> >

Pemerintah Ingin Capai Industri Berkelanjutan, Perusahaan: Insentif Saja Tak Cukup

Ekonomi dan bisnis | 11 Juni 2021, 12:47 WIB
Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). (Sumber: Kompas.id)

Sejalan dengan hal itu, menurut Vice President Energy Sintesa Group, Rosar Mamara, secara fundamental, investasi di sektor geotermal membutuhkan nilai investasi yang tinggi dengan risiko yang besar.

Sebab, berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, pengembang PLTP harus mengurusi sektor hulu untuk mencari bahan baku atau sumber panas bumi terlebih dahulu, serta mengembangkan sektor hilir untuk mengonversi bahan baku itu menjadi listrik.

Hal itu membuat nilai investasi yang ditanamkan serta risiko yang dihadapi lebih besar.

Pemerintah berusaha memberikan kompensasi atas risiko yang besar itu dengan memberi tarif listrik relatif tinggi. Namun, menurut Rosar, hal itu kurang tepat karena tarif listrik itu baru bisa dinikmati untuk jangka panjang ketika proyeknya sudah jadi.

Sementara risiko dan beban yang dihadapi lebih berat ketimbang mengembangkan pembangkit listrik dari energi fosil.

”Ke depan, kalau sudah berhasil menemukan sumber uap panas, harus langsung ada kalkulasi kompensasi secara cepat. Sampai hari ini, kompensasi kami hanya berupa tarif listrik. Padahal, itu baru bisa dinikmati 4-5 tahun setelah mulai mengebor. Bayangkan kalau selama itu tidak ada kompensasi, proyek geotermal menjadi terlalu mahal dan lama,” kata Rosar.

Baca Juga: Tiga Hal yang Ditegaskan Wamen ATR/BPN Terkait Perizinan Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU