> >

KCIC Minta Konsesi Kereta Cepat Jadi 80 Tahun, Ini Alasan Jonan Dulu Tegas Menolak

Ekonomi dan bisnis | 9 Desember 2022, 08:04 WIB
PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) meminta masa konsesi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) diperpanjang dari 50 tahun menjadi 80 tahun. (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV - PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) meminta masa konsesi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) diperpanjang dari 50 tahun menjadi 80 tahun. KCIC adalah pengelola KCJB.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal mengatakan, permintaan itu disampaikan PT KCIC pada 15 Agustus 2022.

"Hal ini disampaikan melalui surat Dirut PT KCIC Nomor 0155/HF/HU/KCI/C08 2022 tanggal 15 Agustus 2022 disampaikan bahwa PT KCIC meminta kepada Kemenhub agar dilakukan penyesuaian terhadap masa konsesi KCJB," kata Risal dalam rapat kerja Komisi V DPR, seperti dikutip kanal YouTube Komisi V, Kamis (8/12/2022).

Risal menjelaskan, alasan KCIC yang pertama adalah karena biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung bengkak sangat besar. Sehingga investor butuh waktu lebih lama untuk balik modal dan mendapat keuntungan.

"Kedua, menjaga kesinambungan proyek. Sehingga bisa memaksimalkan dampak positif ke berbagai aspek. Baik sosial, ekonomi, politik, lingkungan, teknologi, pendidikan, dan kontribusi ke pendapatan negara. Selain itu juga akan mempererat hubungan kedua negara," tutur Risal.

Biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memang membengkak, dari yang tadinya total 6,071 miliar dollar AS, menjadi 7,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp112,5 triliun (asumsi kurs Rp15.000)

Baca Juga: Mengenal KA Feeder, Antarkan Penumpang Kereta Cepat dari Padalarang ke Stasiun Bandung

PT KAI mengungkap, hingga 15 September 2022 biaya proyek itu naik 1,449 miliar dollar AS atau Rp21,74 triliun dari rencana awal. Hitungan itu berdasarkan  review terbaru Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komite KCJB.

Sebelumnya, berdasarkan perhitungan dan review BPKP pada 9 Maret 2022, pembengkakan biaya hanya sebesar 1,17 miliar dollar AS atau Rp17,64 triliun.

Sementara itu, Ketua Komisi V DPR RI Lasarus meminta hal ini dipikirkan lebih matang.

“Lakukan perhitungan secara matang dan cermat sebelum masa konsesi tersebut diputuskan,” ujar Lasarus dalam rapat yang sama.

 

Senada dengannya, anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai NasDem Soehartono meminta masa konsesi kereta cepat tidak diperpanjang. Ia menilai 50 tahun saja sudah cukup lama dan 80 tahun sama dengan dua generasi.

Soehartono meyakini bahwa nasib KCJB bakal sama seperti Freeport yang sebelum masa akhir sudah diambil alih oleh negara.

Baca Juga: 3 Tahun Pertama Tiket Termurah Kereta Cepat Rp125.000, (tak) Balik Modal dalam 38 Tahun

"Jangan sampai ditambah, kalau ditambah itu sudah menjadi malapetaka. Tapi saya yakin tidak sampai 50 tahun nanti sudah diambil. Nasibnya sama seperti Freeport, diambil alih oleh negeri sendiri," ucapnya.

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memang terus menimbulkan kontroversi. Mulai dari pembengkakan biaya, dana APBN yang akhirnya digunakan untuk menambal biaya proyek, hingga munculnya wacana suntik mati KA Argo Parahyangan demi kereta cepat.

Jonan Tegas Menolak 

Proyek ini sebenarnya sudah digagas saat Menteri Perhubungan masih dijabat oleh Ignasius Jonan dan Menteri BUMN dijabat oleh Rini Soemarno.

Mengutip Kompas.com, Jonan bahkan sempat menolak menerbitkan izin trase pembangunan kereta cepat karena dinilai masih ada beberapa regulasi yang belum dipenuhi, terutama terkait masa konsesi. Puncaknya, Jonan tidak hadir saat acara groundbreaking proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung di Walini yang dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Bahkan sempat beredar kabar, sikap keras Jonan terhadap kereta cepat jadi penyebab ia terkena reshuffle pada Juli 2016. Jonan kemudian digantikan oleh Budi Karya Sumadi, yang merupakan mantan Bos Angkasa Pura II.

Jonan yang dikenal karena mereformasi layanan perkeretaapian di Indonesia, memang sempat membuat pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung tertunda karena izin trase belum keluar.

Baca Juga: Debat Panas Said Didu Vs Stafsus Erick Thohir soal Argo Parahyangan Mau Dihapus demi Kereta Cepat

Diberitakan Harian Kompas, 1 Februari 2016, Jonan menyebut alasan belum keluarnya izin, karena dirinya tegas mengikuti koridor regulasi.

"Saya kira publik tidak pernah memahami UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian dan peraturan menteri yang mengikutinya. Kalau mereka tahu, mereka akan mengerti saya hanya menjalankan undang-undang," kata Jonan kepada Harian Kompas saat itu.

"Mereka sebagai pengusaha tentu akan minta kemudahan sebanyak-banyaknya. Kementerian BUMN tentu minta sebanyak-banyaknya, kita yang harus mengaturnya," ujarnya.

Jonan yang juga mantan Dirut PT KAI itu, menegaskan ia tidak mempersulit izin KCJB. Izin akan segera keluar jika semua syarat sudah dipenuhi KCIC.

"Baca dong Perpres No 107/2015. Di situ tercantum Kemenhub harus menegakkan perundangan yang berlaku. Saya dukung kereta cepat agar cepat terbangun. Jika semua dokumennya siap, dalam waktu satu minggu, izin akan keluar. Pokoknya Kemenhub tidak akan mempersulit, tetapi juga tidak akan mempermudah," katanya.

Ia menjelaskan, saat itu KCIC belum sepakat dengan Kementerian Perhubungan dalam soal konsesi. Dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015 dan UU Nomor 23 Tahun 2007 disebutkan, konsesi perkeretaapian diberikan maksimal hanya 50 tahun dan mulai berlaku saat perjanjian ditandatangani.

Baca Juga: Wacana "Suntik Mati" KA Argo Parahyangan demi Kereta Cepat, tapi Penumpang Tetap Turun di Padalarang

Sementara pihak KCIC ngotot menginginkan agar konsesi 50 tahun dimulai saat kereta cepat mulai beroperasi dan bisa diperpanjang.

"Menurut laporan, belum ada kesepakatan. Prinsipnya memang harus ada konsesi. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kereta yang dibangun bukan oleh pemerintah harus melakukan perjanjian konsesi," kata Jonan.

Menurut dia, pemerintah memberikan hak pengoperasian dan pembangunan kereta. Menteri Perhubungan mewakili negara. Konsesi diberikan maksimum 50 tahun sejak ditandatangani kontrak konsesi, bukan sejak pertama kali operasi.

"Kami tidak mau mengulang kejadian di jalan tol, yakni pemegang konsesi tidak segera membangun jalan tol dan konsesi berlaku sejak pertama kali beroperasi. Akhirnya pemerintah tersandera. Kalau minta 50 tahun dan bisa diperpanjang, tidak saya berikan," kata Jonan.

"Alasannya, konsesi ini gratis. Mereka tidak bayar sepeser pun. Konsesi di kereta berbeda dengan konsesi di laut dan udara. Kalau di laut, pemegang konsesi harus bayar 2,5 persen, sedangkan di kereta tidak ada fee konsesi," katanya.

Kesesepakatan lainnya saat itu, tidak ada jaminan negara sama sekali. Apabila pembangunan dan pengoperasian berhenti di tengah jalan, pemerintah tidak akan ambil alih. Hal itu juga pernah ditegaskan Presiden Jokowi, jika proyek KCJB tidak akan menggunakan uang negara sepeser pun.

Baca Juga: Janji Kereta Cepat Jakarta-Bandung Kelar Tahun Depan, Luhut: Ini Harus Jadi, Tidak Boleh Mundur

Meski pada akhirnya, dana APBN dipakai juga untuk setoran modal KCIC. Kemudian, saat masa konsesi selesai, semua infrastruktur yang dibangun harus diserahkan ke negara dalam kondisi fit and clear, artinya tidak dijaminkan ke pihak lain dan layak operasi.

"Kalau proyek berhenti di jalan, izin akan dicabut dan mereka wajib mengembalikan kondisi alam yang telah mereka pakai ke kondisi semula. Supaya tidak seperti monorel di Jakarta. Kalau prinsip ini sudah disepakati, konsesi bisa diberikan," kata Jonan.

Akhirnya, KCIC menuruti keinginan Jonan dan patuh pada peraturan. Di mana dalam kesepakatan perjanjian disebutkan masa konsesi berlangsung selama 50 tahun sejak 31 Mei 2019 dan tidak dapat diperpanjang, kecuali dalam keadaan kahar, seperti ada bencana alam.

Perjanjian konsesi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung antara Kementerian Perhubungan dengan PT KCIC akhirnya ditandatangani pada Rabu, 16 Maret 2016.

Tujuh tahun sejak perjanjian itu diteken, KCIC mengajukan lagi perpanjangan konsesi. Lantaran biaya kereta cepat membengkak sangat besar, bukan karena adanya bencana alam sebagaimana yang tertulis dalam perjanjian awal.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas.com


TERBARU