100 Orang Meninggal dalam Sehari di Tengah Lonjakan Kasus Omicron, Mengapa Angka Kematian Meningkat?
Bbc indonesia | 13 Februari 2022, 20:06 WIBSebagian lainnya, menunggu di luar gedung; ada yang menggunakan kursi roda, sebagian tubuh dibalut perban sembari menenteng berkas-berkas dalam map transparan.
Sementara, kesibukan lainnya terjadi di ruang tes PCR. Kursi berjarak terisi penuh antrean mereka yang ingin mengetahui apakah tubuhnya terinfeksi virus Covid atau tidak.
Sekitar 30 meter dari lokasi tes PCR terdapat Gedung RSCM Kiara, tempat khusus pasien Covid mendapat perawatan.
Dari pantauan BBC News Indonesia, dalam satu jam terdapat dua mobil ambulans tiba di depan pintu gedung membawa pasien.
Adapun di bagian luar gedung IGD RSCM, saat itu tampak lengang. Tiga mobil ambulans terpakir tak jauh dari situ.
Seorang tenaga kesehatan lengkap dengan APD bersama dengan brankar atau ranjang dorong bersiaga di luar gedung.
Namun, seorang tenaga kesehatan yang berjaga di RSCM mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa kondisi di dalam IGD "chaos banget" karena pasien-pasien Covid mulai berdatangan.
"Kondisinya berat sih. Terutama anak dan orang tua," kata dokter yang enggan disebut namanya.
BBC News Indonesia menghubungi pihak RSCM untuk mengkonfirmasi hal ini, tapi belum mendapat respons.
Penuh sebelum puncak
Bagaimanapun, situasi Covid hari ini masih belum pada puncaknya, seperti yang diprediksi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Dalam beberapa kesempatan ia mengestimasi puncak kasus Covid gelombang ketiga akan terjadi pada akhir Februari.
"Kita masih belum tahu berapa puncaknya di Indonesia, yang perkiraan kami akan terjadi di akhir Februari," kata Menkes Budi Gunadi beberapa waktu lalu.
Ia juga mengestimasi jumlah kasus harian periode Omicron bisa lebih tinggi hingga enam kali lipat dari varian Delta.
"Bisa tiga kali sampai enam kali dibandingkan puncak Delta. Di mana puncaknya Delta di Indonesia 57.000 kasus per hari," tambah Menkes Budi yang juga mengatakan prediksi ini diambil dari kasus-kasus di beberapa negara lain.
Ia juga mengimbau masyarakat, "Kami minta tolong tetap waspada. Tolong tetap hati-hati. Kalau tidak perlu sekali berkerumun atau mobilitas, yuk kita kurangi."
Bagaimanapun, dalam situasi terkini pemerintah mengambil kebijakan mempertahankan sekolah tatap muka, termasuk mengurangi jumlah hari karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri dari tujuh hari menjadi lima hari.
'Kecemasan seorang nakes menghadapi gelombang ketiga'
Sejauh ini tak banyak tenaga kesehatan yang bisa bicara secara terbuka mengenai kondisi dan status Covid. Namun, seorang nakes yang berjaga di IGD fasilitas kesehatan milik pemerintah di Jakarta Timur bercerita tentang kecemasannya menghadapi gelombang ketiga Omicron.
Ia meminta BBC News Indonesia untuk menyamarkan nama dan lokasi tempat kerjanya.
Baca juga:
- Pemerintah kurangi PTM di sekolah jadi 50 persen di daerah PPKM level 2 setelah kasus Covid melonjak
- Pasien Covid di RS terus meningkat didominasi pasien bergejala ringan, efektivitas layanan telemedisin dipertanyakan
Sari - bukan nama sebenarnya - mengatakan saat ini puskesmas tempat ia bekerja sudah bisa merujuk 15 pasien dalam satu hari.
"Jadi beberapa kali saat saya jaga, anak sekolah SD, SMP banyak yang positif karena acara di sekolah. Terus guru wali kelasnya positif. Iya, anak kecil banyak yang kena," katanya.
Pasien-pasien ini dirujuk untuk melakukan isolasi di RS darurat Wisma Atlet, dengan waktu tunggu antrean hingga enam jam.
Dari puskesmas tersebut, sejauh ini, belum ada yang dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif, "karena gejalanya ringan, kayak batuk pilek ngilu-ngilu."
Bagaimanapun, Sari mengatakan lonjakan kasus belakangan ini "cepat banget".
"Karena di puskesmas pun nakesnya sudah banyak yang positif."
"Iya, ini sih menurut saya sudah banyak banget, dan saya sendiri jadinya takut banget. Jadi kalau pulang ke rumah itu benar-benar harus mandi dulu. Semprot-semprot, mandi lagi," kata Sari.
Lonjakan kasus Covid belakangan ini juga mengingatkan Sari pada masa-masa kelam saat gelombang kedua menghantam fasilitas kesehatan.
Saat itu, pada Juli 2021, Lapor Covid mencatat sebanyak 500 tenaga kesehatan meninggal dalam satu bulan.
Sari saat itu masih bekerja di salah satu RSUD di Jakarta Timur, sebelum pindah ke puskesmas.
"Waktu itu IGD kita nggak bisa merawat pasien Covid. Sehingga beberapa pasien yang jelek [kritis] pun itu kami harus merujuk. Bahkan satu malam, saya bisa merujuk sembilan pasien sekaligus," kata Sari.
Kondisi saat itu disebut Sari "benar-benar parah". Banyak rekan kerjanya yang terinfeksi Covid, namun tetap dipaksa untuk bekerja.
"Bahkan kami hampir semua nakes di IGD sudah isolasi mandiri. Gara-gara positif."
Nakes yang sebelumnya mendapat jatah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari dipangkas menjadi 10 hari. "Bahkan kami dengan PCR yang masih positif itu pun kami harus masuk kerja," katanya.
"Hampir semua pengalamannya bikin saya takut. Sebenarnya nakes-nakes di luar sana itu mungkin pasien lihat fine-fine saja, tapi kami tuh di ruang jaga suka nangis. Pertama, teman kami banyak yang gugur.
"Ketika kamu harus merujuk teman sejawat sendiri baik ke rumah sakit maupun ke Wisma Atlet. Itu yang membuat kami makin stres. Jadi sebenarnya, psikis kami terganggu," cerita Sari.
Sari menyoroti perkembangan lonjakan kasus di tengah protokol masyarakat yang abai, termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih mempertahankan sekolah tatap muka, makan di tempat restoran, mal dan bioskop yang masih dibuka.
"Jadi sejujurnya trauma banget sama yang delta kemarin," kata Sari.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC