Suku Bunga AS Sentuh Titik Tertinggi selama Hampir 30 Tahun, Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Bbc indonesia | 18 Juni 2022, 09:49 WIBKenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi akan memberikan dampak berat bagi ekonomi Indonesia, salah satunya, membuat rupiah terus melemah.
Bank sentral AS (Federal Reserve) mengumumkan kenaikan suku bunga sebesar 0,75% menjadi 1,75% pada Rabu (15/06), demi menekan harga barang yang terus melonjak.
Itu adalah kenaikan suku bunga acuan tertinggi yang dilakukan bank sentral AS - yang dikenal dengan The Fed - selama 30 tahun terakhir.
Suku bunga bank yang lebih tinggi, telah memicu peningkatan permintaan dolar dan membuat nilai tukar dolar AS menguat 10% sejak awal tahun. Imbasnya, nilai mata uang lain melemah, termasuk rupiah.
Merujuk data Bloomberg, rupiah melemah 0,31% menjadi Rp 14.745 per dolar AS pada perdagangan Rabu (15/6).
Meski menguat pada Kamis (16/06) pagi, nilai tukar rupiah diprediksi akan bergerak melemah terhadap dolar AS karena efek dari kebijakan The Fed yang mengerek suku bunga sebesar 75 basis poin.
Baca juga:
- Inflasi Turki capai tingkat tertinggi dalam 19 tahun, Erdogan tetap tidak naikkan suku bunga
- Imbas konflik Rusia-Ukraina bagi Indonesia - Harga mi instan hingga bunga kredit bisa naik
- Biaya hidup melejit, Jepang dikejutkan harga makanan ringan yang melonjak 20%
Ini adalah kali ketiga bank sentral AS menaikkan suku bunganya sejak Maret, setelah inflasi di AS yang melonjak drastis bulan lalu.
Kenaikan suku bunga diperkirakan akan terus terjadi, yang nantinya akan memicu ketidakpastian ekonomi global.
Gubernur bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) Perry Warjiyo menyebut kenaikan suku bunga The Fed adalah "risiko yang terus dimonitor dan antisipasi".
"Semoga tidak ada suatu surprises (kejutan) di global maupun domestik sehingga pemulihan ekonomi secara domestik terus berlanjut, stabilitas ekonomi dan keuangan terus terjaga, inflasi terus terjaga, nilai tukar [rupiah] terjaga," jelas Perry dalam seminar bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/06).
Perry memperkirakan suku bunga The Fed akan naik menjadi 2,75% tahun ini, dan meningkat kembali tahun depan menjadi 3,25%.
Implikasi dari kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral negara-negara lain akan menempuh langkah serupa yang akan menandai perubahan besar dalam ekonomi global.
Bisnis dan rumah tangga yang telah menikmati bunga pinjaman yang rendah selama bertahun-tahun, akan terpukul oleh kebijakan ini.
"Sebagian besar bank sentral negara maju dan beberapa bank sentral negara berkembang memperketat kebijakan secara sinkron," kata Gregory Daco, kepala ekonom di perusahaan konsultan strategi EY-Parthenon.
Adapun, PBB dan World Bank memperkirakan inflasi global yang terjadi saat ini akan menambah sekitar 75 juta - 95 juta penduduk miskin pada 2022, lebih buruk ketimbang perkiraan mereka sebelum pandemi.
'Kejutan' inflasi
Di Inggris, di mana harga konsumen melonjak 9% pada bulan April, bank sentral Inggris diperkirakan akan mengumumkan kenaikan suku bunga kelima sejak Desember pada hari Kamis (17/06).
Diperkirakan, suku bunga acuan bank sentral Inggris akan berada di atas 1% untuk pertama kalinya sejak 2009.
Brasil, Kanada dan Australia juga telah menaikkan suku bunga, sementara bank sentral Eropa telah menguraikan rencana untuk melakukan langkah serupa akhir musim panas ini.
Sementara suku bunga Amerika Serikat, yang telah dipangkas pada 2020 lalu demi menyokong ekonomi selama pandemi, telah dinaikkan sebanyak dua kali tahun ini, sebanyak 0,25% masing-masing pada bulan Maret dan Mei.
Gubernur The Fed, Jerome Powell menyebut kenaikan sebesar 0,75% adalah "luar biasa besar", seraya mengatakan pihaknya melakukan langkah itu guna meredam inflasi dan menstabilkan harga.
"Sangat penting bahwa kita menurunkan inflasi," katanya
"Kenaikan inflasi selama setahun terakhir jelas mengejutkan dan kejutan lebih lanjut bisa terjadi," katanya.
"Karena itu, kami harus gesit."
Mengejar ketertinggalan
Kenaikan harga barang di AS telah terjadi sejak tahun lalu. Namun saat itu, Powell mengeklaim itu disebabkan oleh masalah rantai pasokan.
Akan tetapi, inflasi terus meningkat tajam sejak saat itu, disebabkan oleh perang di Ukraina dan lockdown di China akibat pelonjakan kasus Covid.
Survei terbaru menunjukkan publik memperkirakan inflasi akan terus memburuk, meskipun The Fed telah meresponsnya dengan menaikkan suku bunga.
"The Fed menghadapi tes kredibilitas inflasi," kata ekonom David Backworth, peneliti senior dari Mercatus Center di Universitas Goerge Mason.
Ekspektasi inflasi
Warga AS, Ignacio Lopez, sangat ingin melihat inflasi terkendali.
Selama 18 bulan terakhir, koki yang berbasis di Boston itu terdampak kenaikan harga makanan saat dia membeli makanan untuk restorannya.
Harga barang-barang dengan rantai pasokan yang rumit, seperti barang kemasan dan keju impor, sangat tertekan, katanya.
"Ini gila dan tidak berhenti," katanya.
"Setiap minggu semuanya naik."
Para pelaku usaha telah menaikkan harga produk mereka demi mengimbangi biaya, namun Lopez berkata dia tidak bisa menaikkan harga makanannya terlalu tinggi karena khawatir kehilangan pelanggan.
Dia khawatir kenaikan suku bunga tidak akan membantu, sebab permintaan konsumen tetap lemah karena Covid, yang membatasi pertemuan setelah bekerja yang biasanya mendorong roda bisnisnya.
"Kami hanya akan terus mengelolanya seketat mungkin, berusaha untuk tidak menaikkan harga di luar pasar kami dan berharap semuanya tenang," katanya.
Terakhir kali The Fed menaikkan suku bunga setinggi ini adalah hampir tiga puluh tahun lalu, pada 1994.
Karena lambat bertindak, dan kini bergerak lebih agresif untuk mengejar ketertinggalan, pembuat kebijakan di AS menghadapi potensi bahwa langkah mereka justru menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi, menurut Daco.
"Saya tidak akan terkejut bahwa sekitar pergantian tahun kita menghadapi pertumbuhan [ekonomi] terhenti dan kita cukup dekat dengan resesi, dengan tingkat pengangguran meningkat dan tidak lagi menurun."
Dengan membuat kredit kian mahal, kenaikan suku bunga ini akan memperlambat aktivitas ekonomi, membuat permintaan lesu - dan secara teori, mengurangi tekanan harga.
Proyeksi yang dirilis oleh The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi sekitar 1,7% tahun ini, lebih rendah dari perkiraan mereka sebelumnya pada Maret.
Tingkat pengangguran yang saat ini sebesar 3,6%, diperkirakan akan meningkat menjadi 3,7% dan mencapai 4,1% pada tahun 2024.
Dampak pada ekonomi global
Dengan kenaikan suku bunga terbaru, suku bunga pinjaman yang dikenakan bank akan kembali ke posisi semula pada 2019, atau relatif rendah menurut data historis.
Namun kenaikan suku bunga selama beberapa bulan terakhir, telah terasa dampaknya.
Suku bunga yang lebih tinggi telah membantu meningkatkan permintaan terhadap dolar. Imbasnya, nilai tukar dolar AS naik 10% sejak awal tahun, sedangkan nilai tukar mata uang lain melemah.
Penjualan rumah juga melambat drastis karena suku bunga hipotek mengikuti suku bunga Fed yang lebih tinggi.
Pengumuman kenaikan suku bunga pada Rabu, juga menunjukkan penjualan ritel turun bulan lalu, karena kenaikan harga bensin telah membuat warga AS mengucurkan lebih banyak uang untuk membeli bahan bakar.
Di AS, bensin kini dibanderol dengan harga US$5, atau setara Rp73.000, per galon (setara 3,7 liter).
Para ekonom sempat memperkirakan bahwa Maret 2022 akan menjadi puncak lonjakan harga konsumen. Namun, data pada Mei 2022 malah memperlihatkan lonjakan lagi, dengan kenaikan sampai 8,6 persen dalam 12 bulan terakhir.
Powell berkata, pengendalian kenaikan harga sangat penting untuk stabilitas ekonomi dan akan dibutuhkan waktu untuk memulihkan harga.
"Pada akhirnya, prospeknya sangat tidak pasti," kata Beckworth.
Apa dampaknya bagi Indonesia?
Diakui oleh pendiri dan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini, kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi telah berdampak pada inflasi di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Dia berkata inflasi akan menggerus daya beli masyarakat, sedangkan bagi investor, inflasi akan meningkatkan suku bunga sehingga investasi dan kegiatan bisnis akan terhambat.
Sementara ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia.
"Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika, outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang," ujar Dradjad seperti dikutip dari Kompas.com.
Baca juga:
- Indonesia masuk resesi, pemerintah disarankan fokus 'menangani pandemi' demi perbaikan ekonomi
- Dampak virus corona bagi Indonesia, sepi turis hingga berpotensi gerus nilai ekspor
- Krisis ekonomi Turki dorong kaum muda hijrah ke luar negeri
Respons kebijakan moneter untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya akan memukul investasi, khususnya foreign direct investment (FDI) ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan aset yang aman seperti USD.
Peningkatan suku bunga, juga berarti kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar.
Sementara itu peningkatan inflasi membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran yang negatif.
Namun, Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, menegaskan Indonesia memiliki "koordinasi fiskal dan moneter yang kuat" untuk merespons kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi.
Dari sisi fiskal, kata Perry, pemerintah telah meningkatkan subsidi sehingga tidak semua kenaikan harga energi dan komoditas dunia berdampak pada inflasi dalam negeri.
"Pemerintah telah mendapat persetujuan dari DPR untuk menaikkan subsidi, khususunya bagi premium, diesel, listrik, elpiji, dan juga meningkatkan bantuan sosial," jelas Perry.
Sementara harga-harga barang nonsubsidi, seperti Pertalite dan Pertamax, mengalami kenaikan.
Sementara dari sisi moneter, kata Perry, Bank Indonesia turut berpartisipasi dalam pembiayaan biaya kesehatan dan kemanusiaan, dengan membeli SBN senilai Rp224 triliun.
"Kami serahkan pada pemerintah untuk mengalokasikan apakah sebagian juga untuk membiayai subsidi tadi," kata dia.
"Karena koordinasi fiskal dan moneter yang kuat, makanya kenaikan harga energi dan komoditas global tidak berdampak signifikan pada inflasi dalam negeri."
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC