> >

Kisah Pasangan Nikah Beda Agama di Indonesia: "Saya Disuruh Talak Tiga" atau "Pindah Agama"

Bbc indonesia | 5 April 2022, 22:52 WIB
Ilustrasi pernikahan (Sumber: Nick Karvounis on Unsplash)

Benny diminta menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Ayu, saat keduanya mengajukan pembuatan Kartu Keluarga baru setelah pindah domisili. Pernikahan Benny dan Ayu dianggap tidak sah karena keduanya beda agama.

Benny dan Ayu (bukan nama sebenarnya) menikah secara Katolik dengan dispensasi dari gereja. Mereka resmi menikah di Yogyakarta pada 2017 dan pernikahannya sudah tercatat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat.

Persiapan mereka menuju hari pernikahan pun tidak mudah karena harus meyakinkan semua keluarga terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kontroversi.

"Kami pikir setelah menikah beda agama selesai, dengan keluarga yang sudah tercerahkan, maksudnya sudah disetujui. Tidak ada yang merasa terganjal, itu selesai. Ternyata tidak," kata Benny melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.

Masalah muncul ketika Benny dan istrinya memutuskan pindah ke Depok, Jawa Barat, karena Benny sudah membeli rumah di kawasan itu. Ketika hendak mengajukan permohonan pembuatan Kartu Keluarga pada 2018 lalu, dia ditolak oleh kecamatan setempat. Benny diminta mengurusnya ke kelurahan terlebih dahulu.

"Ini kan bapak Katolik ya, ibu Muslim, terus nikahnya kemarin bagaimana? Ibu harusnya pindah ke Katolik dong? Kok bisa ya?" kata Benny menirukan pertanyaan lurah kepada dirinya. Menurut sang lurah, pasangan yang menikah harus satu agama.

Argumen tersebut, kata Benny, mengacu pada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".

"Itu saya debat sedikit karena undang-undang itu mengatur orang yang akan menikah. Negara itu, intinya akan menyetujui setelah lembaga agama masing-masing menyetujui," ujar Benny menafsirkan pasal tersebut.

Staf kelurahan kemudian meminta Benny mendatangi kantor wali kota, tepatnya di unit Dukcapil, untuk menyelesaikan masalah tersebut.

"Prosesnya tuh memang panjang dan melelahkan karena bolak-balik. Pada akhirnya saya ketemu sama pejabat yang berwenangnya. Intinya, beliau tidak mau memunculkan solusi, tetapi malah kami disuruh cek ke departemen agama dulu untuk talak tiga. Ini kan salah satu yang konyol menurut saya," ujar dia.

Baca juga:

Penasaran dengan proses yang terjadi selanjutnya, Benny dan Ayu pun mendatangi Kantor Urusan Agama dan melakukan apa yang diminta oleh pejabat di kantor wali kota. Namun, Kantor Urusan Agama menolak usulan talak tiga itu karena Benny dan Ayu memang tidak mau bercerai.

Merasa masalah tidak terpecahkan, pejabat Dukcapil kemudian meminta salah satu dari mereka pindah agama.

"Lagi-lagi balik ke Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Lama-lama saya berpikir ini sepertinya harus ada revisi undang-undang atau bagaimana ya?" kata laki-laki yang berusia 30-an tahun itu.

Menggugat UU Perkawinan

Bila Benny terganjal undang-undang perkawinan justru setelah resmi menikah, Ramos Petege terjegal undang-undang yang sama sebelum sempat menikah. Ramos yang beragama Katolik, gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam karena menurut keluarga kekasihnya, agama dan negara melarang pernikahan berbeda agama.

Dari kegagalan itu, akhirnya pada Februari lalu Ramos menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Dia mengajukan uji materiil pada pasal 2 ayat 1 dan 2, serta pasal 8 f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019.

"Pasal dua itu memang multitafsir sehingga catatan sipil ini yang mewakili negara menafsirkan pasal itu dengan beragam. Kalau orang yang paham baik dengan konsep HAM, pasti mereka terima karena ini urusan administratif saja. Tidak mengganggu agama siapa-siapa," kata Ramos kepada BBC News Indonesia

"Ini kebebasan setiap orang, tidak dibatasi oleh agama atau kelompok tertentu."

Ramos sudah menjalani sidang pertamanya dan Hakim Mahkamah Konstitusi meminta dia, sebagai pemohon, memperbaiki fokus gugatannya sampai tenggat 29 Maret. Sidang selanjutnya dijadwalkan berlangsung pada 6 April 2022.

Sebelum Ramos, pada 2014 lalu, pasal 2 ayat 1 pada Undang-undang Perkawinan juga pernah digugat. Namun, gugatan itu ditolak karena Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Meski nasib pemohon kala itu tidak terlalu baik, Ramos tetap maju dengan gugatannya. Dia tidak ingin ada orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya.

Aparatur negara tidak satu suara

Konselor pernikahan beda agama, yang juga merupakan Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, mengatakan tidak semua Dinas Dukcapil mau mencatatkan pernikahan beda agama. Ahmad mengungkap hanya Salatiga dan Yogyakarta saja yang selalu mengakui pernikahan beda agama.

Tak jarang Nurcholish harus berdiskusi dengan para staf di Disdukcapil tertentu agar bisa mencatatkan pernikahan beda agama yang dia bantu. Namun, hasil advokasi itu bisa jadi tidak akan berlangsung lama ketika terjadi pergantian para pejabat setempat.

"Pada akhirnya kita ini ada rasa lelah juga karena hampir setiap hari harus melakukan itu," kata Nurcholish.

Ketika mengalami kebuntuan, Nurcholish mengatakan biasanya pasangan diminta untuk "menyamakan agama".

"Malah sebagian Dukcapil itu, dari mulai kelurahan biasanya menyarankannya begini, 'Begini saja, kalian itu disamakan saja dulu agama di KTP, nanti setelah menikah bisa diubah lagi,'" ujar Nurcholish menceritakan pengalamannya.

"Justru itu yang disebut mempermainkan agama sebetulnya, kan."

Padahal Nurcholish menilai pasangan beda agama sudah mempunyai kesadaran untuk menghormati keyakinan masing-masing, tetapi para aparatur sipil negara, menurut Nurcholish, tidak bisa memahami cara seperti itu.

Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif mengakui ada ketidakseragaman tafsir di berbagai daerah. Selama ini, kata Zudan, Dukcapil mencatatkan pernikahan beda agama melalui penetapan pengadilan. Hal itu dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400k/pdt/1986.

Namun, untuk mendapatkan kepastian di tengah polemik nikah beda agama yang sering kali muncul, Kementerian Dalam Negeri kembali meminta kepastian kepada Mahkamah Agung mengenai nikah beda agama.

"Minggu lalu kami kirim suratnya. Belum ada balasan. Tapi kami sudah satu suara, mengikuti Undang-undang Adminduk pasal 35, pencatatan yang berbeda agama harus ada penetapan pengadilan," kata Zudan pada Rabu (30/3).

Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Sudah harus direvisi

Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Undang-undang Perkawinan memang sudah waktunya direvisi karena masih terus menimbulkan kontroversi.

"Cukup banyak kerepotan-kerepotan karena agama punya tafsir yang berbeda. Jadi saya kira ketimbang akhirnya menimbulkan perbedaan pendapat yang terlalu tajam, lebih baik pasal itu memang tidak ada," kata Bivitri.

Dia menjelaskan di kebanyakan negara di dunia ini, kecuali negara Islam, tidak ada yang mengaitkan pencatatan perkawinan secara negara dengan perkawinan secara agama.

"Menikah itu kan sebenarnya Hak Asasi Manusia, itu ada di konstitusi juga. Tugas negara itu cuma mencatat supaya menfasilitasi perkawinan itu. Itulah sebenarnya konsep hukum perdata dari perkawinan, untuk memiliki harta bersama, pajak, keabsahan anak, hak waris, dan seterusnya," ujar Bivitri.

Dilihat dari kacamata hukum, Undang-undang Perkawinan tidak secara eksplisit melarang dan membolehkan pernikahan beda agama.

Aturan yang lebih jelas mengenai pernikahan beda agama terdapat pada putusan Mahkamah Agung, seperti yang disebutkan sebelumnya, yang harus menggunakan putusan pengadilan sebelum dicatatkan di Disdukcapil.

"Karena prinsipnya, catatan sipil hanya mencatat, tapi yang mengesahkan adalah pengadilan atau otoritas agama, sesuai pasal 2 (Undang-undang Perkawinan)," kata Bivitri.

 

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU