G angguan Ginjal Akut: BPOM akan Proses Pidana Dua Perusahaan Farmasi
Bbc indonesia | 24 Oktober 2022, 22:34 WIBKepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan dua perusahaan farmasi akan diproses pidana terkait indikasi kandungan zat berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol dalam produknya.
Meski begitu, Penny tak menyebutkan nama dua industri farmasi tersebut “karena prosesnya masih berlangsung”.
Penny berjanji akan mengumumkan nama keduanya kepada masyarakat, terlebih “ada indikasi kandungan EG dan EDG di produknya tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan tetapi sangat-sangat tinggi”.
“Itu tentu saja sangat toksik dan diduga bisa mengakibatkan [gagal] ginjal akut,” kata Penny dalam konferensi pers di Istana Negara, Senin (24/10), bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Sebelumnya, Penny mengatakan selain lembaganya, industri farmasi juga “memegang tanggung jawab penuh untuk selalu menjamin keamanan, mutu, dan khasiat produk obat sebelum dan sesudah beredar”.
Ahli menyebut situasi ini menggambarkan “betapa lemahnya ketahanan kesehatan” di Indonesia.
Sehari sebelumnya pada Minggu (23/10/2022) sore, Penny mengatakan lembaganya sudah melakukan pengawasan terhadap produk obat yang beredar di masyarakat, termasuk obat sirup yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut pada anak.
Namun, dia mengakui, selama ini pengawasan terhadap kadar pencemar pada produk tidak menjadi ketentuan dalam standar pembuatan obat.
Kejadian meninggalnya setidaknya 133 anak yang diyakini akibat gangguan ginjal akut, kata Penny, akan membawa perubahan.
“Ini akan digunakan untuk memperkuat atau mengubah sistem pre dan post market yang ada. Ke depan kami akan memperbaiki dan lebih memperkuat pengawasan baik di pre-market maupun di post-market dengan ketentuan-ketentuan industri farmasi melakukan sendiri, menganalisa, memastikan quality control-nya lebih ditingkatkan.
"Dan kami akan mengawasi juga, pengawasan di post-market dari produk tersebut, tentunya dengan berbasiskan risiko,” ujar Penny.
B aca juga:
Pakar ketahanan kesehatan global, Dicky Budiman, mengatakan, dalam hal ini, penting untuk mengindentifikasi siapa-siapa saja pihak terkait dan siapa saja yang memegang peran utama karena pada dasarnya “tidak mungkin ada yang bekerja sendiri”.
Ketika ada masalah seperti saat ini, “pihak yang kecolongan” bisa diketahui.
“Adanya tunjuk-tunjuk adalah bukti begitu lemahnya ketahanan kesehatan kita karena pemetaan stakeholders-nya tidak terbangun dari awal. Sistem yang sudah dibangun tidak mendudukkan siapa, bertanggung jawab apa, melakukan apa. Ini kembali mengulang cerita pilu kita di pandemi dan terjadi ketidakjelasan di level nasional,” kata Dicky kepada BBC News Indonesia.
Pemerintah dari berbagai sektor mulai mengambil langkah terhadap kasus gangguan ginjal akut.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, juga telah meminta Kapolri Jendral Listyo Sigit untuk mengusut dugaan pidana dalam produksi obat sirup terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak-anak.
"Pengusutan ini penting untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana di balik kasus tersebut. Permintaan disampaikan mengingat kejadian gangguan ginjal kronis ini sudah mengancam upaya pembangunan SDM, khususnya perlindungan terhadap anak," ujar Menko PMK, dikutip dari situs resmi Kemenko PMK, Minggu (23/10).
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo dalam pesan singkatnya mengatakan, “Polri akan segera membentuk tim dan berkoordinasi dengan Kemenkes dan BPOM untuk bersama mendalami kejadian tersebut”.
BBC News Indonesia sudah menghubungi Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Ignatius Warsito, terkait langkah selanjutnya yang dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)—yang mengawasi industri— tapi dia tidak bersedia dikutip.
Kami juga sudah menghubungi Ketua Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi F. Tirto Kusnadi, tapi tidak mendapat jawaban.
Sebelumnya, hasil penelitian Kemenkes mengungkap ada jejak tiga zat kimia berbahaya di tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Zat itu antara lain ethylebe glycol (EG), diethylen glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Zat kimia itu diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut di Gambia, Afrika Tengah, yang diduga berasal dari obat sirup buatan India.
Oleh sebab itu, Kemenkes menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat sirup demi “menyelamatkan anak”.
BPOM akan memperketat verifikasi
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan dengan perbaikan dan penguatan pengawasan yang dilakukan lembaganya akan memberikan keyakinan bahwa “industri, di dalam pre-market-nya, akan taat terhadap aturan yang ada”.
“Misalnya apabila ada perubahan bahan baku, atau kandungannya seperti apa apabila membeli dari sumber lain, mereka harus meyakinkan juga, tidak hanya berdasarkan pada certified of analysis yang dibuat oleh penjualnya, tapi mereka harus melakukan pengujian sendiri dari produk tersebut, meyakinkan, dan baru mendaftarkan atau melaporkan kepada Badan POM,” kata Penny.
Dia melanjutkan, “itu adalah ketentuan yang ada di dalam industri farmasi dan pengawasan obat secara internasional”.
Hasil “uji mandiri” itu, lanjut Penny, nantinya akan diverifikasi lagi oleh BPOM, bukan berarti “diserahkan begitu saja”.
B aca juga:
- Gangguan ginjal akut, kasus naik sampai 241 dan angka kematian mencapai 133 anak
- Gangguan ginjal akut misterius: Apa yang perlu Anda ketahui tentang obat yang diduga sebabkan kematian puluhan anak di Gambia
Selain pengawasan saat pendaftaran dan pengajuan dokumen sebelum produk masuk ke pasar, Penny mengatakan BPOM juga akan melakukan analisa dan pengujian berbasiskan risiko dengan pengujian acak.
Dengan cara itu, menurut Penny, jika perusahaan melakukan kecurangan, risikonya besar, dan kecurangan itu bisa diketahui BPOM.
“Dalam hal ini kami akan lebih memperketat lagi untuk melakukan verifikasi juga terhadap data-data yang diberikan oleh industri, mengingat bahwa di Indonesia ini perbedaan kapasitas industri dengan quality control yang baik, tentunya bervariasi. Itu yang jadi pertimbangan kami,” ujar Penny.
Mencari akar masalah
Pada Jumat (21/10), Menko PMK Muhadjir Effendy juga sudah melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BPOM secara visual.
Muhadjir menilai perlu diadakan pelacakan, “mulai dari asal muasal bahan baku, masuknya ke Indonesia hingga proses produksi obat-obat yang mengandung kedua zat berbahaya”.
Muhadjir meminta Kementerian Perindustrian untuk melakukan verifikasi ulang bahan-bahan obat yang diproduksi di Indonesia, yang sebagian besar berasal dan luar negeri.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan diminta memeriksa bahan baku dan bahan dasar obat yang diimpor masuk ke Indonesia.
Melalui siaran persnya Kemenperin menyatakan telah melakukan koordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman.
Pihak industri menyatakan tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi, sehingga terdeteksinya EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain.
“Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evalusi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkasiat, dan bermutu,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Jumat (21/10).
‘Gampang negara dibikin guncang’
Peneliti ketahanan kesehatan global dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai sejak pandemi ketahanan kesehatan di Indonesia “jalan di tempat”. Tidak ada perubahan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
“Gampang nih suatu negara dibikin guncang, goyah, kalau ketahanan kesehatannya lemah, dalam kemampuan mendeteksinya lemah, tahu-tahu sudah merebak besar di masyarakat,” kata Dicky.
Menurut dia, mengingat Indonesia masih ketergantungan dengan impor bahan baku obat, perlu dibangun sistem yang benar-benar mengatur peran semua pihak yang terlibat, yang memiliki “legal formal” atau berkekuatan hukum.
Tidak hanya peran, manajemen risikonya juga perlu disepakati sejak awal, sampai ke kasus-kasus darurat seperti saat bencana maupun pandemi.
“Nanti siapa yang key stakeholders-nya yang ambil keputusan, ‘ketika tahap ini boleh lanjut’. Itu harus ada. Kemudian maju lagi ke tahap produksi, walaupun peran utamanya ada di perusahaan, tapi itu kan dia tidak berdiri sendiri, mungkin saja ada pihak lain yang menunjang lahirnya suatu obat, itu juga harus jelas,” ujar Dicky.
Dengan adanya sistem itu, ketika ada kejadian luar biasa, kemudian dilakukan evaluasi, akan terlihat di mana “kecolongannya”.
Mengapa baru sekarang?
Banyak masyarakat yang bertanya: mengapa gangguan ginjal akut baru terjadi sekarang, padahal beberapa obat yang diduga menjadi pemicunya sudah ada sejak lama?
Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, Profesor Bimo Ario Tejo, mengatakan “pandemi menjadi sebab tragedi ini”.
Prof Bimo mengatakan selain di Gambia, Haiti, Panama, dan beberapa negara lainnya juga mengalami kasus keracunan obat.
Penyebabnya kemungkinan adalah penggunaan bahan baku obat yang tidak memenuhi standar—atau yang dia sebut “bahan baku sub-standar”— untuk menekan biaya produksi karena bahan baku yang sesuai standar harganya mahal atau langka.
“Untuk kali ini, kelangkaan propilen glikol dan gliserin yang diikuti kenaikan harga di pasar Asia Pasifik, paling ketara terjadi pada kuartal dua tahun 2021 karena lonjakan permintaan dari sektor farmasi akibat gelombang Covid varian delta yang dimulai dari India dan menyebar ke seluruh benua Asia,” kata Prof Bimo kepada BBC News Indonesia.
Lonjakan dari sektor farmasi itu bukan hanya untuk produksi obat, melainkan juga untuk produksi hand sanitizer yang juga meningkat.
Di sisi lain, sejak 2020, juga terjadi kelangkaan bahan baku pembuatan propilen glikol dan gliserin akibat lockdown di seluruh dunia.
Alhasil, kelangkaan bahan baku dan tingginya permintaan memicu kenaikan harga bahan baku.
Isu global, tapi ‘sulit menentukan standar’
Ketika pengawasan di negara pemasok bahan baku, seperti India dan China, longgar, imbasnya akan terasa di negara-negara tujuan ekspor mereka, seperti Gambia dan kemungkinan besar Indonesia. Namun, seberapa besar dampaknya, itu ditentukan oleh pengawasan masing-masing negara.
Di Amerika Serikat (AS), yang juga memasok bahan baku dari China dan India, mungkin dampak yang dirasakan minim karena Food and Drugs Administration (FDA) “memiliki mekanisme pengawasan yang paling ketat”.
“Mereka secara teratur menginspeksi pabrik-pabrik di India yang mengekspor bahan baku obat ke Amerika. Hanya pabrik yang telah lolos inspeksi US FDA yang boleh mengekspor ke Amerika. Jadi mereka melakukan monitoring dari hulu ke hilir,” ujar Prof Bimo.
Peraturan keamanan obat yang ketat di AS, dikatakan Prof Bimo, dipicu oleh kematian 107 orang akibat obat yang mengandung dietilen glikol pada 1937, “mirip kasus di Indonesia”.
Dia menegaskan kuncinya memang ada di pengawasan dari hulu sampai ke hilir. “Kalau cuma di Indonesia saja diperketat, tapi sumber bahan baku di China dan India nggak diawasi ya bisa kecolongan juga nanti.”
Kendati ini masalah global, Prof Bimo mengatakan sulit untuk membuat kebijakan secara global dalam hal pengawasan obat karena standar setiap negara berbeda-beda.
GN Singh, direktur BPOM India pada tahun 2014 mengakui: “Kalau kami harus mengikuti standar FDA, saya harus menutup sebagian besar pabrik obat disini”.
“Inilah kenapa BPOM dan pabrik-pabrik obat harus memperketat pengawasan terhadap bahan baku obat yang kita datangkan dari luar. Selalu cek ulang kualitasnya, apalagi yang harganya murah,” kata Prof Bimo.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC