> >

Ini Penjelasan Luhut dan Bos Indika soal Bisnis PCR PT GSI

Ekonomi dan bisnis | 9 November 2021, 09:55 WIB
Ilustrasi tes polymerase chain reaction (PCR). (Sumber: Kompastv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Aturan terkait syarat perjalanan menggunakan pesawat yang berubah-ubah, membuat dugaan keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR mencuat. Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjadi salah satu pejabat yang disebut terlibat bisnis tersebut.

Mengutip dari Kompas.com, Selasa (9/11/2021), Luhut memang memiliki saham di PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), salah satu perusahaan yang menyediakan alat tea PCR di Indonesia. Kepemilikan Luhut di GSI adalah secara tak langsung, yaitu melalui 2 perusahaan tambang yang terafiliasi dengannya.  Yaitu PT Toba Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT Toba Bumi Energi.

Sebenarnya, bukan hanya Luhut yang memiliki saham di GSI. Perusahaan yang berdiri di awal pandemi 2020 itu juga dimiliki oleh Garibaldi Thohir, yang merupakan kakak Menteri BUMN Erick Thohir. Ada juga Bos Indika Energy yang juga Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid.

Tingginya permintaan dan dukungan modal yang besar, membuat GSI mampu melakukan tes PCR sebanyak 5.000 tes per hari. 

GSI juga memiliki fasilitas laboratorium yang modern, yang  berstandar Biosafety Level (BSL) 2+, serta memiliki sejumlah cabang di Jabodetabek. Laboratorium GSI juga mampu memberikan hasil tes PCR dalam waktu cepat.

Baca Juga: Inisiator PT GSI Ungkap Awal Mula Pendirian Bisnis Tes PCR

Tarif tes PCR di PT GSI saat ini sebesar Rp 275.000, sesuai dengan evaluasi dari Kementerian Kesehatan. Sementara untuk tes swab antigen dipatok Rp95.000.

Setelah bisnis PCR PT GSI ramai dibahas, Arsjad Rasjid pun memberikan klarifikasi. Ia mengaku dirinya lah yang mengusulkan pendirian PT GSI. Ia menyatakan, GSI dibentuk sebagai wujud kepedulian pengusaha untuk membantu memberikan layanan tes PCR yang cepat.

Lantaran saat awal pandemi, jumlah perusahaan yang menyediakan tes PCR masih sangat sedikit. GSI pun didirikan dalam bentuk perseroan terbatas atau PT karena alasan keberlangsungan dalam jangka panjang. Sehingga GSI tidak dibentuk dalam format yayasan.

"Waktu itu saya diskusi sama Pak Doni (Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo). Salah satu yang jadi masalah di Indonesia saat itu adalah testing PCR. Kita dulu masih sedikit sekali. Pada saat itu hanya 10.000 untuk seluruh Indonesia," kata Arsjad seperti dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga: Harga Tes PCR Pernah Mahal, Siapa yang Untung?

Menurutnya, GSI bisa menjadi contoh bahwa mendirikan PT bukan semata mengejar keuntungan, tapi juga mempunyai misi sosial. Kewirausahaan sosial yang diusung GSI itu sudah banyak diterapkan di negara lain.

"Saya bilang kalau boleh, kita PT saja ya. Tapi kita buat karakteristiknya PT sosial supaya kita bisa berikan percontohan juga nanti untuk entitas sosial," ujar Arsjad.

"Karena untuk sustainability. Nah, actually saya pushing buat kewirausahaan khususnya kewirausahaan sosial. Seperti yang ada di AS, UK, Singapura. Jadi social enterprise," tambahnya 

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas.com


TERBARU