Penjelasan Lengkap Wamenkeu soal Transaksi Mencurigakan Pegawai Kemenkeu
Ekonomi dan bisnis | 31 Maret 2023, 13:59 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dari 300 surat berisi transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun yang dikirimkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya 200 surat yang diterima Kemenkeu.
Sisanya 100 surat dikirimkan PPATK ke Aparat Penegak Hukum (APH), yang berisi laporan senilai Rp74 triliun transaksi mencurigakan.
Lalu 200 surat ke Kemenkeu, terdiri dari 135 surat laporan analisis transaksi mencurigakan perusahaan dan pegawai Kemenkeu, serta 65 surat terkait korporasi.
Suahasil menyebut, Kemenkeu sama sekali tidak tahu isi surat yang dikirimkan PPATK ke APH.
"Surat yang dikirimkan ke APH, Kemenkeu terima enggak? Enggak," kata Suahasil dalam konferensi pers virtual, Jumat (31/3/2023).
Nah, dalam 135 surat terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu ada transaksi mencurigakan senilai Rp22 triliun. Dari nilai itu, ada transaksi mencurigakan senilai Rp18,7 triliun dilakukan oleh perusahaan dan Rp3,3 triliun oleh PNS Kemenkeu.
Baca Juga: Mahfud MD soal Transaksi Mencurigakan Rp300 T: Yang Sebut Inisial Bu Sri Mulyani, Salahnya di Situ
Untuk transaksi mencurigakan terkait pegawai Kemenkeu ini, kata Suahasil, merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu.
Termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual beli harta untuk kurun waktu 15 tahun (2009 s.d. 2023) yang telah ditindaklanjuti.
"Kenapa transaksi pegawai ada di sini? Itu kita lakukan saat ada mutasi pegawai, promosi pegawai. Setiap mau bikin panitia seleksi yang ada pegawai Kemenkeu, yang panselnya di Kemenkeu, kita pasti minta data clearance yang ada di PPATK," kata Suahasil.
Sedangkan untuk transaksi mencurigakan Rp18,7 triliun, berisi transaksi debit kredit operasional korporasi yang tidak terafiliasi dengan pegawai Kemenkeu. Berikut datanya:
a. Rp11,38 Triliun atas PT A (perusahaan perkebunan)
b. Rp2,76 Triliun atas PT B (PMA otomotif)
c. Rp1,88 Triliun PT C (perusahaan pertukaran data)
d. Rp2,22 Triliun PT D & PT E
e. Rp452 Miliar PT F
Baca Juga: Mahfud MD Curiga dengan Anak Buah Sri Mulyani, Data Transaksi Mencurigakan Tak Sampai ke Menkeu
Suahasil memaparkan, laporan transaksi mencurigakan PT A adalah dari permintaan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu pada Februari 2022, atas kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan penyalahgunaan wewenang pemeriksa pajak.
"(Ada) Pemeriksa pajak (yang kita) minta datanya (ke PPATK), lalu yang trekait dengan dia muncul PT A periode 2017-2018 punya 5 rekening. Dan satu satu dibuka dan dianalisis dan dari hasil analisis, tak ditemukan aliran dana ke rekening pegawai dan keluarga dan orang terkait pegawai Kemenkeu itu," kata Suahasil.
"Jadi kalau ada info dari PPATK memang detil, tapi belum tentu jadi kasus," ujarnya.
Selanjutnya adalah PT B yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA). Data terkait PT B ini diminta ke PPATK juga atas inisiatif Itjen Kemenkeu saat melakukan audit investigasi atas penerimaan uang oleh pegawai Kemenkeu.
Kemudian untuk PT C, juga hasil permintaan Itjen Kemenkeu pada 2015, saat pengawasan internal atas dugaan benturan kepentingan.
Sedangkan PT D dan PT E adalah orang pribadi di mana laporannya atas inisiatif PPATK. Guna mendukung pengumpulan penerimaan negara.
Baca Juga: Ini Awal Permasalahan Mahfud MD Ungkap Data LHA PPATK soal Transaksi Mencurigakan di Kemenkeu
"Sudah dilakukan pemeriksaan khusus oleh DJP dan Saudara D juga sudah wafat karena kelahiran 1930. Kalau saudara E, sudah diterbitkan surat ketetapan pajak," ujarnya.
Terakhir, laporan soal PT F merupakan permintaan Itjen Kemenkeu saat mengumpulkan data soal penyimpangan pengadaan dan dugaan gratifikasi, dengan total transaksi Rp452 miliar.
Setelah diselidiki, transaksi itu ternyata untuk operasional biasa perusahaan.
"Jadi semuanya itu perusahaan riil, bukan perusahaan cangkang. Soal transaksi mencurigakan Rp22 triliun ini kita pelototin betul. Hubungan kita dengan PPATK itu detil, rapatnya juga bertubi-tubi," kata Suahasil.
Selanjutnya, ada juga 65 surat dari PPATK ke Kemenkeu terkait perusahaan atau korporasi dengan nilai transaksi mencurigakan senilai Rp253 triliun.
Nilai Rp253 triliun itu, mencakup transaksi debit kredit operasional perusahaan korporasi dengan transaksi sebesar Rp189 triliun terkait dengan tugas fungsi Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Baca Juga: Penjelasan PPATK soal Rp35,3 Triliun Dugaan TPPU di Pegawai Kemenkeu, Beda Data dengan Sri Mulyani
Yaitu terkait penanganan dugaan tindak pidana kepabeanan yang dilakukan sebuah perusahaan yang mengeskpor emas pada 2016.
Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menduga Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menerima data valid terkait transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan, karena aksesnya dibatasi oleh bawahannya.
Pernyataan ini diungkapkan Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III dan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
"Dari keterangan Ibu Sri Mulyani tadi saya ingin jelaskan fakta, bahwa ada kekeliruan pemahaman dan penjelasan karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan bahwa Sri Mulyani mengaku tidak mengetahui adanya data transaksi mencurigakan Rp189 triliun saat pertemuan bersama Kemenkeu dan PPATK.
Namun, setelah diperiksa lebih lanjut, data tersebut terkait dugaan pencucian uang yang dilakukan di Direktorat Bea Cukai dengan 15 entitas.
Baca Juga: Mahfud Luruskan Temuan PPATK Rp349 Triliun Dugaan TPPU Bukan Berarti Menkeu Sri Mulyani Korupsi
"Dua tahun tidak muncul, 2020 dikirim lagi tidak sampai ke Ibu Sri Mulyani, sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan dijelaskan yang salah," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, PPATK telah "mengendus" dugaan pencucian uang sejak 2017 dan melaporkannya ke Kemenkeu melalui Dirjen Bea Cukai dan Irjen Kemenkeu.
Namun, laporan tersebut tidak pernah sampai ke tangan Sri Mulyani. Ia juga menegaskan agar tidak melibatkan Rafael Alun dalam kasus ini, karena terkait kasus yang berbeda.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV