Erick Thohir: Biaya Logistik Indonesia Lebih Mahal Dibanding Singapura, India, dan Malaysia
Ekonomi dan bisnis | 23 November 2021, 16:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan biaya logistik Indonesia masih mahal.
Bahkan biayanya lebih tinggi daripada negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
"Biaya logistik kita masih mahal 23 persen dari GDP, masih tinggi tentu dibandingkan dengan negara lain. Singapura 8 persen, India 13 persen, Malaysia 13 persen, kenapa kita tidak bisa," kata Erick Thohir dalam acara Kompas Talk, Selasa (23/11/2021).
Kendati demikian, Erick optimistis bahwa efisiensi biaya logistik ini akan lebih murah usai penggabungan empat Pelindo menjadi satu, yakni PT Pelabuhan Indonesia (Persero).
"Tentu penggabungan Pelindo dapat meningkatkan efisiensi biaya logistik ini. Penyatuan Pelindo dilakukan agar efektifitas tol laut dapat berjalan sesuai rencana. Sekaligus menanggulangi persoalan logistik dan biaya logistik yang tinggi," jelas Erick.
Lebih lanjut, Erick menerangkan bahwa tingginya biaya logistik juga dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya soal regulasi pemerintah yang tidak kondusif.
Baca Juga: Soal Erick Thohir Minta Toilet SPBU Pertamina Gratis, Pengamat: Kebijakan Tepat
Kedua, efisiensi value chain (rantai bisnis) darat yang rendah.
Hal ini tercermin dari kurangnya akses layanan jalan, kereta, dan transportasi penunjang seperti truk.
Ketiga, efisiensi value chain (rantai bisnis) maritim yang belum optimal. Misalnya, pelayaran yang terfragmentasi dan besarnya penggunaan kapal kecil.
"Keempat, operasional infrastruktur pelabuhan tidak optimal. Dan kelima, supply-demand yang tidak seimbang," imbuhnya.
Maka dari itu, Kementerian BUMN telah menginisiasi pembentukan Pelindo Indonesia (Pelindo Group) untuk memudahkan koordinasi pengelola pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian, meningkatkan produktivitas dan efisiensi melalui standarisasi proses bisnis dan layanan secara profesional.
"Sehingga, akan berdampak terhadap penurunan biaya logistik secara bertahap," tutupnya.
Erick juga menerangkan bahwa saat ini, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan di industri logistik, terutama dalam menghadapi persaingan global.
Tantangan tersebut meliputi, kerentanan rantai pasok global, kebijakan perdagangan global, hingga global shock.
Adapun kerentanan rantai pasok global, meliputi kekurangan container, keterlambatan pengiriman, supply and demand gap.
Lalu, kebijakan perdagangan global, terdiri dari tekanan perdagangan akibat penerapan sejumlah kebijakan, proteksionisme, perang dagang/harga, dan peningkatan pajak
Sementara global shock terkait dengan pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19 berimbas pada penurunan demand sejumlah komoditas, seperti bahan baku industri, produk jadi industri (otomotif dan elektronik), barang impor dan ekspor, hingga pertambangan.
Oleh karena itu, melalui penggabungan empat perusahaan menjadi satu serta sebagaimana nawa cita Presiden Joko Widodo mempercepat konektivitas laut.
Maka, arus produksi dan distribusi dari ujung barat ke ujung timur Indonesia dapat dimaksimalkan melalui jalur laut.
Baca Juga: Rugikan Negara Rp28 M, Eks Dirut Pelindo II Dituntut 6 Tahun Penjara dan Denda Rp500 Juta
"Tentu sebagai sepertiga kekuatan ekonomi Indonesia, BUMN siap memikul amanah tersebut, demi mencapai merdeka berdaulat, salah satunya menjaga konektivitas dari Sabang sampai Merauke," imbuh Erick.
"Ini dilakukan guna memastikan ekonomi Indonesia dan memastikan keseimbangan pembangunan yang merata antara wilayah barat timur melalui laut bisa terlaksana," pungkasnya.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV