Pemerintah Kurangi Pupuk Bersubsidi, Petani Khawatirkan Dampaknya pada Penurunan Produksi
Kebijakan | 6 Juli 2022, 16:37 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Para petani mengkhawatirkan dampak dari pengurangan pupuk bersubsidi pada kenaikan ongkos tanam serta penurunan produksi dan produktivitas tanaman.
Padahal, di tengah ancaman krisis pangan global akibat pandemi, perang, gangguan rantai pasok, dan perubahan iklim, negara dituntut menggenjot produksi di dalam negeri guna meningkatkan ketahanan pangan.
”Tanpa pembatasan (selama ini) pun, kami selalu kekurangan. Di Grobogan, misalnya, urea hanya memenuhi 75 persen dan NPK hanya 35 persen dari total e-RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok),” ungkap Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Tengah Hardiono, dikutip dari Kompas.id pada Rabu (6/7/2022).
Dia meyakini, kebijakan itu akan berdampak kepada petani. Petani selama ini menyiasati kebutuhan pupuk dengan caranya masing-masing. Ada yang membeli pupuk nonsubsidi dari swasta, ada yang memakai pupuk organik.
Namun, dengan harga jual gabah yang seringkali rendah serta harga pupuk nonsubsidi yang mahal, ada juga petani tanaman pangan yang beralih ke hortikultura karena dinilai menguntungkan.
Siasat lain yang ditempuh petani yakni dengan mengurangi dosis pupuk hingga 25 persen.
”Misalkan kebutuhan pupuk yang seharusnya 1 kuintal, dikurangi 25 kilogram. Dilematis juga karena produksinya berkurang dari biasanya 8-10 ton per hektar, (musim) kemarin hanya dapat 7 ton. Akhirnya, kami gunakan pupuk organik cair yang ditawarkan swasta,” bebernya.
Baca Juga: 10 Negara Batasi Ekspor Pangan & Pupuk Akibat Perang Rusia-Ukraina
Sebelumnya, jenis pupuk yang disubsidi mencakup urea, NPK, SP-36, ZA, dan pupuk organik. Sementara komoditas yang berhak mendapatkannya mencapai lebih dari 70 jenis.
Namun, pemerintah bakal mengurangi pupuk bersubsidi menjadi hanya dua jenis, yakni urea dan NPK, serta menyederhanakan jenis komoditas yang berhak mendapatkannya. Pembatasan pupuk bersubsidi itu merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Pupuk Komisi IV DPR.
Kementerian Pertanian dalam rapat dengar pendapat pada Februari 2022 menyatakan menerapkan pembatasan itu mulai Juli 2022.
Bangun industri pupuk mandiri
Adapun, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, input, termasuk pupuk, semestinya menjadi perhatian pemerintah. Akibat perang Ukraina dan Rusia, misalnya, pasokan pupuk dan bahan baku pupuk global terhambat.
”Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun skenario jangka pendek, yakni dengan mencari sumber alternatif pemasok lain. Jangka menengah panjang, seharusnya kita mampu membangun industri secara mandiri (tak impor),” ujarnya.
Selain pupuk kimia, upaya mengembangkan pupuk organik juga belum optimal. Menurutnya, pupuk organik bisa dikembangkan dengan basis regional. Satu provinsi, misalnya, terdata kebutuhannya berapa, kemudian dikelola oleh badan usaha milik daerah. Dengan demikian, ekonomi sirkular bisa tumbuh.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas.id