Sebelum Rapat dengan DPR, Mahfud Bertemu Sri Mulyani dan PPATK, Hasilkan 7 Hal Ini
Ekonomi dan bisnis | 11 April 2023, 13:09 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - DPR kembali mengagendakan rapat dengan Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Selasa (11/4/2023), pukul 14.00 WIB. Mahfud MD sebagai Ketua Komite TPPU menyatakan, dirinya akan hadir bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
"Besok. Ya kami akan hadir besok," kata Mahfud saat jumpa pers Komite TPPU, Senin (10/4/2023).
Komisi III DPR kembali menggelar rapat karena merasa perlu mendengar keterangan dari Sri Mulyani.
DPR merasa ada perbedaan data antara yang disampaikan Mahfud ke Komisi III, dengan yang disampaikan Sri Mulyani ke Komisi XI DPR, soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun terkait Kemenkeu.
DPR juga menunggu tindak lanjut pemerintah soal transaksi tersebut.
Sebelum rapat dengan DPR, Mahfud sebagai Ketua Komite TPPU mengumpulkan anggotnya untuk rapat lebih dulu pada Senin kemarin.
Yakni Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai Wakil Komite TPPU, Menkeu Sri Mulyani, Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, OJK, dan Menkumham Yasonna Laoly sebagai anggota Komite TPPU.
Baca Juga: Mahfud MD Bentuk Satgas untuk Tindaklanjuti Transaksi Mencurigakan Rp349 T terkait Kemenkeu
Berikut adalah hasil rapat Komite TPPU:
1. Tidak ada perbedaan data antara yang disampaikan oleh Menko Polhukam sebagai Ketua Komite di Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023 dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023.
Karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu Data Agregat Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK tahun 2009-2023. Terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang berbeda.
Keseluruhan LHA/LHP mencapai 300 surat dengan total nilai transaksi agregat Rp.349.874.187.502.987,00. Kemenko Polhukam mencantumkan semua LHA/LHP yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan, baik LHA/LHP yang dikirimkan ke Kemenkeu, maupun LHA/LHP yang dikirimkan ke APH yang terkait dengan pegawai Kemenkeu, dengan membaginya menjadi 3 cluster.
Sedangkan Kementerian Keuangan hanya mencantumkan LHA/LHP yang diterima, tidak mencantumkan LHA/LHP yang dikirimkan ke APH yang terkait pegawai Kemenkeu.
2. Dari 300 LHA/LHP yang diserahkan PPATK sejak tahun 2009 hingga tahun 2023 kepada Kementerian Keuangan maupun kepada Aparat Penegak Hukum (APH), sebagian sudah ditindaklanjuti, namun sebagian lainnya masih dalam proses penyelesaian, baik oleh Kementerian Keuangan maupun APH.
3. Kementerian Keuangan sudah menyelesaikan sebagian besar LHA/LHP yang terkait dengan tindakan administrasi terhadap pegawai atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terbukti terlibat sesuai dengan Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN jo. PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Baca Juga: Siap Penuhi Undangan Rapat Komisi III DPR Bersama Sri Mulyani, Mahfud MD: Kami akan Hadir Besok!
4. Kementerian Keuangan akan terus menindaklanjuti dugaan terjadinya Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sesuai ketentuan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang belum sepenuhnya dilakukan, bekerja sama dengan PPATK dan aparat penegak hukum untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
5. Untuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan nilai transaksi agregat Rp189.273.872.395.172 yang disampaikan oleh Menko Polhukam di Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023 dan dijelaskan Menteri Keuangan di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023, pengungkapan dugaan Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah dilakukan langkah hukum terhadap TPA.
Langkah hukum itu telah menghasilkan putusan pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK), namun Komite memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk kedalam proses hukum (case building) oleh Kementerian Keuangan.
6. Komite akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP nilai agregat sebesar Rp349.874.187.502.987,00 dengan melakukan Case Building (membangun kasus dari awal).
Tim Gabungan/Satgas akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenko Polhukam.
Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat.
Dimulai dengan LHP senilai agregat Rp189.273.872.395.172.
Baca Juga: Tenaga Honorer Dihapus November 2023, MenPANRB Sebut Tak Ada PHK Massal
7. Komite dan Tim Gabungan/Satgas akan bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.
Adapun poin 6, soal transaksi mencurigakan senilai Rp189 triliun adalah terkait ekspor emas batangan yang digagalkan Bea Cukai.
Seperti diberitakan Kompas TV sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menerangkan, pada Januari 2016 pihak Bea Cukai mencegah ekspor logam mulia. Dalam dokumen ekspor disebutkan isi barang tersebut adalah 218 kg perhiasan senilai 6,8 juta dolar AS.
"Tapi isinya Ingot (emas batangan). Lalu didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan dan dilakukan juga penelitian, penyelidikan, hingga pengadilan tindak pidana kepabeanan," kata Suahasil beberapa waktu lalu.
Ekspor emas tersebut akhirnya distop oleh Bea Cukai. Proses peradilan kasus tersebut berlangsung pada 2017-2019.
Suahasil memaparkan, di tingkat Pengadilan Negeri, pihak Bea Cukai kalah, lalu maju untuk kasasi hingga akhirnya menang di tingkat tersebut.
Kemudian pihak perusahaan yang terlibat, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan pihak Bea Cukai kembali kalah.
Baca Juga: Meski Ada One Way di Tol Cikampek, Pemudik dari Bandung ke Jakarta Tetap Bisa Lewat, Ini Jadwalnya
"Dianggap tidak terbukti ada tindak pidana kepabeanan di PK pada 2019," ujar Suahasil.
Karena di tingkat PK kalah, pihak Kemenkeu pun tidak bisa mengusut lebih lanjut soal dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ekspor 218 kg emas batangan itu.
"TPPU itu terkait tindak pidana asal. Saat tindak pidana asal ada, maka TPPU-nya bisa mengikuti. Kalau tindak pidana tidak terbukti di pengadilan, ya TPPU-nya enggak maju," kata Suahasil.
Selanjutnya pada 2020, pihak Bea Cukai mengendus perusahaan yang sama melakukan ekspor emas dengan modus yang sama.
Tapi karena sudah kalah di PK pada 2019, pihak Kemenkeu pun mencoba mengejar pajak perusahaan tersebut. Pada tahun 2020, Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bertukar data terkait perusahaan tersebut.
"Kalau modusnya sama, 2016 kita kalah di pengadilan. Dengan logika seperti itu, maka Agustus 2020 itu disepakati kalau tindak kepabeanan engga kena, kita kejar pajaknya," tutur Suahasil.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV