> >

Perempuan Penjaga Hutan Adat di Yogyakarta, Lestarikan Hutan demi Mata Air, Bukan Air Mata

Bbc indonesia | 13 April 2022, 15:01 WIB
Sri Hartini, sang penjaga hutan adat Wonosadi di Yogyakarta. (Sumber: Furqon/BBC Indonesia)

"Mereka lalu mendirikan padepokan di Lembah Ngenuman. Itu pelataran yang sekarang sering digunakan acara adat Sadranan," ujar Sri.

Saat Hutan Wonosadi mengalami pembalakan liar, hanya tersisa empat pohon di Lembah Ngenuman. Sampai sekarang, keempat pohon besar itu masih ada.

"Itu yang masih kita lestarikan. Dan setahun sekali melakukan upacara adat Sadranan," ujar Sri.

Wonosadi sendiri secara harafiah berarti 'hutan yang penuh rahasia'. Menurut Sri, Wono artinya hutan, dan Sadi berasal dari kata sandi.

"Hutan yang banyak rahasia. Dan kita masih memegang adat serta rahasianya," imbuhnya.


Anda mungkin tertarik menonton video ini:


Sri sendiri menyadari bahwa masyarakat masih percaya dan takut dengan hukum adat di Desa Beji. Kata dia, dulu ketika Sri masih kecil dan sebelum ada listrik, Hutan Wonosadi tampak seperti Keraton yang megah. Dia berkata, "setiap malam seperti ada lampu yang terang dalam hutan dan suara gamelan".

"Saya melihat dan merasakan sendiri," ujar Sri yang bisa melihat hutan dari rumahnya.

Bahkan waktu terjadi pembalakan liar, kisah Sri, setiap malam seperti terdengar lolongan serigala. Warga percaya, serigala itu menjaga pohon-pohon yang ditebang dan para pembalak liar akan mendapat celaka.

"Masyarakat sini sangat takut dengan hukum adatnya," imbuh Sri.

Terjaganya Hutan Adat Wonosadi

Di sisi lain, lestarinya Hutan Adat Wonosadi bisa terus terjaga juga lantaran masyarakat masih percaya pada hukum adat yang tak tertulis, kata Sri.

Mereka takut mendapat celaka akibat merusak lingkungan dan pembalakan liar. Masyarakat takut, sawah mereka kering dan terjadi pagebluk, seperti kejadian pada 1965-1966.

Sebagai ketua jagawana, Sri selalu mengupayakan cara agar masyarakat mau bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Dia dan jagawana lainnya berusaha menyadarkan orang-orang untuk mau menanam pohon di hutan agar bisa memperbesar sumber mata air dan menambah kesejukan udara.

Paling tidak, lanjut Sri, masyarakat harus bisa merasakan hasil hutan, seperti adanya sumber mata air yang terus mengalir.

Hutan Adat Wonosadi kaya akan sumber mata air: seperti mata air Blebem, mata air Kalas, dan sumber mata air Sengon. Dari situ, Sri dapat memberikan bukti dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan.

"Itu menjadi sumber air minum dari rumah ke rumah, dan tidak akan kekurangan meski kemarau," ujarnya.

Lurah Kalurahan Beji Sri Idhayanti (45), mengaku sejauh ini kepercayaan adat yang tertanam secara turun-temurun amat membantu kelestarian hutan.

"Sampai sekarang hukum itu masih ampuh menjaga Wonosadi," katanya.

Baca juga:

Tapi Lurah Beji yang menjabat di awal Januari 2020, ini, tak menutup mata pada perilaku masyarakat yang berani menangkap atau memburu hewan. Dan dia mengaku berniat membuat peraturan desa tentang perlindungan hutan dan pelestarian lingkungan.

"Ini baru niat. Kami akan membuat Perdes untuk menjaga kelestarian alam," katanya.

Menjaga tanpa pamrih

Sejak menggantikan ayahnya menjadi ketua jagawana Hutan Adat Wonosadi, Sri Hartini tak pernah menerima honor atau upah kerja sebagai ketua jagawana.

Padahal, kerjanya sebagai ketua jagawana tidaklah mudah. Butuh banyak energi untuk terus menghijaukan hutan dan menjaga mata air tetap mengalir.

"Selama saya menjadi ketua jagawana Hutan Adat Wonosadi, tidak ada gajinya," ujar Sri.

Ibu dua anak ini, hanya mendapat keringanan dari pemerintah tidak perlu membayar kalau mengurus surat di desa atau tidak ditarik iuran saat acara peringatan kemerdekaan. "Itu kami sudah senang sekali," ujarnya sambil tersenyum.

Sri baru mendapat upah ketika ada acara pembinaan dari dinas pemerintahan, atau ketika ada penanaman. "Itu ada upah untuk mencangkul," ujar Sri. "Tapi itu programnya tidak pasti ada," imbuhnya.

Lurah Beji, Sri Idhyanti, mengakui memang belum bisa memberikan honor bagi jagawana, terutama Sri Hartini. Menurutnya, di masa sebelum pandemi, ada insentif bagi jagawana, namun ketika pandemi, insentif terpaksa dihentikan karena ada perubahan kebijakan anggaran.

"Kalau dulu ada insentif, tapi sekarang berkurang karena kondisi pengelolaan dana desa yang sekarang terpapar pandemi, ada kegiatan wajib yang harus kami laksanakan," kata Sri Idhayanti.

Raditia Nugraha dari DLHK Yogyakarta pun mengatakan hal yang sama, tidak ada honor bagi jagawana. Namun Raditia mengaku pemerintah DIY telah memberikan pembinaan dan bimbingan teknis untuk pengelolaan hutan.

Raditia berharap, masyarakat bisa mendapatkan upah dari apa yang mereka jaga. Misalnya, ada pengembangan sistem pengelolaan Hutan Adat Wonosadi.

"Kalau langsung bulanan, belum ada. Mungkin akan kami tinjau lagi," katanya.

Dia menyarankan pemerintah desa Beji membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan (RPJMKal), lalu memasukkan urusan kehutanan dan lingkungan hidup. Dengan begitu, pemerintah bisa memfasilitasi kebutuhan desa.

Baca juga:

Namun Sri memang tak pernah mempersoalkan masalah honor. Sejak awal dia mau menjadi ketua jagawana Hutan Adat Wonosadi, niatnya ingin melanjutkan kegiatan bapaknya yang juga bekerja tanpa pamrih untuk menghijaukan kembali Hutan Adat Wonosadi.

"Kalau ada, ya disyukuri. Kalau tidak ada, ya niat kita dari dulu bekerja tanpa pamrih," katanya.

Meski tak berupah, berbekal niat baik menjalankan wasiat bapaknya untuk mewariskan mata air kepada anak cucu, Sri masih tetap semangat menjadi ketua jagawana. Dia pun berharap, anak cucunya punya pemikiran yang sama.

"Mendapatkan uang banyak belum tentu pikiran kita bisa tenang. Tapi dengan rezeki sedikit, malah justru bisa membuat pikiran kita tenang," ujarnya.

Semangat Sri menjaga Hutan Adat Wonosadi memang terus menyala, tapi Sri menyadari usianya tak lagi muda. Dia juga tahu, mencari generasi muda yang mau menjadi jagawana juga tak mudah. Kebanyakan pemuda yang lulus sekolah, merantau ke kota. Terlebih ada tuntutan ekonomi dalam hidup.

"Saya tidak berani memaksakan. Mencari seorang yang sadar untuk mencintai alam semesta itu masih sulit," ujarnya.

Sambil menuruni tangga hutan, Sri berharap ada generasi muda yang mau melanjutkan melestarikan hutan seperti dia. Sri mengajak generasi muda untuk mau mencintai alam beserta budayanya, agar tercipta harmonisasi kehidupan yang berkesinambungan.

Bagi Sri, ketika alam terjaga, maka lingkungan terjaga. Rasanya sejuk, enak, nyaman, dan menentramkan, sebut dia.

"Marilah kita mencintai alam seperti mencintai diri kita sendiri," ajak Sri dan dia optimistis alam semesta akan mendukung segala niat baik manusia, mestakung.

Sesaat Sri terdiam. Tangannya meraih rinding gumbeng di sampingnya, menempelkannya ke bibir dan tangan kanannya langsung menarik benang. Seketika mengalun suara beung-bieng... beung-bieng... beung-beung-bieng... beung-beung-bieng...

 

*Wartawan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Furqon Ulya Himawan berkontribusi untuk laporan ini

 

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU