Cuan Besar Saat Krisis Energi, Sekjen PBB Minta Perusahaan Migas Dikenai Pajak Tambahan
Ekonomi dan bisnis | 4 Agustus 2022, 13:22 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyarankan negara-negara menarik pajak atas "keuntungan tak terduga" dari perusahaan minyak dan gas.
Pasalnya, sebuah kondisi yang kontras terjadi di tengah krisis energi yang melanda dunia. Saat warga miskin dan kelompok masyarakat lainnya kesulitan akibat naiknya harga energi, perusahaan migas menikmati keuntungan besar.
Guterres mengatakan, hasil pajak tersebut bisa digunakan untuk membantu kelompok masyarakat rentan yang terdampak kenaikan harga BBM.
"Tidak bermoral bagi perusahaan minyak dan gas untuk membuat rekor keuntungan dari krisis energi ini di belakang orang-orang dan komunitas termiskin dan dengan biaya besar bagi iklim," kata Guterres seperti dikutip dari Antara, Kamis (4/8/2022).
Baca Juga: Buntut Pelosi ke Taiwan, China Jatuhkan Sanksi Larang Ekspor Buah Hingga Pasir
Ia menyebut, total laba yang diraih sejumlah perusahaan migas terbesar di dunia, mencapai 100 miliar dolar AS pada kuartal I-2022.
"Saya mendesak semua pemerintah untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang berlebihan ini dan menggunakan dana tersebut untuk mendukung orang-orang yang paling rentan melalui masa-masa sulit ini," ujar Guterres.
"Dan saya mendesak orang-orang di mana pun untuk mengirim pesan yang jelas kepada industri bahan bakar fosil dan pemodal mereka bahwa keserakahan yang mengerikan ini menghukum orang-orang yang paling miskin dan paling rentan, sambil menghancurkan satu-satunya rumah kita bersama, planet ini." sambungnya.
Di sisi lain, Guterres menyerukan negara-negara mulai menghemat energi, terutama negara maju.
Baca Juga: Kendalikan Pasokan, Malaysia Batasi Harga Minyak Goreng Kemasan 5kg Jadi Rp115.838
"Setiap negara adalah bagian dari krisis energi ini, dan semua negara memperhatikan apa yang dilakukan orang lain. Tidak ada tempat untuk kemunafikan," ucapnya.
Ia juga menyoroti kontradiksi yang dilakukan oleh negara maju. Sejumlah negara maju mendesak negara berkembang untuk berinvestasi pada energi hijau.
Namun saat krisis energi, negara maju itu juga mensubsidi BBM fosil dan membuka kembali pembangkit listrik tenaga batu bara.
"Jika kebijakan itu dijalankan, kebijakan semacam itu harus benar-benar terikat waktu dan ditargetkan, untuk meringankan beban mereka yang miskin energi dan yang paling rentan, selama transisi secepat mungkin ke energi terbarukan." tutur Guterres.
Baca Juga: Petronas Cuan Lebih Gede dari Pertamina, Erick Thohir: Tidak Bisa Dibandingkan
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB Rebeca Grynspan, memperingatkan kemungkinan perebutan bahan bakar akibat krisis energi. Seperti halnya perebutan vaksin saat pandemi Covid.
“Keputusan negara-negara yang paling banyak mengkonsumsi energi memiliki implikasi global bagi seluruh dunia, dan terutama bagi negara-negara terkecil dan termiskin yang memiliki pengaruh kecil di pasar-pasar ini," terang Grynspan.
"Setelah dua tahun pandemi yang ditandai dengan ketidaksetaraan ekstrem, terutama dalam vaksin, dunia tidak mampu lagi melakukan perebutan, kali ini pada bahan bakar," lanjutnya.
Baca Juga: Setelah NPWP, Pemerintah Berencana Integrasikan NIK dengan Nomor Induk Berusaha
Dalam sebulan, musim panas akan berakhir, dan dunia akan memasuki musim puncak permintaan energi, yaitu musim dingin di belahan bumi utara. Saat bulan-bulan yang lebih dingin semakin dekat, tekanan yang dirasakan pemerintah hari ini akan menjadi lebih buruk.
"Satu-satunya cara untuk mengurangi tekanan ini adalah dengan bekerja sama -- dengan menghindari perebutan bahan bakar, dengan melindungi mereka yang rentan dari kemiskinan energi, dengan mengelola permintaan dengan cara yang adil dan merata, dan dengan menginvestasikan dan menggandakan energi. transisi," ujarnya menandaskan.
Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto
Sumber : Antara