi memberi dampak pada 50,38 juta penduduk Indonesia yang saat ini bekerja sebagai buruh ataupun karyawan perusahaan. Perkembangan teknologi juga membuat penduduk Indonesia yang masih menganggur ataupun semi pengangguran, terancam kian sulit masuk ke pasar tenaga kerja.

“Oleh karena itu, dalam perhitungan lima tahun ke depan, penduduk yang saat ini berusia 13 tahun sekalipun sudah harus menyiapkan diri menjawab tantangan pasar tenaga kerja di masa depan,” tulis Kompas.id dalam laporannya.

Kesimpulan kedua, pasar tenaga kerja Indonesia saat ini masih dominan di bidang praksis yang berkaitan dengan sektor industri baik skala besar maupun menengah. Sehingga dalam lima tahun ke depan, pekerja di sektor-sektor ini masih aman dari gempuran AI. Lantaran belanja modal yang diperlukan untuk pengadaan AI tidak sedikit, sehingga hanya perusahaan skala besar yang bisa menerapkannya.

Baca Juga: Anggota Komisi VII DPR Sebut Ahok akan Jadi Dirut Pertamina, Begini Respon Nicke Widyawati

Begitu juga jenis pekerjaan tata usaha atau sekretariat yang hanya memiliki porsi kecil dibandingkan jenis pekerjaan lainnya sehingga juga masih tergolong minim terdampak dari penggunaan AI itu.

Ketiga, ada sejumlah pekerjaan yang terancam hilang dengan adanya adopsi teknologi AI. Bidang industri yang terkait erat dengan penyedia layanan seperti administrasi pemerintahan, informasi dan komunikasi, serta aktivitas jasa lainnya akan terancam tergantikan oleh AI. Hanya saja, diperkirakan imbasnya masih relatif kecil dalam skala nasional.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas.id


TERBARU