Faisal Basri Minta Jokowi Ambil Kebijakan Pajak Ekspor Batu Bara Tanpa Luhut dan Airlangga
Ekonomi dan bisnis | 6 Oktober 2021, 12:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Universitas Indonesia Faisal Basri meminta pemerintah untuk tidak melibatkan dua penjabat menteri dalam pengambilan keputusan soal kenaikan harga komoditas energi.
Dua menteri tersebut, yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Faisal menjelaskan, apabila keputusan yang diambil melibatkan Luhut dan Airlangga yang terjadi ialah konflik kepentingan. Keduanya dikenal memiliki perusahaan tambang batu bara.
"Saya minta di sini, Pak Luhut jangan ambil keputusan karena Pak Luhut ada konflik kepentingan dan Airlangga Hartarto ada konflik kepentingan. Dicek pejabat-pejabat yang punya perusahaan tambang tidak boleh ikut mengambil keputusan," kata Faisal Basri dalam program "B-Talk Bussines Talk" Kompas TV, Selasa (5/10/2021) malam.
Oleh karena itu dalam persoalan ini, Faisal mendorong Presiden RI Joko Widodo yang harus mengambil kebijakan. Salah satunya bisa dengan mengeluarkan peraturan presiden (perpres).
Baca Juga: Airlangga dan Luhut Ada di Pandora Papers, Sekjen Golkar: Sumbernya Belum Jelas
"Jadi yang harus mengambil keputusan kali ini presiden dengan menteri esdm, lah, berunding. Tapi cek dulu apa dia [menteri esdm] punya tambang endak. Setau saya, endak. Tapi jangan Airlangga jangan Luhut," kata Faisal.
Salah satu yang perlu ada dalam kebijakan tersebut, yakni soal penerapan pajak ekspor progresif batu bara. Hal tersebut dilakukan guna berdampak positif terhadap rakyat. Kata dia, kalau bisa pajak progresif itu, harus lebih progresif dari sawit.
Terlebih, kata Faisal, soal bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di Indonesia dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Faisal juga menyebut bahwa kekayaan alam tersebut bukan milik segelintir orang atau perusahaan. Seperti, Haji Isam, Bakrie, Adaro, Luhut, dan Airlangga.
"Ingat lho sawit itu banyak petaninya, jutaan petani, batu bara enggak ada petaninya, kok takut bener sama Haji Isam," ujarnya.
Perlu diketahui, berdasarkan harga batu bara acuan (HBA) bulan Oktober 2021 menembus angka 161,63 dolar AS per ton akibat dipengaruhi permintaan yang terus meningkat di China.
Faisal berharap, pajak ekspor progresif itu akan dikenakan sebesar 20 persen. Apabila kembali naik, maka terus dinaikan.
"Rebut hak rakyat dengan mengenakan pajak ekspor setidaknya 20 persen, tapi kalau naik terus, naikan lagi progresif harus lebih progresif dari sawit," ucap dia.
Sebelumnya, Faisal juga menerangkan, baiknya pemerintah untuk menggunakan formulasi Crude Palm Oil (CPO). Apabila permintaan naik, maka ditetapkan pajak ekspor progresif dengan windfall profit yang lari ke rakyat.
"Pakai saja formulasi CPO, kalo CPO naik, ada pajak ekspor progresif. Nah gunakan itu agar 50 persen setidaknya windfall profit itu larinya ke rakyat," katanya.
Faisal berkali-kali menyarankan pemerintah untuk mengenakan pajak ekspor pada batu bara.
"Kenakan pajak ekspornya, kok takut bener batubara dikenakan pajak ekspor," tegasnya.
Kenaikan harga komoditas energi disebut telah terjadi berulang kali, oleh karena itu Faisal mendorong pemerintah untuk tidak lagi berpikir panjang untuk menetapkan pajak progresif ekspor batu bara.
Jika perlu, kata Faisal, besok keluarkan Peraturan Presiden (Perpres) khusus tentang pajak progresif ini.
"Inikan udah non vulnerable, udah merusak lingkungan, tambah lagi pajak lingkungan seharusnya kan. Itu yang harusnya segera dilakukan untuk ini, nggak usah pikir panjang. Besok keluarkan perpres, kenakan bea ekspor semakin tinggi, kenakan kalo perlu 20 persen 30 persen lebih progresif dari sawit," kata dia.
Sementara itu, kondisi kenaikan komoditas energi dapat berpotensi menghadapi ancaman serius kenaikan harga. Seperti, kenaikan harga BBM non subsidi, tarif listrik, hingga harga LPG.
Terkait hal ini, pemerintah diwakili oleh Basilio Dias Araujo, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) menyatakan, pihaknya akan lebih dulu melihat tren kenaikan yang terjadi.
Baca Juga: Faisal Basri: Bumi, Air dan Kekayaan di dalamnya Bukan untuk Kemakmuran Haji Isam, Bakrie atau Adaro
Terlebih pada 1-12 November akan dilaksanalan konferensi perubahan iklim dunia (COP26) yang akan berlangsung di Glasgow, Inggris.
"Saya melihatnya, kenaikan harga komoditas itu sebenarnya terjadi [adanya pengaruh] antara kelompok yang pro fosil dan pro lingkungan. Jangan-jangan kenaikan ini hanya sementara karena akan ada pertemuan besar," kata Basilio dalam acara yang sama.
Oleh karena itu, pemerintah baru akan mengambil kebijakan setelah konferensi iklim di Glasgow, Inggris, selesai.
"Jadi keputusan apapun dari pemerintah harus menunggu setelah konferensi Glasglow, Inggris," pungkas Basilio.
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV