> >

Cerita Keluarga Korban Pemerkosaan Herry Wirawan: Anak Itu Bengkak Badannya seperti Hamil (2)

Bbc indonesia | 6 April 2022, 23:09 WIB
Terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung, Herry Wirawan. (Sumber: Kejati Jabar)

Ini cerita salah seorang keluarga santriwati korban pemerkosaan Herry Wirawan.


Hikmat, paman salah satu korban:

'Berat betul bebannya...'

Keponakan saya pulang ke Garut dari rumah tahfiz di Bandung saat Lebaran, Mei 2021 lalu. Namanya orangtua, tahu anak perempuannya seperti apa. Anak itu kelihatan bengkak-bengkak badannya, layaknya orang sedang hamil.

Ketika ditanya sama orangtuanya, langsung menangis. Trauma, empat hari empat malam, dia tidak mau makan, tidak mau minum. Takut, [badannya] sampai menggigil terus.

Dari situ pertama kali kasusnya terungkap. Kemudian merembet ke korban yang ini, yang ini.

Langsung lah saya buat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ke Polda Jawa Barat, dua hari setelah lebaran, bersama teman pengacara dari Garut. Yang melaporkan, ayah keponakan saya yang satu lagi, sama jadi korban juga, tapi tidak sampai hamil.

Keponakan saya itu, punya potensi di bidang mengaji. Berhubung orangtuanya kurang mampu, terus diiming-imingi tahfiz Quran yang ada di Cibiru itu, sekolahnya gratis. [Saat itu] Kami bersyukur ada sekolah dan pesantren gratis, ya berangkatlah ke sana.

Apalagi di Bandung dan sekolahnya pernah ada kunjungan dari Pak Wakil Gubernur Jawa Barat, Pak Uu. Makanya kita lebih percaya.

(Saat dikonfirmasi, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum menyatakan tidak pernah mengunjungi sekolah tersebut.)

Tahu-tahunya di tengah perjalanan ada musibah seperti ini, sampai hamil.

Keponakan saya umurnya sekarang 17 tahun. Dia sekolah di sana dari 2016-2017 kalau tidak salah. Keluarga berangkat ke sana juga melihat anak-anak itu. Awalnya sekolah yang di Antapani, lalu di Cibiru karena ada dua sekolah. Yang masih kecil-kecil di Antapani, yang besar dibawa ke Cibiru.

Keponakan saya lama [mengalami kekerasan seksual]. Dia mulai dirayu-rayu dari 2018. Kejadian [diperkosa] sekitar 2019-2021. Selama setahun itu, dari lebaran ke lebaran lagi. Pulang kemarin (Mei 2021), ketahuan hamil.

Selama itu, dia tidak bilang ke orangtua. Handphone ditahan tidak boleh dipakai, jadi tidak bisa komunikasi. Pulang juga cuma setahun sekali.

Pelaku merayu keponakan saya, seolah-olah dia itu merayunya lembut, tapi ada tekanan-tekanan juga. Dibilang harus patuh kepada guru lah, ini lah, itu lah, seolah ada pemaksaan.

Pokoknya [kelakuan si pelaku] sudah kayak setan. Anak pulang ke sini sampai menggigil, trauma berat, takut. Tapi kemudian ada pendampingan dari perlindungan anak dan perempuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten.

Jadi di wilayah saya ini ada empat korban, semuanya masih ada ikatan keluarga. Dari empat korban itu, tiga hamil dan melahirkan, satu korban tidak sampai hamil, tapi dia juga diperkosa.

Tiga [bayi yang dilahirkan] malah sudah besar. Keponakan saya baru dua bulan melahirkan. Neneknya [ibu korban] yang mengurus. Keponakan saya tidak [mengurus], tapi namanya ke anak, mau bagaimana lagi.

Berat betul [bebannya]. Alhamdulillah ada bidan desa, saya suruh perhatikan mulai dari ASI, imunisasi, selayaknya orang-orang kebanyakan.

Kondisi korban lain yang punya anak juga sama. Yang ngeri itu, salah satu korban karena dari sisi ekonomi tidak mampu. Saya pergi ke rumahnya, saya melihat tidak ada susu atau kebutuhan [bayi]. Kasihan juga.

Korban semua mengalami trauma. Namanya di kampung, satu persoalan satu bibir di semua lini. Ya, malu lah. Malu, menangis kalau ingat tragedi itu, trauma.

Alhamdulillah, [korban] dikasih support sampai hari ini, supaya dia masih punya semangat untuk, kalau bisa dilanjutkan sekolahnya.

Saya bilang, kita tidak perlu malu, karena tidak mau sama mau. Itu ada tekanan atau paksaan, jadi tidak usah malu.

Harapan dari keluarga, minimal hukuman kebiri dan hukuman seumur hidup. Kalau memang perlu hukuman mati. Ya memang sudah layak kalau orang seperti itu karena yang jadi korbannya lebih dari 10 orang.

Harus ada pertanggungjawaban, karena ada musibah ini akibat adanya kelalaian. Kelalaian dalam artian pengawasan ke pesantren-pesantren itu. Asalkan dapat izin, berdiri sekolah di mana-mana, kan sekarang seperti itu.

Tapi kalau biayanya mahal-mahal, keadaan tidak mampu, ya bagaimana lagi, makanya cari yang gratis-gratis seperti itu.

Harapan saya, khususnya untuk wilayah Garut Selatan, diadakan pesantren khusus dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ini kan musibah, tapi di balik ini mudah-mudahan ada anugerah. Generasi muda yang saat ini di PAUD dan SD, jangan sampai ada kejadian seperti ini lagi.


 

Wartawan di Bandung, Yulia Saputra berkontribusi untuk artikel ini.

Catatan editorial: Artikel ini diperbarui pada 10 Desember untuk menambahkan pernyataan Wagub Jabar bahwa dia tidak pernah berkunjung ke sekolah atau yayasan milik HW.

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU