Tangani Virus Corona, Pemerintah Terbitkan Global Bonds. HIPMI: Secara Jangka Panjang Tidak Tepat
Ekonomi dan bisnis | 15 April 2020, 12:18 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Surat Utang Global atau Global Bonds dengan tenor 50 tahun.
Secara implisit sebesar USD 4,3 miliar dalam tiga bentuk surat berharga global, yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI 1030, RI 1050, dan RI 0470.
Penerbitan Global Bonds kali ini akan digunakan untuk memenuhi strategi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara umum, termasuk biaya untuk upaya penanganan dan pemulihan wabah virus corona atau Covid-19.
Baca Juga: Pemerintah dan Bank Indonesia Berusaha "Menyambung Nyawa Perekonomian" Lewat Dana Global
Seri RI 1030 memiliki tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 diterbitkan sebesar 1,65 miliar USD dengan yield global sebesar 3,9 persen.
Seri kedua yaitu RI 1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050.
Nominal yang diterbitkan juga 1,65 miliar USD dengan yield 4,25 persen.
Sedangkan seri ketiga adalah RI 0470 dengan tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April tahun 2070 sebesar 1 miliar USD dengan tingkat yield 4,5 persen.
Seri ini merupakan global bond pertama yang diterbitkan dengan tenor 50 tahun.
Penerbitan obligasi tersebut dikritisi oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, Ajib Hamdani menilai kebijakan yang diambil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu merupakan keputusan yang akan memberatkan neraca keuangan untuk jangka Panjang.
"Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu cenderung mengambil pertimbangan yang tidak tepat dengan menerbitkan global bonds menutup defisit yang ada. Keputusan ini memang positif untuk jangka pendek, tapi akan memberatkan neraca keuangan untuk jangka panjang," ujar Ajib, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (14/4/2020).
Menurut Ajib, hutang itu bersifat jangka panjang dengan tingkat suku bunga cukup tinggi dan unstructured.
Efek yang ditimbulkan dan perlu dicermati ada dua hal, yaitu semakin memperlebar dan memperlama current account deficit (CAD), serta memperlambat perekonomian karena pajak akan semakin digenjot.
"Hal pertama tentang CAD dengan tambahan hutang dan bunga yang tinggi serta unstructured. Maka akan banyak crowding out dalam 50 tahun ke depan untuk pembayaran hutang,” tutur Ajib.
Selain itu, lanjut Ajib, yang kedua adalah beban APBN yang makin berat serta penopang utama pembayaran hutang ini dari pajak.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19, maka potensi pajak yang tambah shortfall.
“Pemerintah pasti akan mendesain aturan pajak untuk menyasar pajak-pajak baru guna menambal shortfall tersebut. Ini yang dikhawatirkan menimbulkan kontraproduksi ekonomi ke depannya,” kata Ajib.
Baca Juga: Ekonomi Global Bisa Minus 2,8 Persen, Jokowi: Jangan Pesimistis!
Ajib mengatakan, ketimbang mengeluarkan global bonds yang membebani jangka panjang untuk keuangan negara, lebih baik pemerintah memakai cadangan devisa dari Bank Indonesia (BI).
“Dananya lebih murah dan tidak menimbulkan crowding out untuk ke depannya. Instrumen dan kebijakan teknisnya bisa diatur melalui Perppu," ungkap Ajib.
Ajib menambahkan, pola yang sedang dipakai di masing-masing negara, justru sedang memperkuat struktur ekonomi dalam negeri, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
"Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dengan penerbitan global bonds itu justru bertolak belakang dengan orientasi penguatan keuangan dan APBN," kata Ajib.
Penulis : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV