> >

Demo Tolak Tambang Parigi Moutong Telan Korban Jiwa, Aktivis Sebut Itu "Bom Waktu" Konflik Agraria

Bbc indonesia | 15 Februari 2022, 21:24 WIB
Ilustrasi. Aktivis menyebut demo penolakan terhadap pertambangan di Parigi Moutong yang menelan korban jiwa merupakan bom waktu konflik agraria. (Sumber: BBC Indonesia)

Ketika sudah terjadi penolakan di kalangan warga, Melky mengatakan pemerintah selalu mengatasinya dengan pendekatan keamanan.

Hal yang sama juga dikatakan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.

"Cara-cara pemerintah dalam menangani konflik agraria itu tidak berubah dari waktu ke waktu, justru yang makin didorong adalah penanganan yang bersifat represif," kata dia.

Dewi bahkan menyebut masyarakat yang protes selalu diberi label anti pembangunan.

"Padahal tidak sesederhana itu, karena memang ada wilayah hidup, ada tempat masyarakat, ada wilayah adat, ada pekampungan, ada pertanian produktif yang akan terancam, termasuk kelestarian lingkungannya yang akan terancam kalau model pembangunan itu bersifat eksploitatif dan merusak. Apalagi kalau untuk aktivitas tambang, perkebunan, itu skalanya besar," kata Dewi.

Dia juga menilai, upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria selama ini seperti "pemadam kebakaran".

"Ketika sudah terjadi keributan, jatuh korban, bahkan korban nyawa, baru pemerintah akan bereaksi, tapi setelah itu tidak ada penyelesaian yang komprehensif."

Padahal, kata Dewi, pengaduan masyarakat yang paling banyak di lembaga negara selalu ditempati oleh konflik agraria atau konflik pertanahan.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, selaku pihak yang berwenang menerbitkan Izin usaha pertambangan, belum menjawab pertanyaan BBC soal pelibatan warga dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan.

Kekhawatiran konflik agraria akan meningkat

Melky menyebut konflik di Wadas dan Parigi Moutong "hanya dua dari kasus yang sudah dan yang akan muncul di tengah rezim yang terus mendorong investasi".

Konflik-konflik seperti ini diperkirakan akan terus terjadi, apalagi ada perubahan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang bisa dan sudah digunakan untuk menjerat warga yang menghalangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP.

"Trennya selama ini, pasal-pasal itu selalu digunakan oleh pihak perusahaan atau orang-orang yang ditugaskan perusahaan untuk menjerat warga yang melakukan penolakan terhadap tambang," kata Melky.

Dewi mengatakan akar permasalahan dari konflik agraria di Indonesia disebabkan sistem ekonomi politik agraria yang semakin hari semakin "liberal dan kapitalistik", artinya semakin memprioritaskan pengadaan dan pengalokasian tanah kepada badan-badan usaha skala besar.

Hal itu, kata Dewi, sebenarnya sudah "melanggar konstitusi, pasal 33 ayat 3 dan melanggar undang-undang pokok agraria", di mana tanah dipandang sebagai komoditas, tidak lagi dipandang fungsi sosialnya.

Akibatnya, yang akan lebih mudah mengakses dan menguasai tanah dan mendapatkan hak atas tanah lainnya adalah pemilik modal.

"Sebenarnya, monopoli atas tanah oleh swasta itu tidak diperkenankan, tapi yang terjadi sekarang kebalikannya. 1%, segelintir kelompok, menguasai aset kekayaan nasional berupa tanah, dan itu sudah sangat timpang," ujar Dewi.

KPA menilai, sebenarnya reforma agraria yang digadang-gadang pemerintahan Jokowi, bisa mengurangi konflik agraria jika tidak hanya bagi-bagi sertifikat tanah.

Seharusnya, reforma agraria dilakukan dengan menyasar wilayah konflik agraria, wilayah dengan ketimpangan penguasaan tanah, dan wilayah kemiskinan struktural yang dialami masyarakat di pedesaan, yang diikuti oleh proses redistribusi tanah, penataan ulang struktur agraria dan penyelesaian konflik agraria.

"Jadi kalau pemerintah itu betul-betul menyasar wilayah-wilayah konflik agraria yang bahkan sudah diadukan oleh masyarakat dalam tujuh tahun terakhir ini, seharusnya itu bisa berkontribusi pada pengurangan konflik agraria. Masalahnya adalah itu tidak disentuh. Yang dilakukan pemerintah justru wilayah non-konflik yang enggak perlu ada proses reforma agraria," ujar Dewi.

Wartawan di Palu, Eddy Djunaedi berkontribusi dalam laporan ini

 

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU