> >

Pesan Jokowi ke Kepala Daerah dan Kementerian/Lembaga: Uang Rakyat Bukan untuk Biayai Birokrasi

Ekonomi dan bisnis | 26 Juni 2023, 14:18 WIB
Presiden Jokowi saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/6/2023). LHP diserahkan langsung oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Isma Yatun. (Sumber: Antara)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan kepada para pejabat untuk menggunakan uang rakyat dengan sebaik-baiknya.

Ia menegaskan bahwa uang rakyat dalam APBN/APBD tidak untuk membiayai birokrasi, tetapi untuk merealisasikan program yang bermanfaat bagi masyarakat.

Hal itu ia sampaikan saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022 di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/6/2023).

LHP diserahkan langsung oleh Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Isma Yatun.

"Setiap rupiah uang rakyat harus kembali kepada rakyat, untuk membiayai yang dirasakan rakyat dan bukanlah untuk membiayai proses. Ini yang hati-hati, ya. Sekali lagi, bukan untuk membiayai proses, bukan untuk membiayai birokrasi. Karena yang saya temukan justru habis banyak di birokrasi," kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari Antara.

Kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, Jokowi juga meminta, karena banyak anggaran program yang tidak efisien dan efektif dalam beberapa pagu APBD.

Bahkan, ia menyebutkan, lebih banyak untuk perjalanan dinas dan belanja pegawai seperti honor.

"Selain peningkatan akuntabilitas, kita harus juga terus berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja. Dilaksanakan dengan baik, terus dimonitor dan terus dievaluasi agar lebih tepat sasaran. Outcome-nya betul-betul dirasakan oleh rakyat," ujar Jokowi.

Baca Juga: Jokowi soal Piala Dunia U-17 Bentrok dengan Konser Coldplay: Stadion Kita Bukan Hanya GBK

Ia mencontohkan dalam sebuah APBD, terdapat pagu belanja perjalanan dinas mencapai Rp1 miliar untuk program penyuluhan tenaga pertanian yang memiliki total anggaran Rp1,5 miliar.

Itu artinya, ada lebih dari 50 persen total anggaran penyuluhan tenaga pertanian di daerah tersebut habis hanya untuk perjalanan dinas.

Ada juga contoh program pengembangan UMKM di suatu daerah yang memiliki anggaran Rp2,5 miliar.

Namun, sebanyak Rp1,9 miliar dari total anggaran itu juga habis untuk honor dan perjalanan dinas.

"Bayangkan berapa? Tidak ada 20 persen yang dipakai untuk betul-betul pengembangan usaha mikro. Contoh yang ketiga pengembangan balai penyuluh pertanian, ini di kabupaten berarti dari APBD kabupaten. Tujuan membangun dan merehabilitasi balai penyuluhan anggarannya Rp1 miliar, sebesar Rp734 juta untuk honor perjalanan dinas dan rapat-rapat," terangnya.

Menurut Jokowi, seharusnya biaya operasional atau overhead cost tidak lebih dari 20 - 25 persen dari total anggaran.

Selebihnya harus fokus digunakan untuk tujuan inti program tersebut.

Baca Juga: Jokowi Bantah Ada "Orang Istana" yang Jadi Beking Ponpes Al Zaytun

"Fokus pada program unggulan, enggak usah juga banyak-banyak program. Sekali lagi fokus pada program-program unggulan, seperti penanganan stunting, pengentasan (masyarakat dari) kemiskinan, membantu produktivitas petani dan nelayan, mengendalikan inflasi, membantu investasi dan lain-lainnya, dan itu pun harus membeli produk-produk dalam negeri," terangnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi juga sudah menginstruksikan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengarahkan belanja di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah agar menjadi program yang nyata dan produktif.

“(Program) pemberdayaan, pengembangan, istilah-istilah yang absurd, tak konkret. Langsung ajalah, itu untuk modal kerja, untuk beli mesin produksi, untuk marketing, ya kalau pengembangan UMKM kan mestinya ke program itu, untuk pameran, jelas. Ini tugas BPKP, orientasinya ke situ,” kata Presiden Jokowi dalam Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023 di Jakata, Rabu (13/6/2023).

Dari hasil pengecekan langsung di lapangan, Jokowi menyebut, masih banyak program yang tidak produktif.

Oleh karena itu ia masih rajin melakukan inspeksi ke lapangan.

Ia mencontohkan, ada anggaran Rp10 miliar untuk penanganan tingkat kekurangan gizi kronis (stunting).

Mayoritas anggaran  itu untuk belanja pegawai, perjalanan dinas dan lainnya.

Baca Juga: Kenalin Nih BBM Baru Pertamina: Pertamax Green 95, Harganya Nggak sampai Rp13.600

Seharusnya,  Rp8 miliar dari dana tersebut digunakan untuk program yang berorientasi hasil yang dapat menurunkan stunting seperti pemberian makanan penuh nutrisi bagi masyarakat.

“Saya baru saja minggu yang lalu saya cek di APBD di Mendagri. Coba saya mau lihat Rp10 miliar untuk stunting, saya cek, perjalanan dinas Rp3 miliar, rapat Rp3 miliar, penguatan pengembangan Rp2 miliar, yang untuk bener-bener beli telur itu tak ada Rp2 miliar," ungkapnya.

"Kapan stunting-nya akan selesai kalau caranya seperti ini. Ini yang harus diubah semuanya,” tambahnya.

Hal serupa juga ia temukan di program pengembangan UMKM dan pembangunan penyuluh pertanian. Banyak kegiatan tidak produktif dalam program tersebut.

“Pembangunan balai untuk membangun dan merehabilitasi balai. Jelas. Anggarannya Rp1 miliar, (anggaran) kecil ini mestinya untuk Rp1 miliar ya mestinya Rp900 juta untuk rehabilitasi. Mestinya. Tapi setelah kita cek bener, Rp734 juta itu honor, rapat, dan perjalanan dinas. Artinya 80 persen. Ini sudah tak bisa lagi,” ujarnya.

Baca Juga: Jokowi ke Pasar Palmerah, Kaget Harga Ayam Naik Jadi Rp50.000

Jokowi menyebut kondisi itu menjadi tantangan dan tugas berat BPKP.

Jokowi meminta lembaga itu untuk mengubah cara realisasi anggaran program tersebut.

“Anggaran APBN, anggaran APBD itu produktif, karena tangan BPKP itu sampai di provinsi, kabupaten dan kota. Artinya bisa mengawal, bisa mengawasi, bisa mengarahkan. Aparat di pusat, provinsi, kota dan kabupaten itu dengan BPKP itu takut. Segan dan takut. Gunakan ini untuk kebaikan negara,” jelasnya.

Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya

Sumber : Antara


TERBARU