> >

Survei CHED ITB: Pedagang Untung Sampai 30 Persen Jika Jual Rokok Eceran

Kebijakan | 27 Desember 2022, 10:30 WIB
Pemerintah akan melarang penjualan rokok eceran di tahun 2023. . (Sumber: Pixabay)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Presiden Joko Widodo akan melarang penjualan rokok batangan dan melarang iklan rokok pada media digital pada 2023. Hal itu diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 25 Tahun 2022 tentang Penyusunan Program Pemerintah.

Tujuan aturan itu, agar perokok pemula seperti pelajar dan anak-anak tidak bisa lagi membeli rokok. Namun  dari sisi pedagang, menjual rokok eceran jauh lebih menguntungkan dibanding menjual rokok per bungkus. Sebatang rokok bisa dihargai Rp2.000 hingga Rp3.000 tergantung jenis rokoknya.

Peneliti dari Center of Human dan Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto mengatakan, rokok eceran dapat memberikan keuntungan  pada penjual rokok sebesar 20 hingga 30 persen.

Hal itu ia sampaikan dalam rilis survei CHED pada April lalu.

“Ini akan meningkatkan daya beli rokok terutama bagi anak-anak yang masih sekolah dan orang miskin yang memiliki keterbatasan pendapatan untuk membelanjakan barang,” kata Adi saat itu, dikutip dari Antara pada Selasa (27/12/2022).

Adi menyebutkan, bila satu bungkus rokok dengan isi 16 batang dijual (HTP) seharga Rp25.000, kemudian dijual kembali dengan harga per batang Rp2.000, maka profit ekstra yang didapatkan oleh penjual bisa mencapai Rp7.000 per bungkusnya. 

Baca Juga: Emak-Emak Pusing Cukai Rokok Naik, Tapi Bapak-Bapak Santai: Rejeki Mah Ada Aja

Hal itu disebabkan banyak dari masyarakat khususnya pelajar dan masyarakat berpendapatan rendah, memiliki akses yang mudah dalam menikmati rokok eceran tersebut. Banyak di antara mereka membeli rokok eceran di tempat yang tidak memiliki izin dagang secara resmi.

"Sebanyak 85 persen penjualan rokok eceran dijual oleh para pedagang kaki lima," ucapnya.

Ia menjelaskan, data itu didapat dari survei CHED dengan standar acuan Harga Jual Eceran dan Harga Transaksi Pasar (HJE-HTP) pada PMK 198/010/2020. Survei itu dilakukan pada area Jabodetabek.

Selain itu, hasil survei menyebutkan, penjualan rokok eceran sebanyak 80 persen ditemukan di terminal atau stasiun, 75 persen di pom bensin SPBU, 71 persen pada grosir, 75 persen ditemukan di pasar tradisional dan 0 persen pada minimarket.

Dari keenam titik penjualan tersebut, rata-rata penjualan harian rokok di area Jabodetabek dapat mencapai Rp408.946 per harinya.
 
Selain karena mudahnya akses pada rokok eceran, profit semakin meningkat karena adanya pola pikir kedua kelompok yang tetap dapat menikmati rokok bermerek populer dengan harga yang rendah.

Baca Juga: Daftar Kebijakan Berlaku di 2023: Blokir STNK, Cukai Rokok Naik hingga Bayar Tol Tanpa Sentuh

"Dari hasil survei, terdapat lima merek terkenal yang mudah diakses yaitu Malboro Merah, Sampoerna Mild, Dji Sam Soe, Gudang Garam Filter dan Djarum Super," ujarnya.
 
“Ini juga memberikan peluang bagi mereka untuk tetap bisa mengkonsumsi rokok karena bisa diecer. Walaupun sebungkus harganya Rp30.000 dengan isi 10 sampai 12 batang, jika dia memiliki uang Rp10.000 berarti setidaknya dia bisa membeli tiga batang rokok,” sambungnya.

Peneliti dari lembaga yang sama Diyah Hesti K menyampaikan, bila melihat data milik Badan Pusat Statistik tahun 2021, rokok juga telah menjadi prioritas belanja kedua dalam rumah tangga setelah beras.
 
Seharusnya dengan melihat bahaya dari rokok eceran tersebut, kata Diyah, pemerintah perlu mengendalikan penjualan rokok melalui lewat pembatasan seperti yang dilakukan oleh Jepang.
 
Di mana Jepang menerapkan sistem jual beli rokok hanya dapat dilakukan secara terbatas di toko-toko yang memiliki izin resmi.
 
Namun melihat kondisi di Indonesia, Diyah menyarankan pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran karena sudah mencapai 70 persen lebih di sejumlah titik penjualan.

Baca Juga: YLKI Sebut Penjualan Rokok Ketengan Perlu Dilarang Imbas Cukai Rokok Naik 10 Persen

"Pemerintah juga perlu mengendalikan tembakau dengan simplifikasi struktur tarif cukai agar administrasi pemungutannya lebih sederhana dan memudahkan pengawasan peredaran rokok," tutur Diyah.

Sebagai informasi, salah satu program pemerintah 2023 yang diatur dalam Keppres 25/2022, adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Tahun Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Dengan rencana perubahan yang akan dilakukan, Pemerintah akan menerapkan Aturan terkait rokok sebagai berikut:

1. Penambahan luas prosentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau;
2. Ketentuan rokok elektronik;
3. Pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi;
4. Pelarangan penjualan rokok batangan;
5. Pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi;
6. Penegakan dan penindakan; dan
7. Media teknologi informasi serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Dari poin-poin di atas, terlihat arah kebijakan pemerintah  yang semakin mempersempit ruang gerak produk rokok. Sebagai informasi, tahun depan cukai rokok juga akan naik dan berlaku selama 2 tahun.

Itu artinya, disaat harga rokok per bungkus semakin mahal, perokok dilarang membeli per batang. Plus, melarang iklan rokok di media teknologi informasi atau digital.

Baca Juga: Profil Silmy Karim, Bos Krakatau Steel yang Jadi Dirjen Imigrasi dan Berharta Rp208 Miliar

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung rencana kebijakan pemerintah itu. Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, dengan naiknya harga rokok, akan semakin banyak perokok yang membelinya secara eceran atau ketengan. Terutama perokok anak yang memang tidak punya banyak uang.

"Selain kenaikan cukai, akan efektif kalau tidak ada larangan rokok ketengan. Dari survei lembaga, 70 persen lebih anak anak membeli rokok ketengan. Pemerintah harus punya nyali untuk memotong mata rantai remaja dan rumah tangga miskin,” kata Tulus saat dihubungi Kompas TV, Selasa (27/12/2022).

Tulus bahkan menilai kenaikan cukai yang berkisar 5 persen hingga 15 persen masih kurang. Ia menyebut harusnya cukai rokok naik hingga 20 persen.

“Sebenarnya semakin tinggi persentasenya akan semakin efektif untuk melindungi konsumen dan pengendalian konsumsi rokok. Dengan angka 10 persen angka minimalis sekali. Kita ingin kenaikan itu 15-20 persen,” ujar Tulus.

Namun, ia berharap pemerintah bisa menegakkan pengawasan dengan ketat. Pasalnya rokok eceran dijual di warung-warung yang jumlahnya sangat banyak. Bukan hanya di warung di rumah warga, tapi juga warung di pinggir jalan dan pedagang kopi keliling.

Selain pelajar, konsumen rokok eceran ini juga dari kalangan pekerja informal seperti tukang ojek, pedagang, tukang bangunan, dan lainnya.
 

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Antara, Kompas TV


TERBARU