Dulu Dianggap Limbah, Kini Air Kelapa Sulawesi Utara Mulai Diminati Pasar Asia Tenggara
Ekonomi dan bisnis | 18 Juni 2021, 08:49 WIBMANADO, KOMPAS.TV – Nilai ekspor air kelapa dari Sulawesi Utara meningkat. Setelah diekspor secara rutin ke Singapura, kini air kelapa dari Sulut bisa menembus pasar Vietnam. Padahal, sebelumnya komoditi tersebut selama ini dibuang karena dianggap limbah.
Adapun Kantor Karantina Pertanian Manado mengumumkan adanya peningkatan nilai ekspor air kelapa dari Sulut. Selama 2021, sebanyak 63.602 kilogram air kelapa bernilai Rp 1,97 miliar diekspor. Meningkat dari Rp 1,24 miliar selama periode yang sama tahun lalu.
Kemudian, sebanyak 22,5 ton air kelapa bernilai Rp 786,4 juta diekspor ke Vietnam oleh PT Sasa Inti Minahasa Selatan melalui Terminal Peti Kemas Bitung, Selasa (8/6/2021).
”Vietnam adalah pasar baru yang berhasil ditembus komoditas ini,” kata Kepala Kantor Karantina Pertanian Manado Donni Musydayan Saragih, dalam siaran pers, Kamis (17/6/2021).
Kepala Operasional Pabrik PT Sasa Inti Minahasa Selatan Ardhian Herdyanto mengatakan, permintaan air kelapa di pasar ekspor tergolong menjanjikan.
Pabrik yang ia kelola dapat menghasilkan 5 ton air kelapa setiap hari seiring dengan 30 ton santan dan 20 ton tepung kelapa. Kapasitas produksi setiap hari mencapai 180 ton buah kelapa.
Baca Juga: Ekspor Impor Mei 2021 Melambat
Air kelapa tergolong komoditas ekspor baru dari Sulut. Sebab, industri kelapa di Sulut selama ini membuang air kelapa yang dianggap limbah dari pembuatan kopra. Sementara ini, PT Sasa Inti Minahasa Selatan adalah satu-satunya produsen yang mengekspor air kelapa, pertama ke Singapura pada tahun 2020.
Anggota staf quality control PT Sasa Inti Minahasa Selatan, Rohmah, mengungkapkan, air kelapa dimanfaatkan untuk membuat aneka produk minuman. ”Tetapi, kami tidak tahu pembeli di Vietnam membuat produk minuman yang seperti apa,” ujarnya.
Donni pun mengapresiasi inisiatif PT Sasa Inti Minahasa Selatan. Menurut dia, petani kelapa di Sulut seharusnya semakin bersemangat menanam karena bagian dari kelapa yang tadinya dianggap limbah ternyata bisa menjadi komoditas sampingan selain kopra yang juga bernilai ekonomis.
Di samping itu, Donni juga mendorong petani dan pengusaha kelapa di Sulut untuk mengembangkan produk lain berorientasi ekspor, seperti sabut kelapa dan media tanam cocopeat.
”Kita harapkan volumenya bisa meningkat terus,” katanya.
Tantangan
Kendati begitu, pengembangan kelapa di daerah berjuluk ”Bumi Nyiur Melambai” ini bukan tanpa tantangan. Sulut adalah daerah dengan lahan perkebunan kelapa terluas kedua di Indonesia dengan total lahan 275.524 hektar. Namun, produktivitas kelapa di Sulut hanya berada di peringkat ketujuh nasional, yaitu 1.217 kg per hektar.
Terkait ini, Kepala Dinas Perkebunan Sulut Refly Ngantung menjanjikan dua program, yakni pengembangan perkebunan kelapa yang sudah ada dan meremajakan tanaman kelapa di Sulut dengan penyediaan bibit unggul.
Menurut Refly, komoditas perkebunan masih sangat penting bagi Sulut dengan sumbangan 21,7 persen produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi selama 2020. Pertumbuhan ekonomi Sulut yang masih positif, yaitu 1,6 persen, selama pandemi Covid-19 pun ditopang oleh sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Baca Juga: BUMN Akan Memperkuat Model Bisnis Ekspor Produk Perikanan
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV