> >

Eksplorasi Migas Natuna, Guru Besar Undip: Protes China Tak Perlu Dilayani, Tak Ada Dasar Hukumnya

Ekonomi dan bisnis | 7 Desember 2021, 18:33 WIB

Ilustrasi - Indonesia tidak perlu menanggapi protes China atas pengeboran sumur eksplorasi di Laut Natuna Utara. (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro (Undip) Eddy Pratomo menyatakan, Indonesia tidak perlu menanggapi protes China atas pengeboran sumur eksplorasi di Laut Natuna Utara.

Lokasi pengeboran terletak di landas kontinen. Pada 2003, Indonesia-Vietnam sudah menyepakati perbatasan itu.

”Kesepakatannya sudah diratifikasi DPR. Dasar tindakan Indonesia sangat kuat, baik menurut hukum nasional maupun internasional,” ujarnya di sela-sela jumpa media yang digelar Kementerian Luar Negeri RI, Senin (6/12/2021), dilansir dari Kompas.id.

Sebelumnya, pada akhir November 2021, Beijing diketahui mengirimkan nota protes atas pengeboran eksplorasi di Blok Tuna.

Protes terungkap setelah pengeboran selesai pada 19 November lalu.

Pengeboran untuk mengetahui cadangan minyak dan gas di lokasi tersebut berlangsung pada Juni-November 2021.

Menurut Eddy yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, tidak ada dasar protes China pada pengeboran itu.

Dari sisi hukum internasional dan kondisi faktual, dasar protes China amat lemah.

Mengingat pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional telah menetapkan tidak ada fitur-fitur yang bisa dijadikan dasar klaim perairan.

Mahkamah menetapkan di lokasi tersebut hanya ada karang-karang yang tidak bisa dijadikan dasar klaim.

Baca Juga: China Klaim Natuna Utara Miliknya, Minta Indonesia Hentikan Pengeboran Migas

”Kalaupun ada karang yang bisa dijadikan dasar klaim, letaknya lebih dari 370 mil laut dari Natuna. Tidak bisa juga mengklaim sampai ke Natuna,” ujar mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI itu.

Hukum internasional juga tidak mengenal istilah sembilan garis putus-putus yang dipakai China mengklaim sebagian Laut China Selatan.

”Jadi, protes China tidak perlu dilayani. Tidak ada dasar hukumnya,” katanya.

Selain itu, Eddy melihat, China pun menyadari dasar protesnya lemah. Hal itu dibuktikan dengan pengerahan kapal survei untuk berlayar ke dekat lokasi pengeboran.

”Kalau mereka yakin, pasti mengirim kapal penjaga pantai yang memang penegak hukum,” ujarnya.

Manuver Indonesia pada masalah tersebut dipandang sudah tepat. Indonesia mengerahkan kapal perang dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk berjaga di sekitar lokasi pengeboran.

Kehadiran kapal-kapal perang itu menunjukkan Indonesia punya dasar kuat atas klaimnya.

”Biar saja kapal mereka berlayar, freedom of navigation. Kapal perang negara lain juga bebas berlayar dalam prinsip itu, safe passage,” katanya.

Indonesia pun diketahui mengirim nota balasan atas protes itu. Nota balasan Indonesia merupakan kelaziman dalam diplomasi.

”Posisi Indonesia dari dulu sudah jelas, tidak ada sengketa wilayah dengan China dan tidak perlu ada pembicaraan apa pun soal itu,” ujarnya.

Sejumlah diplomat senior menyebut, China bisa disebut kalah jika terkait pengeboran di Blok Tuna. Sebab, penyelesaian pengeboran adalah kemenangan diplomatik Indonesia.

Berbeda dengan negara lain yang tidak bisa menyelesaikan pengeboran karena ada intervensi dari negara lain.

Baca Juga: Gangguan Kapal Survei China di Perairan Natuna Usik Hak Berdaulat Indonesia

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas.id


TERBARU