Liz Truss Mundur Saat Inflasi Inggris Tertinggi dalam 40 Tahun, Anak Kelaparan, Upah Pekerja Turun
Ekonomi dan bisnis | 21 Oktober 2022, 08:56 WIBLONDON, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengundurkan diri setelah menjabat hanya selama 6 minggu. Kebijakannya yang menginginkan pajak rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, justru menyebabkan krisis Inggris semakin parah.
Kantor Statistik Nasional (ONS) menyatakan Inflasi Inggris pada September lalu mencapai rekor tertinggi dalam 40 tahun. Inflasi tahunan Inggris tercatat sebesar 10,1 persen dibanding September 2021. Angka ini meningkat dari catatan 9,9 persen pada Agustus lalu.
Lonjakan inflasi terjadi lantaran kenaikan harga pangan dan energi. Khusus makanan, inflasi nya mencapai 14,6 persen secara tahunan.
Mengutip dari The Guardian, Jumat (21/10/2022), kenaikan harga-harga di Inggris terjadi karena pertumbuhan upah terus menurun. Antara Juni-Agustus, upah di Inggris rata-rata turun 2,9 persen.
Baca Juga: PM Inggris Liz Truss Mundur: Rusia Gembira, Prancis Prihatin, dan Oposisi Tuntut Pemilu Segera
Sementara itu, mengutip Survey Resolution Foundation, dalam kurun waktu itu sampai dengan pandemi 2020, rata-rata pendapatan kelas pekerja hanya naik 0,7 persen pertahun. Ini jauh dari rekaman dekade sebelumnya sebesar 2,3 persen (antara 1961-2005).
Penurunan upah juga disertai oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) baik oleh perusahaan swasta dan perusahaan milik negara. Salah satunya Royal Mail, layanan pos Inggris yang mengumumkan akan memangkas 5.000 sampai 6.000 orang karyawan pada Agustus tahun depan, akibat perselisihan dengan serikat pekerja.
Krisis biaya hidup di Inggris makin menggila menjelang masuk musim dingin, tetapi ada pembatasan ekspor gas alam cair yang dilakukan Rusia terhadap negara-negara di Eropa.
PM Liz Truss meninggalkan Inggris saat warganya menderita karena harga gas yang meroket. Hal itu membuat tagihan listrik membengkak, sehingga warga Inggris kebingungan mencari tambahan karena biaya hidup lainnya juga naik.
Baca Juga: Makin Parah, Jutaan Warga Inggris Kurangi Frekuensi Makan Tiap Hari akibat Krisis Ekonomi dan Energi
Banyak warga Inggris akhirnya mengurangi porsi makan mereka, agar bisa menyalakan pemanas ruangan jelang musim dingin. Atau sebaliknya, bisa makan tapi harus kedinginan yang justru berbahaya.
Banyak perempuan Inggris juga akhirnya memutuskan menjadi pekerja seks komersial (PSK). Data English Collective of Prostitution menyebutkan, dimulai Juni dan berakhir September, ada tambahan 1/3 perempuan menjadi PSK. Banyak warga yang menjadi PSK ini merupakan orang tua tunggal. Di Inggris, bisnis prostitusi dilegalkan pemerintah.
Krisis ekonomi di Inggris bahkan dirasakan hingga anak-anak, yang harus kelaparan karena tidak membawa bekal. Orangtua mereka tidak punya cukup uang untuk membuatkan bekal anak atau memberi mereka uang jajan.
Inggris juga memangkas besar-besaran dana bantuan ke luar negeri. Selama ini, negara tersebut dikenal sebagai salah satu pendonor besar untuk isu-isu kemiskinan, perubahan iklim, serta maslaah perempuan dan anak.
Baca Juga: Krisis Kian Parah, Inggris Putuskan Memangkas Tajam Bantuan Luar Negeri, Bencana Ekonomi Menanti
Saat masih menjabat, Truss memerintahkan Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng untuk mengurangi pajak hingga 48 miliar dollar AS tanpa mengurangi belanja negara. Termasuk menghapus tarif pajak penghasilan bagi 45 persen orang kaya Inggris. Otomatis pemasukan negara berkurang, padahal Inggris sedang membutuhkan banyak uang untuk membantu warganya yang kesulitan.
Pasar keuangan khawatir Inggris akan semakin banyak berutang namun tidak mampu membayarnya. Nilai tukar poundsterling pun jatuh, bunga pinjaman ke bank dan bunga KPR pun meningkat.
Bank of England harus mengeluarkan dana miliaran pounds untuk menstabilkan nilai mata uang tersebut. Liz Truss kemudian memecat Kwarteng dan menggantikannya dengan Jeremy Hunt. Menkeu baru Inggris ini berkata akan merombak kebijakan fiskal yang lama. Hunt justru akan memangkas pengeluaran negara dan meningkatkan pajak untuk mengurangi utang.
Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti
Sumber :