Wapres Sebut Belanja Produk UMKM Lokal Bisa Bikin RI Tahan Resesi Global di 2023
Ekonomi dan bisnis | 11 Oktober 2022, 11:30 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan tentang meningkatnya risiko resesi global dan mengatakan inflasi tetap menjadi masalah yang berkelanjutan setelah invasi Rusia ke Ukraina.
"Ada risiko dan bahaya nyata dari resesi dunia tahun depan," kata Malpass dalam dialog dengan Georgieva pada awal pertemuan langsung pertama kedua lembaga itu sejak pandemi COVID-19, seperti dikutip dari Antara, Selasa (11/10/2022).
Malpass mengatakan indikator resesi terlihat dari perlambatan pertumbuhan di negara-negara maju dan depresiasi mata uang di banyak negara berkembang, serta kekhawatiran inflasi yang sedang berlangsung.
Malpass menyebut aktivitas ekonomi melambat di ketiga ekonomi utama dunia. Yakni Eropa, China dan Amerika Serikat. Ekonomi Eropa terpukul oleh harga gas alam yang tinggi, lalu China sedang mengalami gelembung sektor properti dan pelemajan ekonomi akonat kebijakan zero Covid. Sedangkan Amerika Serikat terdampak oleh naiknya bunga acuan The Fed.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini pemerintah menyatakan ekonomi Indonesia dalam keadaan baik dan tidak akan terlalu terdampak perlambatan ekonomi global.
Baca Juga: Krisis Lebanon Buat Nasabah Rampok Bank demi Dapatkan Simpanannya, Pemerintah Disebut Tak Bergerak
Seperti yang disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Ia meminta seluruh pihak untuk terus menjaga dan mengoptimalkan modalitas dan kekuatan domestik yang dimiliki Indonesia. Hal ini sebagai langkah mengantisipasi pembalikan arus modal dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju.
“Kekuatan domestik yang perlu kita jaga antara lain adalah konsumsi dalam negeri dan UMKM yang menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi,” kata Wapres dikutip dari lama resmi Wapresri.go.id, Selasa (11/10).
Bukan tanpa alasan, lanjut Wapres, pada triwulan II tahun ini, 51,47 persen PDB berasal dari konsumsi rumah tangga.
“Untuk itu, pemerintah terus menjaga level daya beli dan konsumsi masyarakat melalui bantuan sosial dan bantuan langsung tunai yang menyasar rumah tangga maupun UMKM,” tuturnya.
Tidak hanya itu, sebut Wapres, pemerintah saat ini juga terus menggaungkan gerakan nasional bangga buatan Indonesia. Ia pun menegaskan bahwa produk-produk buatan dalam negeri, tidak terkecuali produk UMKM, tidak kalah mutunya jika dibandingkan produk impor dari negara lain.
Baca Juga: Ancaman Resesi Global 2023, Ekonom: Tetap Konsumsi dan Belanja Seperti Biasa
“Produk fesyen hijab misalnya, telah berhasil merebut hati konsumen domestik dan luar negeri. Ini harus terus kita tingkatkan,” tegasnya.
Dengan mengandalkan konsumsi dan pasokan barang dari dalam negeri, Indonesia akan semakin mengurangi ketergantungan terhadap produk impor dan makin terhindar dari dampak resesi global.
Hal serupa juga disampaikan Co founder dan Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah. Menurut Piter, masyarakat Indonesia bisa tetap melakukan konsumsi dan berbelanja seperti biasa. Piter yakin kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan tahun depan masih baik.
"Biasa saja, konsumsi seperti biasa. Kalau masyarakat berpikir jangan belanja, pegang uang tunai saja, kalau kita tidak bergerak, nanti kejadian resesi beneran," kata Piter saat diwawancara Kompas TV beberapa waktu lalu.
Piter menjelaskan, Indonesia bisa tidak terdampak resesi global karena ekonominya tidak ditopang oleh ekspor, tapi oleh konsumsi masyarakat di dalam negeri. Kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya sekitar 10 persen. Sedangkan konsumsi mencapai 60 persen dan investasi sebesar 20 persen.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Resesi di 2023, Ini Pilihan Investasi yang Tahan Krisis Ekonomi
Sehingga jika ada resesi dunia yang menyebabkan permintaan ekspor melemah, tidak akan terlalu mempengaruhi ekonomi RI. Menurut Piter, Indonesia saat ini justru sedang dalam masa euforia setelah pandemi mereda.
"Lihat saja banyak yang mulai belanja, mulai kembali ke mall, konsumsi kita naik," ujar Piter.
Ia kemudian menyebut Indeks keyakinan konsumen terbaru yang skornya berada di atas 100 dan indeks manufaktur (PMI) yang skornya berada di atas 50. Dua indeks itu bisa dibilang sebagai indikator geliat ekonomi Indonesia.
"Skornya semua naik. Artinya mobilitas masyarakat mulai pulih karena tidak ada ketakutan akan pandemi lagi," ucapnya.
Penulis pun menyodorkan fakta jika saat ini harga-harga bahan pangan masih tinggi. Lalu produsen tempe yang mengecilkan ukuran produknya, padahal tempe adalah makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Kemudian riset terbaru konsultan properti Colliers yang mengungkap penjualan properti tahun ini, anjlok dibanding tahun lalu.
Baca Juga: Selain Sri Lanka dan Inggris, Ini Daftar Belasan Negara yang Alami Krisis Ekonomi
Piter lalu menjawab jika kenaikan harga bukan terjadi saat ini saja, saat ada ancaman resesi global. Ia mengatakan jika kenaikan harga pangan sudah terjadi sejak tahun lalu dan banyak di antaranya yang sudah menurun. Misalnya harga telur ayam.
Kemudian untuk ukuran tempe yang kian mengecil, ia menilai itu karena mahalnya harga kedelai impor. Masalahnya terletak pada Indonesia yang tidak bisa menghidupkan pertanian kedelai dalam negeri, sehingga terus bergantung pada impor.
Bahkan kenaikan harga BBM, lanjut Piter, tidak serta merta membuat inflasi meroket seperti yang ditakutkan sebelumnya.
"Kenaikan harga itu karena gejolak dinamika pasar. BBM naik tadinya inflasi diperkirakan tinggi banget, tapi ternyata masih aman. Tadinya diperkirakan tembus 8 persen, tapi ternyata hanya 5,9 persen," tutur Piter.
"Jika ada kenaikan harga, yang paling terdampak itu memang masyarakat golongan bawah. Tapi tingkat konsumsi yang dihitung itu bukan dari belanja tempe, melainkan dari belanja barang-barang yang mahal dan mewah. Itu perhitungan BPS," jelas Piter.
Baca Juga: Izin HGB di IKN Bisa Sampai 160 Tahun, Hadi Tjahjanto: Untuk Menarik Investor
"Jadi bukan ditentukan oleh konsumsi tempe, tapi konsumsi barang mewah," lanjutnya.
Ia kemudian mencontohkan, saat pandemi tingkat konsumsi Indonesia negatif. Indonesia juga pernah mengalami resesi teknikal pada tahun 2020, yaitu saat pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan kuartal III negatif berturut-turut.
"Padahal saat itu kita tetap makan kan, tetap beli tempe dan tahu kan. Nah kenapa konsumsi disebut negatif? Karena kelompok menengah atas tidak belanja, tidak liburan," sebutnya.
Piter tidak memungkiri memang ada pelemahan di sektor properti. Namun menurutnya itu pelemahan sektoral, karena sektor properti sudah melemah sejak pandemi melanda.
"Orang beli apartemen itu rata-rata buat investasi, buat di sewain. Lah kalau masyarakat nya pas pandeni tidak bekerja dari kantor, siapa yang mau tinggal di apartemen?," katanya.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :