Perjalanan Ibu dan Anak dari Desa di Jawa Tengah yang Jadi "Korban Kerja Paksa" di Malaysia (1)
Bbc indonesia | 4 Februari 2022, 09:53 WIBKepada wartawan Arif Syaefudin yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Ali membantah terlibat dalam pengurusan surat kerja Lasri dan anaknya.
Dubes Hermono mengatakan cara Lasri dan anaknya "agak kurang lazim karena diantar langsung perekrut di Malaysia" di tengah kekurangan tenaga kerja termasuk pembantu rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir.
"Dibawa langsung oleh orang yang rekrut. Agak kurang lazim. Di sini, dijual, dipekerjakan karena Malaysia menghadapi kekurangan tenaga kerja, termasuk PRT, jadi banyak majikan yang mau menerima walaupun tak ada dokumen dan statusnya ilegal."
Kerja 24 jam, hanya nasi putih, lauk makanan beli sendiri atau dipotong dari gaji
Kedua ibu dan anak ini mengaku bekerja tanpa henti. Pagi hari, mereka membersihkan rumah. Setelah selesai mereka bekerja di kilang (pabrik suku cadang kendaraan milik majikan) hingga tutup.
Setelah itu, malam harinya, mereka kembali ke rumah untuk merawat anak majikan berusia 21 tahun yang lumpuh - memandikan, memberi makan, hingga menemani tidur.
"Kalau malam, anak majikan tidak mau tidur. Sehingga kami tidak tidur, jadi kerja satu hari satu malam tidak berhenti," kata Lasri.
Mereka mengatakan sudah berkali-kali menyatakan ingin keluar dan pulang ke Indonesia karena pekerjaan yang terlalu berat.
Namun, majikan selalu mengancam akan melaporkan ke polisi karena mereka tidak memiliki dokumen kerja yang legal, dan itu menyurutkan niat mereka.
Selain paspor, menurut Lasri dan Kholifah, majikan menahan telepon seluler dan hanya mengizinkan perangkat komunikasi itu digunakan sesekali.
Kediaman majikan juga selalu dikunci dan mereka terpaksa "curi-curi ke luar rumah untuk beli lauk, karena tidak boleh keluar."
"Handphone punya sendiri tak dikasih, kalau minta uang (gaji), marah seperti ke binatang…tapi majikan bilang kalau kami keluar dan tak punya surat, pasti ditangkap polisi dan dia bilang tak mau mengakui kami sebagai pembantu mereka," kata Nur Kholifah kepada wartawan di Malaysia, Vinothaa Selvatoray, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Lasri dan Kholifah mengatakan, selama bekerja dengan jam panjang, mereka "hanya diberikan nasi putih dan untuk lauk makanan akan dipotong gaji…Sementara roti dan kopi untuk sarapan juga harus menggunakan uang sendiri, dan makan malam mendapat sisa makanan setelah majikan selesai."
Walau jam kerja panjang dan tak menentu, Lasri mengatakan tidak pernah mengalami kekerasan fisik. Namun, "pernah disiram air, anak saya diludahi di depan saya, dan diancam pakai kayu rotan, 'kalau macam-macam, kamu saya bunuh pakai ini'".
Niat mereka untuk keluar dari "kerja paksa" akhirnya terlaksana pada pertengahan Januari lalu.
Baca juga:
- Hidup tanpa identitas di Malaysia: 'Saya tak percaya bertemu dengan ibu kandung setelah 15 tahun terpisah dari kecil'
- Ibu orang Indonesia, bapak warga Malaysia: 'Saya tak punya status warga negara, tak boleh bersekolah dan takut ditangkap polisi'
- Keturunan WNI tanpa kewarganegaraan: 'Saya dipukul oleh bapak, lari dan merantau ke Malaysia'
Mereka dibantu Pipih Sofyiah, tenaga migran yang mendapatkan informasi bahwa keduanya memerlukan bantuan dari kedai makan, tempat mereka membeli lauk. Pipih juga aktif dalam LSM Sarbumusi Malaysia, (Syarikat Buruh Muslim Indonesia), badan yang memperjuangkan hak-hak para pekerja.
Pipih mengatakan, ia meminta mereka melalui telpon agar tidak menandatangani apapun seperti yang diminta majikan saat keluar.
Lasri dan Kholifah akhirnya diantar Pipih ke tempat penampungan di KBRI Kuala Lumpur.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC