> >

Perda Penyimpangan Seksual Kota Bogor: Kelompok Gender Minoritas Khawatirkan 'Legitimasi Persekusi'

Bbc indonesia | 27 Maret 2022, 20:58 WIB
Tugu Kujang di Jalan Raya Pajajaran, Bogor, Jawa Barat. (Sumber: Shutterstock/Kompas.com)

Istilah laki-laki penyuka laki-laki dan perempuan penyuka perempuan dalam Pasal 6, menurut Maidina, juga sangat abu-abu. Kata "suka", lanjut Maidina, bukan unsur yang objektif sehingga tidak bisa masuk ke dalam subjek bahasan hukum.

Implementasinya nanti, lanjut dia, bukan saja bias, tapi juga membuka ruang kesewenang-wenangan yang diskriminatif.

"Intinya perda ini dibuat atas dasar kebencian, ditujukan untuk menyerang kelompok tertentu. Ketika kebijakan dari awal dibuat berdasarkan kebencian, maka sebenarnya itu bentuk diskriminasi," tegasnya.

Baca juga:

Maidina menambahkan, bentuk perilaku penyimpangan seksual seperti pedofil, eksisbionisme, dan berhubungan seksual dengan mayat, sudah diatur dalam peraturan perundangan-undangan lain, yaitu KUHP dan UU Perlindungan Anak.

"Lantas kenapa perlu intervensi dalam bentuk perda tadi?" tanya Maidina.

'Alasan mengada-ada'

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) bersama 140 organisasi masyarakat sipil lainnya juga menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 ini.

Perda ini, sebut mereka, bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan, "orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan." Dalam klasifikasi International Classification of Diseases revisi ke-11, transgender juga telah dinyatakan sebagai bukan gangguan kejiwaan.

Melalui siaran persnya, koalisi menilai perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu serta berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman.

Penerapan perda ini juga berpeluang menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan.

Maka, sebut mereka, ada potensi kekerasan bernuansa terapi konversi atau upaya korektif. Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi.

"Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang.

"Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan," tertulis dalam siaran pers yang disebarkan LBH Masyarakat, Sabtu (19/3).

Koalisi juga meminta Kantor Staf Presiden untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM, karena menghasilkan perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia. November 2022, Kota Bogor rencananya akan menjadi tuan rumah Festival HAM.

Di sisi lain, alasan Pemkot dan DPRD Kota Bogor yang berdalih penerapan perda ditujukan untuk menanggulangi penularan HIV juga dikritik Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jawa Barat.

Landry Kusmono, pengelola Program Sekretariat KPA Jawa Barat, menilai alasan tersebut mengada-ada. Menurut Landry, penerapan Perda P4S justru akan menyulitkan penanggulangan HIV/AIDS karena membuat kelompok LGBT sebagai populasi kunci lebih susah dijangkau.

"Mereka akan semakin tertutup, sulit ditemui dan diajak ke layanan kesehatan. Mereka pasti akan takut diketahui identitasnya," terang Landry.

Lagipula, imbuh Landry, temuan kasus HIV positif baru dan penambahan kasus terjadi di semua kota kabupaten di Indonesia. Akan tetapi, menurut catatannya, penularan HIV di kelompok laki-laki seks laki-laki (LSL) maupun waria tidak banyak.

"Angkanya tidak besar jika dibandingkan dengan pelanggan pekerja seks, kalau berbicara tentang penularan HIV. Jadi tidak begitu relevan bila berbicara penyimpangan seksual dengan penularan HIV," kata Landry.

Dinas Kesehatan Kota Bogor mencatat sebanyak 512 kasus HIV/AIDS dan 11 kasus kematian di 2019.

Merujuk pada data Direktorat Jenderal Pengendalian penularan penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, faktor risiko AIDS terbesar menurut orientasi seksual adalah heteroseksual (70%), homoseksual (22%), dan biseksual (2%).

Sementara jika mengacu pada hasil tes HIV di kelompok berisiko, LSL menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif (8,75%). Peringkat kedua adalah pelanggan pekerja seks (10,57%), dan peringkat pertama adalah Sero Discordant atau pasangan yang salah satunya HIV positif (92,19%).

Landry juga mengkritik pernyataan Devie yang menyebut HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan. Menurutnya, anggapan itu salah sebab angka kematian di kasus HIV sudah berhasil ditekan dengan banyaknya pasien atau orang dengan HIV (ODHIV) yang mengakses obat ARV.

"Dengan patuhnya ODHIV minum ARV, maka angka kematian semakin bisa ditekan. Selain itu, layanan untuk pengobatan ARV juga sudah banyak di Jawa Barat," tutur Landry.

Pro dan kontra di masyarakat

Di tengah warga Kota Bogor sendiri, penerapan Perda P4S menimbulkan pro kontra. Sebagian warga mempertanyakan kebijakan tersebut, sementara sebagian lainnya mendukung penuh.

Verry Aria, mengaku menyambut baik terbitnya perda ini. Ia mengatakan, pemerintah bisa bertindak aktif dalam mengontrol dan melakukan sidak untuk menciduk orang yang dicurigai berperilaku seksual menyimpang.

"Kalau misalnya [aparat] ketemu waria atau ketemu penyuka sesama jenis, ya diciduk, diberikan edukasi, atau ada panti khusus dari dinas sosial untuk melakukan terapi atau apapun itu," tukas dia.

Warga Kota Bogor lain, Lazyra Amadea, mengaku bingung. Ia berkata bisa menangkap niat baik pemerintah kotanya untuk melakukan edukasi dan konseling. Di sisi lain, Lazyra khawatir perda itu akan mendiskriminasi kelompok LGBT.

"Pemerintah harus hadir untuk [kelompok LGBT]. Saya dukung ketika arah dan niatnya melindungi kelompok minoritas itu. Cuma yang saya takutkan, kalau yang tadinya untuk melindungi, malah jadinya mengekang," kata perempuan 28 tahun ini.

Meski telah ditetapkan pada Desember 2021 lalu, pemerintah mengaku masih terbuka untuk "berdiskusi dengan pihak yang menolak penerapan perda".

"Silakan dibaca baik-baik, pasal mana yang justru akan merugikan mereka," kata Wali Kota Bogor Bima Arya. "Saya khawatir teman-teman itu hanya membaca judulnya, terus membaca pasal awal tentang realitas sosial lelaki penyuka lelaki, tapi tidak membaca keseluruhan perda ini."

Meski begitu, jaminan dari para perumus aturan ini tak memupus kekhawatiran kelompok LGBT.

"Karena 15 pasal itu semuanya ngawur. Bukan tidak percaya, tapi lakukan dulu aksinya jangan cuma janji. Itu mau kita," ungkap Mahendra.

-

*Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra berkontribusi pada laporan ini

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU