> >

Konversi Kompor Listrik Batal, Ingat Lagi Kisah Sukses JK Konversi Minyak Tanah ke Gas

Kebijakan | 28 September 2022, 12:13 WIB
Indonesia pernah sukses melakukan konversi energi yaitu dari minyak tanah ke gas LPG 3kg pada 2006-2010. (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah batal mengonversi kompor gas ke kompor listrik. Uji coba program itu sudah dilakukan terhadap ribuan rumah tangga di Solo dan Denpasar, namun akhirnya dibatalkan, Selasa (27/9/2022).

Padahal pemerintah sudah mengeluarkan biaya untuk pengadaan kompor listrik gratis dan kegaduhan sudah terlanjur muncul di publik karena banyak yang mengkritik kebijakan tersebut.

Sebenarnya, bukan baru kali ini peralihan penggunaan sumber energi terjadi di Indonesia. Pada 2006, Indonesia memulai konversi penggunaan minyak tanah menjadi gas dan berhasil. Sehingga kini bisa dibilang 99 persen rumah tangga menggunakan kompor gas.

Adalah sosok mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berada di balik kesuksesan program tersebut.
Menurut JK, kebijakan diversifikasi energi yang diterapkan pemerintah akan berhasil dan diterima baik oleh semua elemen masyarakat, bila dapat memenuhi tiga prinsip utama. Yakni bersih, murah dan mudah.

Dalam arsip berita di laman resmi wapresri.go.id, 3 hal itulah yang menjadi kunci sukses konversi minyak tanah ke gas.

Baca Juga: Pemerintah Putuskan Tidak Akan Naikkan Tarif Listrik Hingga Akhir 2022

“Minyak tanah mahal, kita subsidi besar Rp 5000 per liter. Kita pakai 11 juta kiloliter, subsidinya Rp 5 triliun,” kata JK seperti dikutip dari wapresri.go.id.

Sebelum dipilih gas, pemerintah sebenarnya juga mempertimbangkan untuk menggunakan briket batu bara. Bahkan pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengirim peneliti ke Tiongkok untuk mengetahui kelayakan penggunaan batu bara dalam rumah tangga.

Namun, ternyata batu bara dinilai tidak layak karena dapat menyebabkan penyakit TBC.

“Baru sampai Shanghai, dibilang Anda bisa kena TBC semua. Itu dulu rumah di luar. Kalau tinggal di apartemen, habis anda semua,” ujar JK.

Lalu munculah ide menjadikan gas sebagai alternatif. Ia kemudian meminta adiknya membuktikan bahwa 1 liter minyak tanah sama dengan 0,45 elpiji.

Baca Juga: Program Kompor Listrik Batal, Luhut: Kita Tidak Ingin Buru-Buru

“Pergi ke universitas, ini benar enggak. Kita pilih Trisakti yang suka demo. Takutnya dikira proyek pemerintah. Maka keluarlah Trisakti report ini benar,” ujarnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Energi Universitas Trisakti menghasilkan biaya merebus air 5 liter adalah Rp 11,6/menit untuk LPG dan Rp 13,8/menit untuk Minyak Tanah.

JK juga meminta Pertamina melaksanakan uji coba konversi minyak tanah ke gas di daerah Kemayoran.

“Di survei 60 persen masyarakat setuju,” tambahnya.

Untuk menyukseskan kebijakan konversi tersebut, lanjutnya, pemerintah memberikan kompor dan tabung gas senilai Rp 225.000 secara gratis kepada masyarakat, sehingga total anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah saat itu mencapai Rp15 trilliun.

Kebijakan konversi juga sempat ditentang oleh banyak pihak, terutama saat terjadi ledakan akibat kebocoran tabung gas.

Baca Juga: PLN: Konversi Kompor Listrik Batal, Tarif Listrik Tak Naik, dan Tak Ada Penghapusan Daya 450 VA

“Banyak yang demo, saya suruh tangkap. Kita usut siapa yang bayar demo, ternyata pedagang minyak tanah,” kata JK.

Keberhasilan kebijakan konversi juga tidak terlepas dari strategi penetapan harga jual energi oleh pemerintah dan mempermudah partisipasi masyarakat di dalamnya.

“Partisipasi pengusaha harus jelas, kalau tidak untung, mana ada yang mau,” ucapnya.

Menurut riset pemerintah saat itu, tingkat konsumsi minyak yang sebelum dilakukan konversi mencapai kisaran 12 juta Kilo Liter (KL) setiap tahun. Ketika itu, besaran subsidi mencapai sekitar Rp 25 triliun.

Angka ini berubah sesuai dengan basis asumsi harga minyak mentah dunia maupun volume. Dari jumlah volume sebesar itu, profil pengguna minyak tanah adalah sekitar 10 persen golongan sangat miskin, 10 persen golongan miskin, 50 persen golongan menengah dan 20 persen golongan mampu.

Melihat profil pengguna tersebut, sangat jelas bahwa pemberian subsidi minyak tanah memang tidak seluruhnya tepat sasaran.

Baca Juga: Pakai Kompor Listrik 1.000 Watt tapi Enggak Perlu Tambah Daya? PLN: Ada Jalur Kabel Khusus

Kelompok masyarakat menengah maupun mampu masih banyak yang mengkonsumsi minyak tanah bersubsidi dengan beragam alasan. Oleh sebab itu program konversi yang diikuti dengan pengurangan volume minyak tanah bersubsidi ditujukan untuk memperbaiki distribusi agar lebih tepat sasaran. LPG menjadi pilihan pengganti minyak tanah.

"Alasan terpenting adalah biaya produksi LPG lebih murah dibanding minyak tanah. Biaya produksi minyak tanah tanpa subsidi adalah sekitar Rp 6.700/liter. Jika dengan subsidi adalah Rp 2.500/liter. Untuk satu satuan setara minyak tanah, biaya produksi LPG tanpa subsidi adalah Rp 4.200/liter. Sedang LPG dengan subsidi adalah Rp 2.500/liter," tulis Kementerian ESDM di laman resminya, dikutip Rabu (28/9/2022).

Kementerian ESDM juga memaparkan, program konversi minyak tanah ke LPG saat itu memiliki sasaran atau target sekitar 40 juta Kepala Keluarga (KK) miskin yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk keperluan ini dibutuhkan sebanyak 40 juta kompor LPG beserta asesorisnya serta 100 juta tabung LPG 3 Kg.

Pada pelaksanaan program, telah dibagikan sejumlah paket perdana secara gratis kepada para keluarga miskin yang terdiri kompor LPG dan asesoris serta tabung LPG 3 Kg.

Baca Juga: Bos PLN Sebut Masak dengan Kompor Listrik Lebih Hemat Rp8.000 Per Kg Elpiji

Konversi kompor minyak tanah ke kompor gas juga menimbulkan dampak ekonomi bergulir. Pengadaan lebih dari 44 juta kompor LPG telah mendorong bangkitnya industri kompor LPG di dalam negeri.

Puluhan pabrik kompor LPG berdiri dengan kapasitas produksi mencapai jutaan unit per tahun. Pabrikan aksesoris kompor juga berkembang seiring dengan kebutuhan pengoperasian kompor LPG oleh konsumen. Seperti pabrik katub tabung (valve), selang dan regulator.

Kebutuhan ratusan juta tabung LPG ukuran 3 Kg juga telah mendorong berkembangnya pabrikan di dalam negeri.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU