> >

Pengungsi Rohingya Kabur dari Indonesia ke Malaysia: Berani Bayar Rp20 juta untuk Kirim Saudara

Bbc indonesia | 21 Februari 2022, 19:24 WIB
Ilustrasi. Seorang Rohingya yang kini bermukim di Malaysia mengaku rela membayar hingga 6.000 Ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp20 juta untuk penyelundup yang bisa membawa kabur seorang saudaranya dari Aceh ke negeri jiran itu. (Sumber: BBC Indonesia)

Kepada BBC News Indonesia, Nurhabah mengaku tidak memiliki ponsel. "Makanya tidak keluar," kata dia.

"Waktu itu tidak seketat hari ini," lanjut dia. Kepada teman lain yang juga memiliki telepon genggam, seorang perempuan Rohingnya yang kabur pada 10 Februari lalu mengirimkan foto-foto mereka tengah menunggu di rawa-rawa.

Nurhabah berkata, karena tak ada ponsel pula, sudah satu bulan lebih sejak tiba di Indonesia ia masih belum bisa menghubungi orang tuanya yang berada di Bangladesh. Begitupun saudaranya yang saat ini berada di Malaysia, aku dia, tak bisa menghubunginya.

"Bagaimana mereka [di Malaysia] bisa menghubungi saya?" tukasnya.

Pengungsi yang tersisa lainnya, Zamaluddin, 45 tahun, kepada BBC Indonesia mengaku tidak berniat lari secara ilegal.

Ia memilih bertahan di Lhokseumawe, sembari menunggu kabar dari UNHCR untuk ditransfer ke negara ketiga.

"Tujuannya bukan ke sini, jadi saya akan menunggu kabar PBB untuk diberangkatkan ke negara ketiga di wilayah Eropa. Saya tidak mau ke Malaysia," ia menyangkal.

Bagaimanapun, Zamaluddin juga menambahkan, dari negara asalnya, dia mengaku membayar kepada penyelundup untuk bisa sampai ke sini.

"Saya membayar 20 ribu uang Bangladesh [setara Rp3 juta] untuk tujuan ke Malaysia atau Indonesia, namun di tengah perjalanan terjadi kerusakan kapal. Mereka yang membawa [para pengungsi] telah kabur. Kemudian nelayan Indonesia menolong," kisahnya.

Zamaluddin mengaku memiliki keluarga yang kini berada di Malaysia. Ia juga mengatakan memiliki keponakan yang telah diberangkatkan ke Kanada dan Amerika, meski tak merinci dari negara mana keponakannya itu diberangkatkan.

Alif, orang Rohingya yang juga pernah menjadi penjemput dalam rangkaian penyelundupan ilegal para pengungsi, mengaku sangsi dengan pengakuan Zamaluddin soal menunggu ditempatkan ke negara ketiga.

"Saya menduga mereka tidak jujur dan telah melakukan musyawarah, sehingga ketika ditanya semua menjawab seragam [tidak mau kabur]," ujar Alif.

Berbagai sumber sebelumnya telah menyatakan bahwa para pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia ini tak pernah berniat menetap. Chris Lewa, direktur organisasi non-pemerintah Arakan Project, dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada awal tahun lalu menegaskan itu.

"Sekarang para penyelundup, tahu bahwa [orang Rohingya] tidak akan masuk Thailand karena sudah ada beberapa kapal kecil yang masuk ke Thailand beberapa tahun terakhir - biasanya semua orang ditahan di sana," kata dia.

Per pertengahan tahun 2020, sub wilayah Asia Tenggara menampung lebih dari 290.000 pengungsi dan pencari suaka, kebanyakan merupakan Rohingya dari Myanmar. Tiga negara dengan jumlah pengungsi Rohingya terbesar adalah Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

Menurut data UNHCR, per akhir Desember 2021 ada 103.380 pengungsi Rohingya di Malaysia yang tercatat di lembaganya.

Sementara di Indonesia, menurut Juru Bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono, telah menerima 1.545 pengungsi Rohingya sejak 2015.

"Namun saat ini, yang tersisa 282 orang," ujar Mitra. Selebihnya, telah pergi dari Indonesia dengan berbagai alasan.

"Ada yang sudah di-resettle ke negara ketiga, ada yang berangkat secara spontan ke negara-negara lain di mana mereka mungkin ada sanak saudara," lanjutnya melalui pesan pendek kepada BBC Indonesia.

Jumlah total pengungsi yang berada di Indonesia tercatat 13.100 orang.

Baik Indonesia dan Malaysia tidak termasuk dalam 149 negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan menjalankan Protokol 1967, sehingga hak-hak pengungsi untuk akses pada pekerjaan, rumah, pendidikan, dan lain-lain tidak dilindungi di kedua negara.

Meski begitu, dengan berbagai alasan, Malaysia tetap menjadi negara tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya.

'Tidak ada jalur legal'

Juru Bicara Satgas Penanganan Pengungsi Rohingya Kota Lhokseumawe, Marzuki, mengatakan para pengungsi Rohingya ini "selalu berusaha untuk kabur" setelah ditampung oleh pemerintah Indonesia.

Namun begitu, Marzuki enggan berkomentar tentang rekaman video CCTV yang terputus sesaat sebelum pintu berhasil dibobol, maupun proses pencarian pengungsi yang baru dimulai pada sore hari - meskipun mereka kabur sejak pagi.

Marzuki melanjutkan, dari dua gelombang kabur pengungsi sebelumnya, ia meyakini ada keterlibatan warga Indonesia, baik penduduk di wilayah Lhokseumawe maupun dari wilayah lain.

"Buktinya, sudah banyak yang ditangkap [warga Indonesia] yang terlibat dalam membantu pelarian," kata Marzuki saat ditemui pada Selasa (08/02).

Sementara itu, UNHCR mengaku telah berusaha memberikan pengamanan dan konseling kepada para pengungsi mengenai risiko bila mereka "bepergian secara tidak teratur" atau melakukan irregular migration.

IOM mendefinisikan irregular migration sebagai "pergerakan migrasi yang terjadi di luar aturan negara-negara asal, transit, dan tujuan". Penyelundupan migran, atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO), seperti yang tengah diselidiki oleh Polres Lhokseumawe, termasuk di dalamnya.

"Berapapun besar pengamanan yang kami tempatkan di penampungan, dan meskipun mereka telah mengetahui bahayanya menempuh perjalan tersebut, keinginan mereka untuk pergi dan bersatu kembali dengan keluarganya sangat besar," ujar Mitra Salima Suryono, Juru Bicara UNHCR di Indonesia.

Menurut Mitra, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh para pengungsi selain melakukan perjalanan berisiko tinggi ini.

"Tidak ada jalur legal yang memungkinkan mereka dapat berpergian," ungkap Mitra. Terkait dengan kaburnya para pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, pihaknya mengatakan bahwa ini "dikoordinasikan oleh pihak yang berada di luar penampungan BLK".

Mitra menambahkan, perjalanan risiko tinggi ini tidak hanya dijumpai di kawasan Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Di Prancis dan Inggris, kata dia, nyaris 30.000 pencari suaka atau pengungsi menempuh perjalanan yang tidak aman tahun lalu.

Di Asia Tenggara, penyelundupan migran juga jamak terjadi. Menurut IOM, tingginya kepergian tak teratur ini karena jaringan penyelundup yang longgar, juga perbatasan darat dan laut yang panjang. Sangat sulit mendata jumlah pengungsi yang keluar masuk negara melalui jalur ilegal ini.

"Hal yang terpenting bagi kami adalah memastikan agar para pengungsi memperoleh kehidupan yang berwibawa hingga solusi jangka panjang dapat ditemukan bagi mereka," kata Mitra.

"Tapi untuk jangka panjangnya, UNHCR berharap bahwa negara-negara di kawasan ini dapat melebarkan akses jalur yang legal, termasuk skema-skema untuk penyatuan keluarga, pendidikan dan mobilitas tenaga kerja," ujarnya.

 

 

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU