> >

Ekonom Prediksi Tahun 2023 Inflasi di RI Akan Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi dan bisnis | 27 September 2022, 13:38 WIB
Ilustrasi resesi ekonomi. (Sumber: Forbes/Getty Image )

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo mengatakan, kondisi ekonomi dunia saat ini sedang dalam masa sulit. Lantaran perang antara Rusia dengan Ukraina masih akan berlangsung lama.

Hal itu ia sampaikan saat membuka BUMN Startup Day Tahun 2022, di ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Senin (26/9/2022).

"Saat saya bertemu dengan Presiden Putin selama dua setengah jam diskusi, ditambah dengan ketemu dengan Presiden Zelenskyy satu setengah jam saya berdiskusi, saya menyimpulkan perang tidak akan segera selesai, akan lama," kata Jokowi seperti dikutip dari laman resmi Sekretariat Presiden.

"Itu berakibat pada kesulitan-kesulitan yang lain, krisis pangan, krisis energi, krisis finansial, COVID-19 yang belum pulih. Akibatnya kita tahu, sekarang ini baru saja saya dapat angka 19.600 orang setiap hari mati kelaparan karena krisis pangan," ujar Jokowi.

Baca Juga: Krisis Inggris Memilukan, Anak Sekolah Pura-Pura Makan dari Kotak Kosong Karena Tak Mampu Beli Bekal

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memprediksi pertumbuhan ekonomi RI akan berada di bawah 5 persen tahun depan.

Lantaran ancaman resesi global akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia, yang selama ini terbantu oleh harga komoditas yang naik.

Padahal selama ini pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kenaikan harga komoditas. 

"Dengan resesi kan berarti permintaan bahan baku industri menurun. Akibatnya terjadi penurunan harga ekspor komoditas unggulan," kata Bhima saat dihubungi Kompas TV, Selasa (27/9/2022).

Dampak resesi juga akan terasa di realisasi investasi. Penanaman modal di sektor riil akan tertekan akan inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonominya.

Baca Juga: Jokowi: Perang Rusia-Ukraina akan Lama, 19.600 Orang Mati Kelaparan Setiap Hari

Investor juga akan mencari instrumen investasi yang lebih aman. Untuk investasi langsung, juga akan terpengaruh karena tingkat konsumsi di Indonesia akan menurun. Sehingga rencana bisnis pelaku usaha juga berubah.

Bhima juga menyoroti kenaikan bunga acuan BI serta proyeksi kenaikan bunga acuan lanjutan.

"Kalau naik secara agresif untuk mengendalikan inflasi, pertumbuhan pinjaman untuk sektor produksi akan melemah. Hal itu bisa mengganggu investasi langsung," sebutnya.

Belum lagi tahun 2023 yang sudah merupakan tahun politik. Pengusaha cenderung menahan ekspansi bisnisnya untuk menghindari risiko tahun politik.

Menurut Bhima, seharusnya pemerintah menambah subsidi energi untuk menjaga harga BBM, bukannya malah menaikannya. Kemudian, pajak pertambahan nilai (PPN) diturunkan dari 11 persen, menjadi 7-8 persen.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Anjlok ke Level Terendah dalam 9 Bulan Terakhir, Tertekan Penguatan Dollar AS

"Agar ada relaksasi konsumsi masyarakat, bukannya pajaknya semakin mengejar khususnya kelas menengah," ucap Bhima.

Ia juga menyarankan agar pemerintah memberikan lagi insentif di sektor perumahan, seperti penambahan rumah subsidi atau subsidi uang muka. Sehingga sektor properti tidak terdampak terlalu tinggi dari kenaikan suku bunga.

Yang tak kalah penting, pemerintah juga harus mengawasi perbankan yang rentan terdampak resesi ekonomi global. Begitu juga dengan konglomerasi keuangan di Indonesia harus diawasi.

"Ada resesi secara global efeknya gagal bayar di sektor keuangan jadi protokol krisis nya juga harus segera dinyalakan," ujarnya.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU