Dasar Hukum Revisi UMP Gubernur Anies Baswedan Dipertanyakan
Kebijakan | 22 Desember 2021, 10:32 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dari 0,8 persen menjadi 5,1 persen. Hal itu dilakukan, setelah Anies menemui para buruh yang berunjuk rasa memprotes kenaikan UMP 0,8 persen, pada 29 November 2021 lalu.
Anies kemudian menyurati Kementerian Ketenagakerjaan, yang intinya meminta Kemenaker kembali mengkaji kenaikan UMP dengan mempertimbangkan tingkat inflasi dan kenaikan rata-rata UMP per tahun.
"Kenaikan yang hanya sebesar Rp38.000 ini dirasa amat jauh dari layak dan tidak memenuhi asas keadilan, mengingat peningkatan kebutuhan hidup pekerja/buruh terlihat dari inflasi di DKI Jakarta yaitu sebesar 1,14 persen," kata Anies dalam surat tersebut, dikutip Selasa (22/12/2021).
Menurut Anies, tidak semua sektor usaha terdampak pandemi. Ada sejumlah sektor usaha yang tetap untung meski dilanda badai Covid-19.
Lantas mengapa sebelumnya Anies menetapkan UMP 0,8 persen?
Baca Juga: Anies Revisi UMP, Ketua Apindo: Pelanggaran Jadi Catatan, Apalagi Kalau Mau Nyapres
Pedomannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja. Aturan itu juga digunakan oleh pemerintah pusat dan semua pemerintah daerah dalam menentukan kenaikan UMP.
Berdasarkan aturan itu, penghitungan kenaikan UMP berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga jika dihitung berdasarkan formula tersebut UMP DKI Jakarta tahun 2022 sebesar Rp4.453.935, naik Rp 37.749 atau sekitar 0,8 persen saja dibandingkan 2021.
Setelah direvisi Anies, maka nilai UMP DKI 2022 naik Rp225.667 menjadi Rp4.641.854.
"Dengan kenaikan Rp 225.000 per bulan, maka para pekerja dapat menggunakannya sebagai tambahan keperluan sehari-hari," tutur Anies dalam keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu (18/12/2021).
"Kami menilai kenaikan 5,1 persen ini suatu kelayakan bagi pekerja dan tetap terjangkau bagi pengusaha," sambungnya.
Baca Juga: Apindo Imbau Perusahaan di Jakarta Tidak Terapkan Revisi UMP
Dalam siaran persnya, Anies menjelaskan beberapa pertimbangan dilakukannya revisi. Yaitu, kajian Bank Indonesia yang menunjukkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 4,7 persen sampai 5,5 persen, sehingga inflasi akan terkendali pada posisi 3 persen (2-4 persen).
Kemudian, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 sebesar 4,3 persen.
Lalu apa dasar hukum yang digunakan Anis untuk merevisi kenaikan UMP? Sampai saat ini, belum ada penjelasan dari pihak Pemprov DKI.
Bahkan pihak Kemnaker menyatakan, keputusan Anies telah bertentangan dengan formula baru dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut adalah satu-satunya payung hukum yang berlaku untuk merumuskan kenaikan UMP.
Baca Juga: Diganti Pertalite, yang Pakai Premium Cuma 7 Negara
"Kemenaker sangat menyayangkan sikap tersebut yang menaikkan UMP tidak sesuai aturan yang berlaku. Karena menurut hemat saya, selayaknya amanat undang-undang yang telah resmi menjadi acuan di negara kita, menjadi bagian yang harus ditegakkan dan dilaksanakan sesuai aturannya," jelas Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap, dikutip dari Kompas.com, Rabu (22/12/2021).
Chairul mengatakan, Kemenaker akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menindaklanjuti keputusan kepala daerah yang menetapkan UMP tidak sesuai aturan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik, mengaku belum bisa menyebut ada atau tidaknya pelanggaran dalam revisi kenaikan UMP DKI 2022.
Butuh pendalaman terlebih dulu untuk Kemendagri menentukan apakah langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu termasuk kategori pelanggaran.
Baca Juga: Biaya Transfer Antar Bank Rp2.500 Resmi Berlaku, Ini Daftarnya
“Kami tidak bisa katakan itu (ada pelanggaran) dulu. Nanti, pastinya teman-teman dari Ditjen Bangda (Direktorat Jenderal Bina Pengembangan Daerah) akan mencoba mempelajari itu dulu ya,” ungkap Akmal dikutip dari Kompas.com.
“Kita sedang pelajari. Dinamika itu kebetulan ada di Ditjen Bangda. Nanti kami akan coba komunikasikan dengan dirjen terkait,” lanjutnya.
Akmal juga mengaku belum menerima usul dari Kemenaker terkait rencana pemberian sanksi kepada Anies.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, juga menyebut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melanggar aturan. Pasalnya, Anies merevisi kenaikan UMP Jakarta yang sebesar 0,8 persen menjadi 5,1 persen tanpa landasan hukum.
Baca Juga: Ini Daftar Vaksin yang Jadi Vaksin Booster Tahun Depan
Padahal, tanggal 21 November 2021 Surat Keputusan (Gubernur) terkait kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar 0,8 persen sudah diterbitkan. Ditambah lagi, PP No 36 Tahun 2021 yang digunakan sebagai dasar penghitungan UMP, tidak mengenal perubahan.
"PP No 36 Tahun 2021 itu tidak mengenal perubahan. Kalau sudah diputuskan ya jalan," ucap Hariyadi dalam konferensi pers virtual, Senin (20/12/2021).
"Ini strong message ya dari kita. Bahwa pemerintah DKI jakarta melanggar aturan. Kalau ada pelanggaran itu nanti akan jadi catatan, apalagi kalau mau nyapres," tegasnya.
Saat ini, Apindo dan Kadin Jakarta tengah menunggu Peraturan Gubernur terkait revisi UMP. Jika Pergubnya keluar, mereka akan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto
Sumber :