> >

BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utang, Ini Tanggapan Kemenkeu

Ekonomi dan bisnis | 24 Juni 2021, 15:14 WIB
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Kementerian Keuangan mengapresiasi pemberian predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terhadap laporan keuangan pemerintah 2020. Terkait sorotan BPK atas melonjaknya utang pemerintah, Kemenkeu menyatakan utang semua negara di masa pandemi pasti meningkat.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman mengatakan, selama pandemi ini hampir seluruh negara menghadapi kenaikan utang karena mengambil kebijakan countercyclical. Menurut Luky, rasio utang semua negara melampaui batas aman IMF.

“Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu (batas aman IMF),” kata Luky saat dikonfirmasi Kompas TV, Kamis (24/06/2021).

Standar rasio utang terhadap penerimaan negara yang aman menurut IMF adalah 25-30 persen. Sedangkan Indonesia berada di level 46,77 persen untuk tahun lalu.

Baca Juga: Tanggapi Audit BLT UMKM Oleh BPK, KemenkopUKM: Verifikasi Terus Dilakukan

Luky pun menyebut Filipina yang memiliki rasio utang 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan dan Amerika Serikat masing-masing 48,4 persen dan 131,2 persen.

Ia menegaskan, pemerintah telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary, yang menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta upaya untuk menekan biaya utang.

Diantaranya dengan cara burden sharing dengan Bank Indonesia (BI), untuk membiayai penanganan pandemi, di mana BI ikut menanggung biaya bunga utang.

"Pemerintah juga mengkonversi pinjaman luar negeri, yang mengubah pinjaman dalam dollar AS dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen, dengan suku bunga tetap mendekati 0 persen. Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan,” jelas Luky.

Baca Juga: Audit BPK: Utang Pemerintah 2020 Melebihi Kebutuhan, Khawatir Tak Bisa Dibayar

Luky mengatakan, upaya pemerintah Indonesia dalam mengelola ekonomi dan utang selama pandemi, juga diapresiasi oleh lembaga pemeringkat utang internasional. Yaitu dengan mempertahankan peringkat Indonesia.

"Sementara sebagian besar atau 124 negara mengalami penurunan peringkat, bahkan di antaranya sudah ada meminta pengampunan utang melalui skema Paris Club, " tuturnya.

Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR Selasa, (22/06/2021), Ketua BPK Agung Firman Sampurna menyatakan utang pemerintah pada 2020 melebihi kebutuhan.

Ia menjelaskan, realisasi pendapatan negara dan hibah di 2020 sebesar Rp1.647,78 triliun. Kemudian realisasi belanja negara sebesar Rp2.595,48 triliun. Sehingga, defisit APBN mencapai Rp947,7 triliun.

Baca Juga: BPK Sebut 88 Persen Daerah Belum Mandiri Biayai APBD

Untuk menutupi defisit, pemerintah menarik utang sebesar Rp1.193,29 triliun. Jumlah itu setara 125,91 persen dari nilai defisitnya. Akibatnya, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun.

"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," kata Agung.

Ia menilai, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. BPK pun khawatir pemerintah tidak mampu membayar utang tersebut berserta bunganya.

"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," tutur Agung.

Baca Juga: Per Mei 2021, Pemerintah Sudah Tarik Utang Rp309,3 T untuk Biayai APBN

Berdasarkan audit BPK, utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, 25-35 persen. Sedangkan rasio debt service terhadap penerimaan APBN 2020 sebesar 46,77 persen.

Begitu juga rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan di 2020 yang sebesar 19,06 persen. Angka itu melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen.

Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU